Rayhan semakin mempercepat laju mobil. Sesekali ia memperhatikan spion tengah. Di sampingnya Cantika berkomat-kamit melafalkan doa. Bulir-bulir keringat nampak di wajah sang istri yang terlihat pucat. Putrinya tertidur lelap di kursi belakang mobil.
“Mas,” panggil Cantika.
“Tenang. Mas Cuma berusaha menjaga jarak aja dari mereka.” Rayhan berusaha menenangkan perasaan kahawatir yang terpancar dari panggilan istrinya.
Malam minggu di jalanan puncak tidak akan pernah sepi. Rayhan memanfaatkan hal ini untuk bisa menghindari mobil yang sedari ia keluar dari restoran di puncak pass terus mengikutinya. Jalur buka-tutup sedikit menyulitkan rencana Rayhan.
“Hati-hati, Mas.” Kembali Cantika mengingatkan suaminya.
“Tenang. Begitu kita melewati Pasar Cisarua, jalanan lebih lenggang.”
“Mas yakin mereka mengikuti kita? Bisa saja mereka Cuma orang-orang yang sedang libur akhir pekan.”
“Bukan. Mereka jelas mengikuti kita. Mas sudah beberapa kali melambatkan mobil supaya mereka bisa mendahului. Tapi mereka tetap di belakang kita. Bahkan mereka tidak menyalakan lampu depan.” Rayhan menjelaskan kecurigaannya.
“Tapi siapa mereka?” Cantika mulai ketakutan.
Rayhan tidak menjawab pertanyaan itu. Ia hanya fokus menatap antrean mobil di depannya. Dua lajur yang ada di jalur kiri benar-benar padat. Ditambah satu lajur tambahan dadakan yang diciptakan oleh para pengendara motor. Meskipun bukan kemacetan total karena semua kendaraan tetap bisa berjalan maju meski tersendat.
Cantika menengok ke belakang. Memastikan kenyamanan Jelita, sang putri, yang tertidur lelap. Dilihatnya gadis berusia tujuh tahun itu bergelung dalam selimut biru bergambar Blue, anjing kesayangan Steve Burns. Ketenangan dan kenyamanan tergambar dari nyenyaknya ia tidur.
“Mas Rayhan punya gambaran siapa yang sedang mengikuti kita?”
“Perampok.” Rayhan memberikan jawaban yang paling masuk akal. Kendaraan roda empat yang ia kendarai jelas akan menarik minat perampok manapun. Meskipun sebenarnya pria berusia 35 tahun itu memiliki dugaan lain.
##############
“Sudah kupikirkan sudah saatnya aku beristirahat. Aku suka dengan kinerja kalian berdua. Tapi sayangnya posisi yang kududuki sekarang hanya satu.”
Kalimat yang dilontarkan oleh Presiden Direktur Reswari Group jelas mengagetkan kedua orang yang duduk di seberang mejanya sekarang. Rayhan mulai merasakan aura ramah yang tadi dilemparkan oleh wanita yang duduk di sebelahnya memudar. Atmosfer kompetisi mulai mengisi ruangan beraroma citrus itu.
Rayhan menatap wanita paruh baya di hadapannya. Ardhita Reswari, Presiden Direktur sekaligus ibu kandungnya. Sudah menempati posisi itu sejak Sang Pendiri meninggal dunia sepuluh tahun yang lalu. Ketegasan masih terpancar dari wajah ramah sang presdir meski usianya sudah memasuki setengah abad lebih.
“Tapi jelas tongkat estafet kepemimpinan Reswari Group hanya bisa kuserahkan kepada orang yang paling laiak,” ujar Nyonya Reswari sembari menatap dua orang di hadapannya, “hotel bandara bisa jadi sebuah terobosan yang menguntungkan. Silakan kalian bentuk tim masing-masing. Tim yang bisa memenangkan kerjasama dengan bandara sepertinya laiak dapat hadiah seperti yang kujanjikan.”
Rayhan mengangguk hormat dan segera bangkit dari duduknya. Ia segera keluar dari ruangan presiden direktur. Dalam benaknya sudah tersusun nama – nama yang diyakini dapat mewujudkan rencana kerja sama dengan pihak bandar udara.
“Rayhan.” Sebuah panggilan memghentikan langkah sang Executive Assistant Manager. Pria perlente itu membalikkan badan dan menatap orang yang memanggilnya.
“Kenapa kamu harus buru – buru keluar ruangan? Kita kan bisa ngobrol sebentar.”
Rayhan memandang wanita di hadapannya. Ia tidak perlu menundukkan pandangan ketika menatap mata lawan bicaranya ini. Dan selalu saja ia merasa ingin segera berlalu meninggalkan dari tempatnya berdiri sekarang.
Sofia Anjani Reswari. Sepupu tiri yang sama sekali tidak memiliki hubungan darah dengannya. Wanita berambut hitam pendek itu berdiri dengan penuh percaya diri. Blus biru berbahan sutra yang dikenakannya terlihat kekecilan di sekitar d**a. Terutama ketika ia menyilangkan kedua tangannya tepat di bawah payudaranya.
“ To the point saja. Kamu ada hal penting yang mau dibicarakan?”
“Kita makan siang sama – sama hari ini. Jadi kita bisa bicarakan project ini bersama. Sepertinya ini akan jadi kerja sama yang menarik.” Sofia tersenyum manis.
“Ini bukan project kerja sama. Kita berada di tim yang berlawanan. Lagipula aku selalu membawa bekal makan siangku sendiri. Selamat siang.” Tanpa menunggu jawaban dari Sofia, Rayhan melanjutkan langkahnya menuju lift.
Saat pintu lift menutup itulah Rayhan sempat melihat perubahan senyum di wajah blasteran Sofia. Ujung bibir yang sebelumnya menampilkan senyum manis itu tertarik ke bawah. Sorot mata Sales Manager itu tak lagi seramah ajakan makan siangnya. Rayhan terpaku sesaat.
######################
Kilasan satu bulan yang lalu terlintas dalam benak Rayhan. Ia mempererat genggaman tangannya pada setir mobil. Raut wajahnya mengeras menahan kesal. Membuat Cantika bergidik ketika tak sengaja melihatnya.
“Mas, ada apa?” tegur Cantika.
Rayhan menghela nafas. Perlahan ia menenangkan hatinya. Pertanyaan berbalut kekhawatiran yang dilontarkan sang istri membuat ia sadar bahwa posisinya saat ini harus fokus berkendara.
Setelah melewati tikungan Gunung Mas, Rayhan mulai menambah kecepatan sedan yang membawa keluarga kecilnya. Ia mulai tidak sabar untuk bisa segera menjauh dari para penguntitnya yang kini bertambah dengan dua sepeda motor.
“Sebaiknya kamu pindah ke kursi belakang. Lebih aman dan kamu bisa lindungi Jelita.” Rayhan memberi perintah kepada istrinya.
“Tapi, Mas....”
“Sekarang!” Rayhan segera memotong ucapan Cantika.
Dengan tergesa Cantika membuka sabuk pengaman. Tapi ia menghentikan gerakannya ketika ia menyadari sesuatu.
“Mas, kenapa tambah cepat? Jangan bilang kalau....” Cantika tidak dapat meneruskan kalimatnya sendiri. Raut wajahnya tak lagi khawatir namun berubah ketakutan.
Rayhan yang memang sudah menyadari keanehan pada sedan yang dikendarainya tidak menjawab pertanyaan dari sang istri. Dia sudah mencoba untuk mengurangi kecepatan sejak deru sepeda motor yang membuntutinya tak lagi terdengar.
Namun pijakan kakinya di pedal rem tak berbuah hasil apapun. Laju mobilnya malah kian bertambah. Kepanikan mulai melandanya. Ayah satu anak itu ingin membelokkan kendaraannya untuk memperlambat tapi resiko keselamatan anak dan istrinya menjadi prioritasnya.
Cantika memegang lengan suaminya semakin erat. Ia urungkan niatnya pindah ke kursi belakang. Wanitu itu enggan membangunkan tidur putri kecilnya.
Pegangan erat dari Cantika membuat Rayhan semakin memantapkan niatnya ketika ia melewati sebuah papan iklan margasatwa yang terkenal di daerah Puncak. Segera ia memperdalam pijakan pedal gas. Teriakan panik Cantika menyertai tindakan impulsif Rayhan yang secara tiba-tiba membelokkan mobil ke sisi kanan.
Hal yang tidak pernah diduga Rayhan sebelumnya adalah sebuah mobil truk pengangkut bermuatan batu-batu split kali tengah melaju kencang dari arah yang berlawanan. Tabrakan pun tidak mungkin terelakkan lagi. Rayhan hanya sempat mengingat ia melepas setir kemudi dan menggenggam tangan istrinya. Sementara pecahan kaca berhamburan di sekitarnya.