2 | Duda, Kaya Raya, Hot Daddy!

2419 Words
Sebenarnya, setelah keluar dari hotel itu, Kamari dihubungi kembali oleh Bima kalau mereka masih ada satu pekerjaan lagi, tapi Kamari sudah keburu muak dengan kelakuan Bima. Ia curiga Bima membohonginya, karena itulah ia langsung memblokir kontak pria itu. Dan kini, ia sedang memanjakan dirinya di mall. Setelah sekian lama ia bekerja keras dan menabung, akhirnya ia bisa berbelanja tanpa melihat harga. Ia membeli baju, tas, makanan, dan masih banyak lagi demi merayakan hari ulang tahunnya yang ke-26 tahun. Kamari bisa saja meminta uang pada orang tuanya yang kaya raya, tapi sayangnya ia tidak memiliki kontak yang bisa dihubungi. Ia memutuskan hubungan dengan mereka sejak lulus SMP. Moto Kamari cuman satu, "selama diri masih terus berusaha, Tuhan akan memberikan yang terbaik untuk Hambanya." Dan ya, dirinya bisa bertahan sampai sekarang walaupun masih akan terus melunasi utangnya, termasuk kepada Bima. "Mbak, gelato matcha sama almond-nya ya," ucapnya memesan es krim gelato yang sudah lama menjadi wishlistnya. Setelah membayar pesanannya, tidak lama kemudian gelato almond sampai di tangan, tinggal menunggu gelato matcha. Tanpa ba-bi-bu, ia langsung menikmati gelato tersebut. Saking sukanya, ia sampai memejamkan mata. "Mmmm.... Enak banget." Ia terus menjilat es krim almondnya dan beberapa kali kelepasan melenguh nikmat di depan pegawai es krim itu. Ia seperti anak kecil yang baru mencicipi es krim. Dulu, saat dirinya masih tinggal dengan orang tuanya, ia bisa membeli es krim ini setiap hari, tapi sekarang ia harus bekerja keras siang dan malam demi memenuhi keinginannya. "Ini gelato matchanya, mbak," pegawai tersebut memberikan cup gelato matca kepada Kamari. "Makasih banyak, mbak," ujar Kamari. Kamari melirik dari ujung ke ujung, mencari keberadaan meja yang kosong. Karena pengunjung sangat ramai, hampir semua meja sudah ada tuannya. Ada yang bersama keluarga, ada yang bersama pasangan, bersama teman, bahkan ada yang sendirian seperti dirinya saat ini. Sampai akhirnya pandangannya terpaku pada sebuah meja yang hanya diisi oleh seorang anak perempuan. "Bisa-bisanya orang tuanya ninggalin bocil di tempat serame ini," dumelnya lantas menghampiri meja tersebut. Sampai di depan meja itu, "Sendirian aja, dek?" tanya Kamari pada anak perempuan itu. Anak itu menggangguk. "Kakak boleh duduk di sini gak?" Tunjuknya pada kursi di depan anak itu yang memang tidak terisi, kosong melompong. Lagi, anak kecil itu mengangguk. "Ck, dia pasti introvert, makanya ngangguk terus," ucapnya kecil kemudian mengambil posisi di depan anak kecil itu. Tidak lupa dengan dua gelato kesukaannya-almond dan matcha. Setelah mencicipi almond, Kamari akhirnya mencicipi gelato matchanya yang sedari tadi menggodanya. Tingkahnya benar-benar seperti anak kecil, bahkan anak kecil di depannya saja melongo melihatnya tantrum tiap kali es krim masuk ke dalam mulutnya. "Tante gak pernah makan es krim ya?" tanya anak itu pada akhirnya. Seketika membuat Kamari terdiam. Bukan karena dirinya ketahuan miskin sehingga baru bisa membeli es krim ini, tapi karena panggilan Tante, padahal sebelumnya ia sudah memperkenalkan diri dengan sebutan Kakak. Kamari tidak mau memperpanjang masalah tersebut, lantas tersenyum lebar. "Begini ya, cil..." Kamari memperbaiki posisi duduknya, "dunia orang dewasa sangat berbeda dengan dunia anak kecil. Kalian-kalian yang masih imut ini bisa dapat uang dengan mudah, tinggal nangis aja sama orang tua kamu pasti dikasih segepok. Tapi kami, para pejuang utang, harus bekerja keras dari pagi sampai malam, rela lapar-laparan demi bisa makan, bayar utang, dan bayar kosan. Syukur-syukur bisa makan, kadang lambung sampe panas gegara gak dapet uang," jawab Kamari tanpa menyederhanakan kalimatnya di depan anak kecil itu. "Tante salah," ucap anak kecil itu. "Apanya yang salah? Ya emang gitu. Anak kecil mah bebas, tinggal nangis langsung dikasi apapun yang mereka mau. Beda sama orang dewasa yang harus bekerja sampe nangis-nangisan," ujar Kamari membela dirinya sendiri. "Gak semua anak kecil disayang sama orang tuanya, Tante," ucap anak itu. Kamari hampir saja tersedak mendengar jawaban anak kecil itu. Ia berhenti menyuap es krimnya dan kini menatap anak itu sendu. "Gak semua anak kecil yang nangis langsung dikasih apapun yang mereka mau," imbuh anak kecil itu lagi, semakin membuat Kamari merasa sedih. "Siapa yang bilang gitu?" Tanya Kamari. "Orang tua pasti sayang sama anaknya, gak mungkin enggak." Lantas anak itu menunjukkan kakinya. "Aku dipukul sama Papa gara-gara mau makan es krim, tapi gak dikasih. Makanya aku diam-diam ke sini." Kamari seketima terdiam seribu bahasa. Hatinya mencelos melihat luka lebam di paha anak kecil itu. Lantas ia memperhatikan pakaian yang dipakainya, dari atas hingga bawah, dan ia punya satu kesimpulan, "anak ini gak mungkin orang susah. Bajunya aja branded. Tapi apa alasan orang tuanya memukul anak sekecil ini?" "Nama kamu siapa?" tanya Kamari. Anak kecil itu menjulurkan tangannya, "nama aku Nakara, Tante. Panggilannya Kara. Nama Tante siapa?" jawabnya. Dengan cepat Kamari menjabat tangan anak itu dan menjawab, "Kamari. Nama kamu unik dan bagus banget. Orang tua kamu mana?" Kamari menengok ke sembarang arah, mencari keberadaan orang tua Nakara. "Kan tadi aku udah bilang, Tante. Papa aku ngelarang aku makan es krim, tapi aku pengen banget. Makanya aku diam-diam ke sini," jawab Nakara, lalu menaruh jari telunjuknya di depan mulutnya, "ssttt, jangan bilang-bilang ya, Tante. Aku takut dipukul lagi." Kamari menelan ludahnya dengan kasar. Ia membatin, "gak adil banget. Anak sekecil dia harus ngerasain dipukul cuman gara-gara mau makan es krim doang. Kenapa sih dunia harus sejahat ini?" "Kamu beneran pengen makan es krim?" tanya Kamari mencoba menepis rasa sedihnya. Nakara mengangguk begitu semangat, tapi tidak lama kemudian senyumnya perlahan meluntur. "Tapi aku gak pegang uang, Tante. Makanya dari tadi aku liatin orang-orang makan es krim di sini. Setidaknya aku bisa nyium aromanya." Deg. Kamari melirik dua cup es krim di depannya, "kamu lebih suka rasa almond atau matcha?" tanya Kamari sembari mendorong kedua cup es krim gelatonya ke depan Nakara. "Kalo kamu mau makan bekas Tante, ambil aja. Tante gak bisa beliin kamu yang baru. Harganya lumayan mahal, bisa buat makan nanti malam," ujar Kamari dan cengengesan. Walaupun dia iba pada anak kecil ini, dirinya juga harus memikirkan nasibnya nanti malam. "Gak apa-apa nih, Tante?" tanya Nakara dengan pandangan yang terus mengarah ke gelato almond. "Iya, beneran," jawab Kamari meyakinkan. "Aku gak dipukul kan nanti?" tanya Nakara lagi. Setelah Nakara bertanya demikian, tanpa ba-bi-bu Kamari langsung menyerahkan gelato almondnya. Ia kesal mendengar pertanyaan Nakara. "Anak kecil gak pantes dipukul cuman gara-gara es krim. Bila perlu, nanti Tante yang marahin Papa kamu." "Yeayyy!" Nakara kelewat senang dan segera memakan es krim gelato almond itu dengan riang dan lahap. Beberapa kali dirinya berucap, "enak banget Tante!" sambil memainkan kakinya yang lebam. Melihat itu, Kamari diam-diam menitikkan air mata. "Beli baju branded bisa, giliran beliin anaknya es krim gak bisa. Dasar orang tua pelit!" dumel Kamari sembari terus memakan es krim gelato matchanya. Perasannya campur aduk. Kesal, geram, juga sedih. Sekadar menelan es krim pun sekarang rasanya sulit. Selama ini Kamari berusaha kuat bagaimanapun dunia mencoba menempanya. Setelah diusir oleh kedua orang tuanya dan hidup sendirian dengan lilitan utang yang tiada henti, ia tidak pernah sampai menangis meraung meminta bantuan pada orang tuanya atau pada siapapun. Pantang baginya dicap sebagai wanita yang cengeng, tapi tidak dengan saat ini. Nakara memporak-porandakan perasaannya hingga membuat mata Kamari sembab. "Tunggu sebentar di sini ya, Tante mau ke toilet dulu," ujar Kamari. "Iya, Tante." Tapi belum sampai lima langkah dari kursinya, terdengar suara benda jatuh, lebih tepatnya seseorang yang jatuh. Kamari berbalik badan dan melihat tubuh mungil Nakara lah yang terkapar di lantai. Nakara pingsan. "Nakara!" Kamari segera meringkus tubuh Nakara. Beberapa orang mulai menghampirinya dan bertanya-tanya, tapi Kamari tidak peduli. Ia hanya peduli pada anak kecil yang kini tiba-tiba tidak sadarkan diri. Segera ia memeriksa keadaan Nakara dengan perasaan yang semakin tidak menentu. "Kamu apakan anak saya!?" suara lantang itu terdengar dari balik kerumunan. Kamari mendongak dan melihat dua orang pria dengan tampilan yang sangat rapi. Pria satunya seperti seorang pemimpin perusahaan dan satunya lagi sepertinya adalah sekretarisnya. Dalam hati Kamari membatin, "busettt, hot bener nih cowok!? Jangan-jangan dia Papanya Nakara?" *** "Seperti biasa, putri Anda hanya alergi saja, Pak Danu. Saya sudah menuliskan beberapa resep, nanti bisa ditebus oleh sekretaris Anda," ujar dokter setelah memeriksa keadaan Delisa. Nampaknya mereka sering bertemu. Pria yang bernama Danu itu pun menghela napas lega dan mengangguk. "Terima kasih bantuannya, dokter." Dokter itu pun keluar dari ruangan rawat Nakara, menyisakan mereka berempat—Danu, Kamari, Nakara, dan Satria yang merupakan sekretaris Danu. Danu menatap tajam Kamari dari depan pintu masuk. Mengepal kuat tangannya, pertanda ia begitu marah dengan apa yang telah terjadi. Ia menghembuskan napas kasar, membuang muka ke arah Satria yang sudah siap menerima titah. "Ambilkan obat dan makanan untuk Kara," perintah Danu. Satria pun mengangguk dan beranjak keluar. Setelah tersisa hanya mereka bertiga saja, Danu pun menutup pintu dengan kasar tanpa peduli hal itu bisa saja membuat putrinya terbangun. Beberapa kali membuang napas kasar, ia sangat butuh pelampiasan atas emosinya yang sedang tidak stabil. Kamari hanya diam dan terus menatap Nakara dengan sorot kesedihan. Ia tidak meninggalkan posisinya sejak memasuki ruangan ini. Selalu di samping Nakara padahal ia bukan siapa-siapa anak itu. Mamanya bukan, keluarga bukan, hanyalah orang asing yang tiba-tiba bertegur sapa di tempat yang tidak terduga. Ia tidak tahu kalau Nakara ternyata alergi terhadap s**u dan almond, sampai membuatnya pingsan seperti ini. Bahkan sekujur tubuh anak itu sekarang memerah. Hal itu membuat Kamari semakin merasa sangat sedih sampai tidak berhenti menangis. "Lo gak perlu sok-sokan nunjukin kesedihan lo. Gue gak akan nuntut lo, jadi lo bisa pergi dari sini sebelum anak gue bangun," ucap Danu dengan bahasa yang amat santai pada Kamari. Danu memang seorang Papa, tapi umurnya masih 29 tahun. Tidak berbeda jauh dari Kamari. Kamari sepintas melirik Danu dari ujung matanya, kemudian kembali memusatkan pandangan pada Nakara. "Gue minta maaf kalo gue lancang, tapi gue gak akan pergi sebelum mastiin Nakara bangun," ucap Kamari begitu keras kepala. Danu berdecak kesal. Ia lantas mengambil tempat di depan Kamari namun dengan posisi yang bersebrangan. Sama-sama di samping Nakara. Orang-orang yang tidak tahu apa-apa pasti akan berasumsi kalau mereka berdua adalah orang tua Nakara, padahal nyatanya mereka menyimpan emosi tersendiri. Danu marah pada Kamari karena telah membuat putrinya masuk rumah sakit, sedangkan Kamari kesal pada Danu karena telah menjadi orang tua yang menyebalkan. "Orang keras kepala kayak lo gak seharusnya dibaikin. Seharusnya tadi gue laporin lo ke polisi," ucap Danu. Kamari akhirnya menatap Danu. "Silakan. Gak ada yang ngelarang. Lo bebas ngelaporin gue dan gue juga seharusnya bertanggung jawab, kan?" ucapnya, masih mengingat kesalahan tidak sengaja yang telah ia perbuat. Danu mengangguk dan tersenyum mendengar keberanian Kamari. Saat Danu hendak mengambil ponselnya, Kamari kembali berucap, "tapi gue juga bakalan nuntut balik lo atas apa yang lo lakuin sama Nakara." "Maksud lo?" tanya Danu kebingungan karena dirinya tiba-tiba akan dilaporkan. Segera Kamari menyingkap selimut Nakara dan memperlihatkan paha Nakara yang lebam. "Dia sendiri yang ngaku ke gue kalo lo yang udah mukul dia cuman gara-gara dia mau makan es krim. Ya sekarang gue tau alasan lo ngelarang karena dia punya alergi, tapi gak harus dengan cara memukul. Lo itu orang tuanya!" ujar Kamari sedikit berapi-api sambil menunjuk Danu. Danu terdiam. Ia menatap dan meneliti Kamari dari atas sampai bawah, sampai akhirnya ia bertanya, "gue bingung deh, kok lo bisa-bisanya percaya sama anak kecil? Mereka bisa aja salah paham. Lo pasti belum nikah, belum punya anak, makanya lo gak tau gimana rasanya." Kamari tidak menduga pertanyaan itu keluar dari mulut Danu. Ia paling benci jika membicarakan tentang pernikahan, membuatnya teringat dengan apa yang telah ia lakukan dengan Bima sebelum insiden ini terjadi. Di saat Kamari begitu berapi-api, Danu menanggapi dengan santai dan terkesan meremehkan. Sedari tadi pria itu hanya melipat kedua tangannya di depan d**a. Kamari tidak terima dengan hal itu, karena itulah ia berdiri dan bertolak pinggang. Ia menantang Danu dengan terang-terangan. "Gue gak perlu nikah untuk tahu gimana caranya memperlakukan anak kecil dengan baik. Gue punya hati dan itu cukup, gak kayak lo yang gak punya hati!" ujar Kamari. Danu tertawa. "Lo pasti gak punya pacar juga, ya? Pantes galak banget," ucap Danu yang malah menikmati kegeraman Kamari. Ia bermain-main dengan emosi Kamari. "Sialan!" Emosi Kamari sudah berhasil terpancing, tapi ia berusaha menenangkan diri agar tidak kelepasan. Ia tidak mau membuat keributan di depan anak kecil. Agar emosinya tidak semakin terpancing, Kamari menjauhkan dirinya dari Danu dan Nakara. Ia berjalan bolak-balik dengan perasaan yang semakin campur aduk dan tidak tenang. Biasanya, kalau perasannya tidak tenang, dia akan menghisap vapenya, tapi ia tidak bisa melakukannya di ruangan ini. Ia hanya bisa memegang vapenya, menimbang-nimbang dengan perasaan yang berkecamuk. Dan sedari tadi, ia tidak sadar kalau Danu sudah memperhatikan dirinya dengan cara yang tidak biasa. Danu memperhatikan bagaimana cara Kamari menggulung lengan bajunya hingga setengah dan memperlihatkan tatonya, bagaimana cara Kamari mengikat asal rambutnya, dan bagaimana cara Kamari terus menghela napas menahan kekesalannya. Semua Danu perhatikan dan diam-diam pria itu tersenyum tidak jelas. "Lo tau gak kalo lo tambah cantik pas marah?" tanya Danu tiba-tiba. Kamari seketika menoleh, "diam lo!" *** Kamari menemani Nakara sampai malam. Sebenarnya, Nakara sudah siuman, tapi Kamari tidak enak meninggalkan Nakara sendirian. Danu keluar mengurus pekerjaannya dengan Satria dan tidak memberitahukan akan kembali jam berapa. Sebenarnya itu baik, Kamari bisa punya banyak waktu mengobrol dengan Nakara. Akan tetapi, sudah lebih dari jam 11 malam dan ia belum makan sedikitpun. Perutnya sudah keroncongan. Ia juga punya banyak kerjaan sampingan yang harus dikerjakan. "Ngapain gue lama-lama nunggu si kampret itu di sini?" tanyanya di depan Nakara yang sudah terlelap. "Kara udah maafin gue, kita udah ngobrol panjang kali lebar, dia juga udah makan dan udah tidur. Apa lagi? Gue udah bertanggung jawab. Sekarang saatnya gue pulang." Baru saja Kamari meraih tasnya, pintu terbuka. Danu kembali dengan Satria. Pakaian mereka pun sudah ganti menjadi lebih santai. "Lo mau kemana?" tanya Danu. Kamari menunjukkan raut ketidaksenangannya terhadap kehadiran Danu. Ia berdiri tepat di depan pria itu dan berkata, "Kara udah minum obat. Gue ngerasa udah cukup bertanggung jawab sama kesalahan gue. Sekali lagi gue minta maaf udah bikin anak lo masuk rumah sakit. Apa yang terjadi murni karena gue gak tahu anak lo punya alergi," ujarnya. "Jangan pulang dulu," tahan Danu. Kamari mengerutkan dahinya. "Kenapa?" "Lo harus temenin Kara sampai dia boleh pulang. Kalo Kara belum pulang, lo juga gak boleh pulang," ucap Danu sedikit memaksa. "Lah!?" Kamari kehabisan kata-kata. Satria yang mendengar itupun pun juga ikut kebingungan. "Lo kan orang kaya. Lo bisa bawa pulang anak lo hari ini juga, gak harus di sini." "Ya udah, lo rawat anak gue di rumah gue," putus Danu tidak mau mengalah. "Mau lo apa sih!?" tanya Kamari kesal. "Lo," jawab Danu singkat, kemudian melengos berjalan menuju tempat tidur Nakara. Kamari masih mematung di tempat. Jawaban Danu membuatnya syok bukan main. Ia membatin, "damn! Udah ganteng, duda, kaya raya, hot daddy. Jangan sampai gue kegoda sama pesona dia!"

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD