4. Protektif Abi

2092 Words
Abi menyusuri jalanan pagi Kota Seoul dengan satu cup kopi di tangannya. Pria itu tampak menikmati suasana damai alam yang beriringan dengan kesibukan manusia-manusianya. Kadang kala, jari jemari Abi lihai memidik objek dengan bantuan kamera. Sejak dulu, ia memang senang mengabadikan momen tertentu. Menurut Abi, sebuah potret yang ia tangkap akan membantunya untuk mengingat kembali momentum tersebut di masa nanti.  Tidak jauh di depannya, terdapat bangku-bangku yang memang sengaja disediakan bagi masyarakat. Abi mempercepat langkah, duduk di sana dengan meletakkan cup kopi tepat di sebelahnya. Pria itu sengaja duduk sebentar sebab ingin melihat kembali hasil potretnya selama ini. Abi menghembuskan napas setelah diam sesaat sebab menatapi potret seorang wanita di sana. Dengan latar belakang Big Ben, Renat tersenyum lebar seakan-akan seluruh keceriaannya tengah ia tunjukkan. Senyum tipis di wajah Abi terukir. Itu kali pertama Renat mengunjunginya dan tidak pernah lagi setelah itu. Abi paham jika untuk hal tersebut. Dia sendiripun tidak pernah memaksa Renat agar dapat berkunjung setidak-tidaknya sekali dalam setahun menuju London. Justru Abi, pria itu yang begitu berjuang agar dapat menemui Renat. Tidak peduli dimana wanita itu berada. Berlin atau Seoul, jika Abi mampu, maka akan ia lakukan. Itu mengapa pada akhirnya Abi membuat sebuah keputusan penting dalam hidupnya; meminta Renat menjadi istrinya. Namun penolakan yang diucapkan tepat di depan wajahnya, membuat Abi sadar bahwa wanitanya mungkin memang belum siap. Dan Abi terima. Bukan tanpa maksud mengapa Abi mengajak Renat untuk masuk ke dalam hubungan yang lebih serius. Abi memang ingin memiliki anak, menjadi seorang ayah serta berperan sebagai kepala keluarga untuk keluarga kecilnya nanti. Namun alasan utama mengapa Abi begitu ingin menikahi Renat, sebab pria itu ingin membawa Renat kemanapun yang wanita itu inginkan. Abi masih ingat dengan jelas masa putih abu-abu dimana awal cerita mereka bermula. Kala Renat untuk pertama kalinya datang ke rumah Abi dan menatapi satu-satu frame berisikan foto-foto di dalamnya. Wanita itu berkata dengan lirih, betapa ia ingin pergi jauh. Benua Amerika, salah satu impian terdahulu Renat yang sampai sekarang sedang Abi usahakan agar dapat terwujud. Abi tidak mungkin mengajak Renat berpergian hanya berdua sementara status yang mereka jalani belum halal. Abi bukan pria gila semacam itu. Abi ingin sesuatu yang lebih dan mengikat. Dimana ada kepastian di dalam mereka. Dan cara satu-satunya memang harus dengan menikahi Renat. Abi mendongak, menatap pohon-pohon rimbun di sekitarnya. Kala matanya memandang sedikit lebih jauh, deretan gedung-gedung pencakar langit tampak gagah. Dan kedua hal tersebut mampu rukun di kota seperti Seoul. Damai yang disuguhkan oleh pepohonan, Abi suka. Walau begitu, bukan berarti ia tidak menyukai kesibukan dan keramaian. Sebab Renat, wanita itu berhasil membuat telinga Abi terbiasa dengan aksi cerewetnya. Layaknya Abi si pohon, dan Renat gedung tinggi dengan berjuta kesibukan. Mereka harus berdampingan. "Aku serius sama kamu, Re," ujar Abi lirih. Pria itu ingin agar Renat dapat mempercayainya tanpa harus memberi penolakan untuk yang kedua kali. Karena Abi sudah merencanakan hal besar di penghujung hari ini. Mungkin Berlin belum mampu meyakini seorang Renat untuk menerima Abi. Dan pria itu berharap, Seoul dapat lebih membantu. Dia tidak mungkin jauh-jauh kesini tanpa melakukan sesuatu, kan? Dengan senyum yang terukir samar, Abi berdiri. Melangkahkan kaki untuk membawanya menyusun rencana besar bagi Renata-nya. ♦ r e t u r n ♦ "Kamu dimana?" Renat bertanya lewat telepon genggam yang sedang ia tempel di telinga. "Kamu muter-muter dulu nggak mau? Atau ikut aku ke Jjimjilbang?" "Itu apa?" Abi bertanya dengan nada bingung. Renat tertawa, "Sauna. Mau? Belum pernah liat sauna punya Korea, kan?" "Enggaklah," jawab Abi pelan. "Aku lagi cari makanan. Nanti kalau kamu udah selesai kasih tau aku, aku jemput." "Beliin makanan buat aku juga, ya." Renat bersemangat. Sepatu warna merah hati yang membalut kakinya tampak melangkah penuh energi. Renat benar-benar merasa bahwa kehadiran prianya seperti mimpi. Ia tidak menyangka bahwa Abi akan kembali datang kemari untuknya. "Mau apa?" "Terserah kamu," jawab Renat jujur. "Kalau nanti aku sebutin namanya yang ada kamu pusing." "Yaudah. Abis ini jangan lupa langsung send location sauna kamu ke aku." "Siap, Abi!" jawab Renat terlihat lucu. "Jangan pergi sebelum aku dateng." "Iya." "Aku tutup dulu, Re." Renat refleks mengangguk, "Kamu hati-hati, ya! Kalau kesasar cepet-cepet hubungin aku. Dah!" "Aku bukan anak kecil, Re." Renat mencibir kala Abi memutuskan sambungan telepon begitu saja. Pria satu itu memang tidak pernah mau diberikan perhatian seperti itu dari Renat. Alasannya bahwa dia bukanlah lagi laki-laki kecil. Persis seperti sekarang, Abi tentu berpikir bahwa ia tidak akan tersesat. Padahal, bukan anak kecil saja yang memiliki kesempatan besar untuk tersesat. Abi memang menyebalkan. Renat melanjutkan langkah setelah memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas selempang yang ia kenakan. Menuju bus stop untuk menunggu bus yang akan menjemputnya. Walau sudah dewasa, pakaian-pakaian lucu selalu saja Renat pilih di penghujung minggu. Rasanya cukup menjadi sosok dewasa dan serius dihari bekerja. Namun di penghujung minggu ini tidak seperti biasanya. Renat mengenakan baju lengan panjang pas badan merah hati, dan melapisinya dengan dress putih bertali spaghetti yang jatuh cantik hingga betis. "Nata-ya!" Renat tersenyum saat melihat Tae Joon juga tengah duduk menunggu bus. Dipercepatnya langkah untuk mendekati Tae Joon, kemudian duduk di sebelah pria itu. "Mau kemana?" tanya Renat dengan senyum. "Hanya merasa bosan di rumah. Itu sebabnya aku keluar hari ini." Renat terlihat mengangguk mengerti. Sesaat wanita itu diam untuk berpikir. "Tae Joon-ah." "Ya?" "Pacarku datang tadi malam." Renat berujar dengan nada puas. Tae Joon diam, entah sedang memikirkan apa. Sebab pria itu memang tidak memberikan respon apapun seakan-akan yang Renat ucapkan bukanlah hal penting. "Tae Joon-ah!" panggil Renat dengan menepuk pelan pundak pria itu. "Kenapa diam saja? Aku mengatakan ini karena merasa bersalah atas sikapku kemarin. Aku terlihat buruk sekali, kan?" Benar. Kemarin Tae Joon memang sempat menjadi korban dari rasa sakit hati Renat terhadap Abi. Wanita itu bahkan mendiamkan Tae Joon tanpa memberitahu alasan pastinya. "Bagus kalau begitu," respon Tae Joon hanya itu. Renat akhirnya tidak lagi memaksa. Ia mengangguk saja pada ucapan Tae Joon. Tepat ketika Renat melihat ke jalanan, bus yang ia tunggu datang. Renat berdiri, bersuara pada Tae Joon. "Aku duluan. Semoga harimu menyenangkan, Tae Joon-ah." "Nata-ya," panggil Tae Joon ketika Renat sudah berdiri di pintu bus. "Kenapa?" "Mari pergi bersama-sama." Dan setelahnya, Tae Joon ikut masuk ke dalam bus. ♦ r e t u r n ♦ Abi memandangi makanan di depannya dengan raut bingung yang kentara. Sudah lewat satu jam dan Abi hanya berkeliling tanpa tahu ingin membeli dan memakan apa. Sementara setiap kali ia melewati stan makanan, setiap penjual selalu memanggilnya---entah mengatakan apa. Harusnya Abi mengiyakan ajakan Renat dan nanti mereka dapat berpergian bersama mencari makanan. Jika begini, Abi benar-benar malu bila merubah rencana. Sebab tadi dengan percaya dirinya ia berkata bahwa dirinya bukanlah anak kecil. Wanita berumur di seberangnya kembali memanggil. Menanyakan hal apa yang ingin Abi beli. Abi menghela napas, perutnya lapar. Tanpa berpikir lagi, hanya dengan menggunakan insting penglihatan untuk menilai enak atau tidaknya sebuah makanan, Abi menunjuk salah satunya, lalu memberikan tiga jari pertanda ia akan membeli tiga porsi. Penjual tersebut tertawa geli. Lalu ikut-ikutan menunjuk makanan yang sebelumnya Abi tunjuk, kemudian memberikan ibu jari. Seakan-akan berkata bahwa pilihan Abi tidak akan mengecewakan perutnya. Setelah mendapatkan apa yang ia inginkan, Abi buru-buru memberikan uang dan menunggu kembaliannya. Setelah selesai, ia kemudian mencari tempat duduk dan membuka plastik makanannya disana. Pria itu benar-benar terlihat sabar tanpa Renat. Mungkin, bila Renat melihat pemandangan semacam ini, ia akan terpingkal atau malah terlampau gemas. Abi membuka mulut, dengan cepat memasukkan makanan bercampur saus pedas ke mulutnya. Awalnya Abi ragu untuk mengunyah, namun perlahan, mulutnya mulai menikmati rasa makanan tersebut. Barulah samar-samar, Abi ingat bahwa ia pernah memakan makanan tersebut. Hanya saja, Abi lupa namanya. Bentuknya seukuran dengan ibu jari Renat, menurut Abi. Disamping itu, Renat juga begitu menyukai makanan ini. Tapi ia benar-benar tidak bisa mengingat makanan apa ini. Abi geleng kepala, merasa aneh sebab hanya untuk memikirkan nama makanan di tangannya, rasanya ia akan gila. Dihabiskannya satu dari tiga porsi yang ia beli dengan lahap, kemudian berniat mencari makanan lain. Sama seperti sebelumnya, Abi menggunakan isyarat yang sama. Pria itu membeli tiga makanan yang ditusuk dengan lidi besar. Kali ini, Abi ingat nama makanan ini. Renat sering mengajaknya kemari jika Abi berkunjung. Odeng dan hot bar. Sejenis makanan berbahan dasar ikan. Tidak sulit untuk lidah Abi, sebab ini memang makanannya. Abi menyudahi sarapannya sebab perutnya sudah terasa penuh. Ia kemudian mengecek kembali sesuatu di dalam saku dalam jasnya. Lalu tersenyum sebab benda itu masih di sana. Abi memang mengenakan baju berbahan kaus lengan panjang dengan model long neck berwarna putih yang ia lapis bersama jas hitam. Setelah yakin semuanya aman, Abi melanjutkan langkah menuju bus stop. Dikeluarkannya ponsel bermaksud melihat lokasi sauna yang sudah Renat kirimkan. Sepertinya tidak butuh waktu lama untuk Abi tiba di tujuan. Yang pria itu takutkan kini apabila ia sampai tersesat dan berakhir mengadu pada Renat. ♦ r e t u r n ♦ Abi menatap bangunan di depannya dengan sedikit ragu. Kesinikah Renat pergi? Sebab jika dilihat, tempat ini tidak sepi seperti yang Abi bayangkan. Bahkan sejak Abi berdiri tepat di posisinya kini, sudah tiga orang yang masuk dan dua orang keluar dari sana. Abi menghela napas panjang. Rasanya malas untuk masuk. Sementara Renat tidak sekalipun menjawab panggilannya. Dengan langkah berat, Abi mendorong dirinya agar masuk. Seperti yang ia duga sebelumnya, kebingungan pasti datang saat ia masuk. Beruntungnya, ketika Abi ingin bertanya dengan caranya sendiri, kedatangan seorang pria dan wanita membuat Abi mematung di tempatnya. "Bi." Renat, perempuan itu bersuara kaget. "Aku pikir kamu masih asik jalan-jalan." "Udah selesai, kan?" tanya Abi dan enggan melihat lagi pada pria yang berdiri di sebelah Renat. Sedang Renat mengangguk kaku, kepalanya tengah berpikir bagaimana caranya mengenalkan Abi kepada Tae Joon. "Choi Tae Joon." Tae Joon mengulurkan tangan, menatap Abi sebagaimana layaknya pria dewasa harus bersikap. Dan hal tersebut sukses membuat Abi tersinggung. "Abirayyan." Abi membalas uluran tangan tersebut. Ketika terlepas, ia berdehem dengan jemari yang sibuk memperbaiki leher baju. "Ih! Kok kamu pinter belinya bisa tteokbokki?" Abi mengerjap. Ucapan Renat terhadap nama makanan yang masih ia pegang akhirnya memuaskan rasa keingintahuannya. Ini tteokbokki. Kue beras favorit Renat. "Aku juga lagi kepengen makan ini." "Di sini nggak makan?" tanya Abi lagi. "Ayo makan dulu." "Sebentar aku selesein dulu di sini." Renat balik badan, berbicara dengan perempuan yang sejak tadi berdiri dibalik meja. Sedang Abi sadar bahwa Tae Joon tengah menatapnya sejak tadi. Sayangnya, mengajak Tae Joon berbicara bukanlah hal mudah. "Nata-ya," panggil Tae Joon pada Renat sehingga wanita itu menoleh. Kemudian berbicara dengan bahasa yang sulit untuk Abi cerna. "Ini tas kamu. Senang berkenalan dengan pacarmu. Sekarang aku mengerti kenapa kamu tidak menemukan cara untuk melupakannya. Dia terlampau luar biasa, dan kalian cocok ketika bersama. Seharusnya sejak dulu aku sadar mengenai hal ini." "Tae Joon-ah...," lirih Renat bingung. Tae Joon mengulurkan tangan untuk mengembalikan tas milik Renat. Namun belum sempat wanita itu menerima, Abi sudah lebih dulu mengambil. Senyum tipisnya terukir. "Thank you," ujar Abi percaya diri. Tae Joon tidak mungkin tidak paham pada dua kata yang Abi sebut. Abi mengambil tangan Renat dan membawanya keluar dari  sana. Ia malas melihat terlebih membayangkan kegiatan apa saja yang Renat dan Tae Joon lakukan disana. Selama ini, Renat tidak pernah memberitahu Abi perihal teman laki-lakinya di sini. Bagi Abi, setidaknya ia tahu. Sebab berkenalan dengan cara yang terlalu mendadakseperti tadi bukanlah favorit Abi. "Abi," panggil Renat takut-takut. Abi yang berjalan di sebelah Renat menoleh, "Apa?" "Tteokbokkinya sini aku yang pegang." Renat memberi pandangan penuh harap. "Kamu makan yang baru aja nanti, ini udah dingin." Jawaban Abi membuat Renat menggeleng cepat. Wanita itu tidak akan membiarkan Abi memakan dua porsi tteokbokki dingin sendirian. Setidaknya, Renat sudah pernah dan terbiasa. Renat pura-pura menurut awalnya, hingga ketika Abi lengah, ia dengan cepat merebut tteokbokki tersebut dari tangan Abi. Wajah Abi terlihat tidak terima. Tapi Renat tidak peduli, fokusnya kini hanya pada makanan di tangan. Dengan cukup semangat, Renat menyuapkan makanan pedas itu masuk mulut. Abi sendiri akhirnya hanya dapat memperhatikan. Melihat gaya Renat seperti sekarang, tiba-tiba saja ada perasaan iri dalam diri pria itu. Harusnya ia dapat menggandeng Renat setiap hari. Melihat penampilan Renat dalam baju-baju lucu. Menemani Renat beristirahat di sauna atau mengajak wanitanya bermain sepeda di taman. Tanpa pikir---walau dirinya masih kesal terhadap Tae Joon---Abi meraih jari jemari Renat. "Ayo ke cinema." Renat yang masih sibuk makan refleks tersenyum lebar. Dikunyah dan ditelannya tteokbokki tersebut dengan cepat agar dapat berbicara. "Ayo, Abi!" Abi mendekap tubuh Renat dalam rangkulannya, mencium lama pelipis Renat dan menikmati aroma rambut wanita itu. "Re," panggil Abi pelan. "Kenapa?" "Don't you ever try to go without me." Abi mengeratkan genggamannya. Seakan-akan tengah menunjukkan bahwa ia takut Renat pergi. ♦ r e t u r n ♦
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD