Bab 23 Menari Tanpa Busana?

2029 Words
Malam ini, Ruby merasa dunianya bukan hanya runtuh, tapi perlahan menggelap dan menelannya secara perlahan-lahan ke dalam samudera terdalam. Membuatnya sesak napas, dan sekali lagi kehilangan harapan untuk bertahan hidup. Ketika dulu dirinya berada di dalam penjara dan disiksa, dia masih berusaha menghadapi segala hal buruk yang datang kepadanya dengan hati tegar. Sekarang, saat Aidan, pria yang pernah dicintainya selama bertahun-tahun tidak hanya melemparnya ke dalam penjara, tapi juga ingin mengupas harga diri terakhirnya sebagai seorang wanita, hati Ruby seolah tenggelam ke titik beku hingga tatapannya menjadi kosong selama beberapa saat. Wanita berwajah rusak itu hanya berlutut di tengah ruangan seperti patung, sementara orang-orang yang duduk di sofa melemparinya dengan berbagai macam benda ke arahnya. Tubuh Ruby menerima banyak rasa sakit. Bukan hanya sakit fisik, tapi juga sakit tak berdarah di hatinya. Semua itu berkumpul dan mengendap menjadi sebuah rasa benci dan trauma di saat yang sama. Kenapa dia harus bertemu Aidan lagi? Dia telah berjanji kepada diri sendiri untuk tidak berurusan dengannya. Dia juga tidak ada niat untuk balas dendam ketika berpikir bisa hidup bebas seperti dulu. Sangat mustahil melawan Aidan Huo. Tidak ada satu pun orang yang pernah menang melawannya selama ini. Dia terlalu cerdas, licik, dan manipulatif. Jangankan balas dendam, kekuatan untuk menghadapinya saja tidak punya. Tidak ada yang lebih tahu seperti apa mengerikannya seorang Aidan Huo ketimbang Ruby sendiri. Selama mengejarnya bertahun-tahun, pria itu sama sekali tidak punya hati. Dia bahkan pernah membiarkannya sendirian berjalan di malam hari di jalan yang sepi, dan juga saat mereka menikah, Aidan Huo tanpa belas kasih membuat ayahnya masuk rumah sakit berulang kali gara-gara perusahaan mereka diserang tanpa ampun akibat pernikahan mereka. Air mata Ruby mengalir perlahan memikirkan betapa bodohnya mencintai pria yang sangat dingin selama bertahun-tahun. Lebih dari setengah hidupnya hanya untuk orang bodoh seperti itu? Penyesalannya lebih buruk daripada orang yang telah meninggal dunia! Jika ada kesempatan mengulang hidup, Ruby tidak mau bertemu dengan Aidan! “Hei, bodoh! Kenapa kamu berlutut di situ terus? Jadi benar, ya, kamu itu suka sekali berlutut? Bagaimana kalau sekarang kamu merangkak sambil menyalak memungut makanan di lantai? Jangan khawatir, aku sangat pengertian, tentu saja akan memberimu uang yang sangat banyak! Kamu sekarang jatuh miskin, kan? Keluargamu tidak ada yang mau mengakuimu. Menyedihkah sekali!” Seorang pria di bawah lampu remang-remang berteriak ke arah Ruby, tertawa jahat sambil melemparinya uang dan camilan dari dalam mangkuk. “Benar! Benar! Coba kamu merangkak sambil menyalak! Atau menari panas dengan muka rusakmu itu? Aku dengar kamu pernah menikah 5 kali, kan? Kelima pria itu pasti telah menikmati tubuhmu yang murahan itu sebelum rusak seperti sekarang. Mungkin saja kamu akan laku setelah menari nakal dan berhasil menggoda seorang pria di ruangan ini. Nah, cepat pakai itu!” Seorang pria melempari Ruby sebuah pakaian. Tapi, itu adalah pakaian yang tidak biasa. Sangat tipis, ketat, dan begitu terbuka. Lebih mirip sebuah baju bayi transparan daripada baju seorang wanita dewasa yang layak. Ruby yang kaget ketika wajahnya tertutupi pakaian seksi itu segera menariknya dengan tangan kanan, menatapnya pucat. Napasnya tertahan kuat. Apakah dia sungguh harus memakainya? Aidan benar-benar keterlaluan mempermalukannya sampai akhir! Tamu-tamu yang ada di ruangan itu semuanya hampir dikenal oleh Ruby. Sebagian adalah teman kampus Aidan, sebagian lagi adalah orang-orang yang pernah mengaku sebagai temannya di masa lalu. Air mata Ruby menitik bagaikan mutiara putus. Bibirnya gemetar hebat, dadanya bagaikan dicakar silet. Panas dan berdarah! Di umur setua ini, dan telah bercerai 5 kali, siapa yang sangka kesuciaannya akan menjadi bulan-bulanan oleh orang-orang yang pernah menghormati dan memujanya seperti seorang ratu? “Apa kamu tuli? Cepat berdiri dan ganti pakaian! Toiletnya di sana! Dasar monster!” bentak seorang wanita berpakaian seksi, berjalan ke arah Ruby dan menendang sebelah bahunya hingga terjatuh ke lantai. Ruangan VIP itu tidak begitu jelas dengan cahaya lampu warna-warni, membuat tawa dan ejekan orang-orang yang duduk di sofa semakin mengerikan di telinga Ruby. Dia ingin sekali melawan, tapi penjara memberinya pelajaran bahwa diam kadang lebih baik daripada menjadi pahlawan kesiangan. Seluruh keberanian, sifat arogan dan angkuh Rubyza Andara pupus satu demi satu selama mendapat penyiksaan dari para tahanan yang membencinya. Dia tidak suka melawan, karena melawan artinya hal buruk akan lebih banyak datang kepadanya. Mereka bahkan akan semakin kejam dan sadis menginjak-injak harga dirinya melebihi binatang. Sewaktu dipenjara dulu, sebenarnya Ruby pernah berniat melawan orang-orang yang menindasnya, tapi akhirnya berakhir dengan fitnah keji hingga membuatnya dimasukkan ke ruangan khusus untuk tahanan pembuat onar. Yang membuat Ruby semakin tidak mau melawan adalah pemandangan dari tahanan lemah lainnya yang mendapat penindasan, membuatnya suka bermimpi buruk. Adegan buruk dan siksaan tiada habisnya setiap hari membuat Ruby kadang tidak bisa membedakan mana dunia nyata, dan mana mimpi buruk yang suka menghantuinya. “Masih juga duduk di lantai? Rubyza Andara, apakah otakmu sudah berlubang? Masuk ke dalam penjara sungguh membuatmu jadi bodoh, ya? Wuah! Seharusnya kamu dipenjara lebih lama di sana! Siapa yang tahu kalau kamu akan mencoba membunuh orang lagi? Iya, kan, teman-teman?” seru seorang wanita dengan nada antusias penuh kekejian di wajahnya. Tersenyum jahat menatap jijik ke arah Ruby. “Dia tidak mungkin punya kesempatan untuk melakukan kejahatan lagi kalau kita lebih dulu menghukumnya. Benar, kan? Kalian, para pria apakah tidak dendam kepadanya? Bukankah rata-rata di ruangan ini semuanya pernah ditolak dengan sangat angkuh dan penuh hina olehnya? Dia selalu membandingkan kita dengan Aidan. Memangnya kita ini sampah? Yang sampah itu sebenarnya adalah dia! Aku benar-benar buta pernah memujanya seperti orang bodoh!” Kalimat itu datang dari seorang pria, terdengar emosi dan penuh dendam. Detik berikutnya, dia bangkit dan meludahi wajah Ruby hingga kaget dengan serangan tiba-tiba itu. Ruby menyeka wajahnya dengan tubuh gemetar marah dan sedih, tapi tidak bisa melawan sekumpulan pria dan wanita yang bersatu menghinanya di ruangan ini. Jumlah mereka mungkin ada lebih dari 10 orang. Mana bisa menang? Penghinaan ini sebenarnya tidak sebanding dengan apa yang telah Ruby lalui di dalam penjara. Hanya saja, yang membuat semakin sakit hati adalah orang-orang di depannya ini adalah orang-orang yang dulu pernah tersenyum, tertawa, dan bercanda bersamanya. Bagaimana bisa dengan mudah berbalik kepadanya seperti ini? Selain itu, kapan dia pernah menolak pernyataan cinta seorang pria dengan cara menghinanya? Dulunya, Ruby memang punya sifat yang sombong dan sangat percaya diri, tapi dia sama sekali tidak ada maksud untuk menghina orang lain. Dia hanya suka berkata tegas dan langsung ke inti daripada memberi harapan palsu kepada orang lain. Apakah itu termasuk menghina? Bagaimana bisa itu dianggap sebagai hinaan? “Jangan-jangan, selain menjadi monster dan suaranya jelek, dia ini tuli, ya?” ledek seorang pria dengan nada main-main dan santai, berjalan ke arah Ruby dan berjongkok di depannya seraya meraih kerah baju sang wanita. “Hei, kamu dengar ucapan kami semua, kan? Cepat pakai pakaian itu! Kalau kamu menolak, bukankah akan membuat Aidan marah? Tidak dengar tadi dia bilang apa? Kamu adalah mainan kami. Aidan sama sekali tidak pernah menyukaimu sejak dulu. Apalagi setelah menjadi jelek dan buruk rupa seperti ini. Kamu terlalu tidak tahu malu jika masih saja ingin mengejarnya,” terang pria ini sembari menatap rakus pada tubuh kurus Ruby. Walaupun wajahnya sudah cacat dan tidak menarik, tapi tubuh Ruby tetap menggoda pada level tertentu. Semua pria dulunya sangat mendambakannya, dan salah satunya adalah pria yang tengah berjongkok itu. Dalam imajinasinya, dia tidak sabar ingin meniduri Ruby. “Kamu ikut denganku ke hotel sekarang. Masalah di sini, biar aku yang mengaturnya. Bagaimana?” bujuk pria itu, berbisik nakal di telinga Ruby saat menariknya mendekat. Ruby menundukkan kepalanya cepat, sebuah gerakan sederhana yang berarti sebuah penolakan keras darinya. Melihat reaksi Ruby yang seperti jijik menatapnya, pria itu marah dan berdiri sambil menghempaskan tubuhnya kasar. “Dasar sombong! Kamu benar-benar tidak tahu malu! Kamu pikir aku mau tidur denganmu? Murahan tidak tahu diri! Bercerminlah! Sangat menjijikkan menyentuhmu!” hinanya dengan fitnah di dalam kata-katanya. Suara gelak tawa terdengar dari sebagian orang, menatap tak percaya pemandangan di depan sana. “Kak Dastan, dia menggodamu? Kamu jangan bodoh! Dia itu menjijikkan! Mungkin sudah punya penyakit menular! Wanita lain di sini lebih bersih daripada dirinya!” Pria bernama Dastan tadi meringis gelap menatap Ruby yang terus menunduk ke lantai. Tangan kanannya mengepal kuat hingga jari-jarinya memutih. Kemarahan menggelegak di dadanya. Ke mana wanita yang dulunya ceria dan suka melawannya itu? Kenapa dia sekarang seperti ini? Benarkah dia adalah Rubyza Andara yang dikenalnya sangat ceria dan suka tersenyum? Hati Dastan sangat tidak nyaman, terasa perih menusuk melihat wanita menyedihkan di lantai. “Jika tidak bisa menghibur orang, kenapa harus datang ke mari? Bikin orang kesal saja,” sinis Dastan dingin. Pria itu lalu menginjak dengan sengaja salah satu tangan Ruby, membuat wanita itu merendahkan tubuhnya ke lantai sambil berteriak menahan rasa sakit. “Ka-kak Dastan. Tolong maafkan saya. Saya tidak berani lagi,” gumam Ruby dengan suara serak dan jeleknya. Benar. Ruby paling tahu siapa pria yang sedang menghinanya untuk diajak tidur bersama itu. Dia adalah Dastan. Teman baik Aidan Huo. Ke mana pun Aidan pergi, Dastan pasti akan selalu ada di dekatnya. Kedua pria itu bagaikan matahari dan bumi, beriringan dan selalu bersama-sama sampai mendapat predikat sahabat sejati. Sementara Ruby adalah bulan kecil di antara kedua orang itu. Sayangnya, sekarang dia sudah bukan bulan kecil itu lagi, melainkan bintang mati yang berada jauh dari mereka. Dingin dan terisolir dari semua orang. Kehilangan cahaya dan tidak bisa berbaur dengan yang lain. Sama sekali tidak ada yang bisa melihatnya. Mencarinya saja tidak ada. Apalagi untuk dilihat dan disukai. Air mata Ruby mengalir semakin deras seiring kekuatan kaki Dastan semakin kuat menekan jari-jarinya. Bibir gemetar dan terus memohon. Baru setelah orang-orang di ruangan itu tertawa puas dan beruhu keras menghinanya, Dastan baru menarik kakinya. “Keluar. Kamu sangat menjijikkan, membuat seleraku hilang. Beraninya ingin bermain dengan kami tanpa tahu aturan,” sinis Dastan lebih dingin, menyipitkan mata kesal. “Dastan! Jangan begitu! Aidan sudah memberinya kepada kita! Kapan lagi Aidan memberikan hal yang pernah menjadi miliknya kepada orang lain? Memangnya kamu tidak mau bermain dengannya sebentar?” teriak salah satu pria, mengompori suasana. Mata Dastan terus menatap dingin Ruby yang kini nyaris mencium lantai, memegangi tangannya yang memerah, tergugu kecil dalam diam dengan mulut terbuka separuh. Hati Ruby terlalu sakit mendapat perlakuan kejam dari Dastan. Dari semua orang di sekitarnya yang tahu dirinya mengejar Damian, pria itu malah berdiri paling depan untuk mendukungnya. Ternyata, sekarang malah menjadi orang yang paling menghinanya di ruangan. Apa-apaan dia menghinanya untuk tidur bersama? Apakah Dastan juga tidak percaya kalau dirinya adalah wanita baik-baik? Dastan mendengus jijik, membuang muka ketika beberapa wanita di ruangan itu maju ke depan dan mulai menyeret paksa tubuh Ruby ke sebuah toilet. Mereka tertawa jahat melihat Ruby yang panik menggelengkan kepala sambil memohon seperti orang bodoh. Tidak ada belas kasih untuknya, membuat hati wanita berpakaian training merah muda itu seketika sesak napas oleh serangan panik yang menyerangnya. “Tidak! Aku mohon, jangan lakukan ini! Tolong biarkan aku pergi! Aku mohon! Aku mohon kepada kalian!” “Diam! Kamu jangan membantah! Ingin dihukum dengan puntung rokok, ya?” Ruby syok! Dia benci puntung rokok! Tidak mau merasakan bara api itu lagi di punggungnya! Melihatnya yang akhirnya pasrah, mereka lalu melemparnya ke lantai toilet, menyuruhnya jangan membuang waktu. “Hei, kalian sungguh menyuruhnya memakai pakaian itu? Apa kalian tidak akan bermimpi buruk nantinya? Tidak lihat dia sudah menjadi monster? Aku saja jijik lihat wajahnya. Apalagi yang lain?” komentar seorang wanita di ujung sofa panjang. Dastan yang mendengar hal itu, termenung dalam sembari melirik ke arah toilet. Sorot matanya gelap dan dingin, tidak terbaca apa pun di sana. Sementara Ruby mengganti pakaiannya sambil tergugu menahan sakit di hatinya, di salah satu ruangan kerja di klub itu, Aidan Huo bersandar di kursi bos sambil menatap kesal layar ponsel Ruby yang rusak. “Aidan, apa kamu sungguh akan mempermalukannya di ruangan itu? Bagaimanapun juga dia adalah mantan istrimu,” tanya seorang manager wanita, cantik dan seksi. “Biarkan saja.” “Sungguh tidak keberatan membiarkannya menari panas di hadapan teman-teman dan kenalanmu?” Aidan membeku kaget mendengar kalimat bernada main-main dan mengggoda tersebut. Menari panas? Maksudnya tanpa busana? Ponsel di tangan tiba-tiba digenggam kuat seolah akan menghancurkannya! Aidan Huo tiba-tiba berdiri dari duduknya, wajah sangat gelap dan dingin. Manager wanita itu kaget, lalu tersenyum geli melihat reaksinya yang berjalan keluar ruangan mirip angin topan yang sedang mengamuk.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD