PART 5

1439 Words
"Aku bohong, Sensei. Tubuhmu seksi, aku menyukainya, sangat suka." "Aku tahu," senyumku menarik lehernya mendekat hingga hidung kami menempel,"karena aku juga berbohong jika milikmu kecil." Ada senyum samar terbentuk dari bibirnya. Sungguh melihatnya sedekat ini setelah lama hanya bisa menatapnya dari jauh adalah hal yang luar biasa. Kini, aku mendekap Arzhou erat. Menggulingkannya kebawah lalu merayap naik, menaikinya dengan posisi seks yang bagus. Arzhou hanya menatapku penuh keinginan. Melihatku melepas gaunku di atasnya dengan saliva yang terus bertegukan. "Diamlah, aku yang akan melepasnya untukmu, " ucapku menahan tangan Arzhou yang berniat membuka resleting celananya. Tonjolan keras itu menyembul keluar saat aku menarik ujung celana jeans Arzhou lalu melemparnya begitu saja. Ia mengerang saat ereksinya kukulum bagai menikmati permen lolipop yang keras dan besar. "Hentikan Sensei, aku bisa keluar di mulutmu, hentikan.... Argghhh..., " erangnya bangkit, menarik kepalaku diantara pahanya. Ia kemudian dengan cepat menciumi bibir, leher lalu tengkuk. Seperti sebelumnya, ia berhasil meloloskan puluhan desahan dari mulutku. Tangannya terus menangkup erat di kedua payudaraku, menghisap dan beberapa kali memberi tanda merah di setiap incinya "Sensei... buka kakimu,"kata Arzhou parau dan berat. Aku menurut lalu memekik begitu menyadari apa yang dia lakukan. Arzhou menunduk, memasukkan hampir seluruh lidahnya ke dalam kewanitaanku, menjilat klitorisku dengan gerakan yang cepat. Aku menggelinjang, menahan sensasi yang begitu luar biasa di sekujur badan. Ini sungguh nikmat berkali-kali lipat dari yang kubayangkan. Saat aku hampir keluar, buru-buru Arzhou duduk, mengambil sesuatu dari saku celananya, sebuah kondom. Sialan... Apa ia sudah merencanakan hal ini sebelum ke sini? Saat itu aku berusaha tak peduli. Kepalaku terlalu fokus dengan penyelesaian yang harus segera dituntaskan. Arzhou dengan mantap menaikiku dan dalam dua kali hentakan kejantanannya sudah masuk sempurna di dalam tubuhku. Begitu penuh dan nikmat. Aku melenguh. Arzhou mulai bergerak dengan tempo yang semakin lama semakin menghentak. Ekspresinya sungguh sexy, suara juga napasnya yang kembang kempis meluluh lantakkan emosiku dalam sekejap. Hatiku ikut berdebar dan nadiku berdenyut. Berlarian menuju kenikmatan yang akan segera aku dapatkan. "Sensei... Kau sungguh nikmat,"erangnya panas. "Ayumu chan, panggil namaku sayang," bisik Arzhou di telingaku. "Arzhou, Argghhh... Aku akan keluar...,"erangku mencengkeram punggung lebarnya yang bermandikan peluh. Arzhou terus memompaku, tak sampai dua menit, aku menemui pelepasanku lalu disusul dengan lenguhan Arzhou. Aku merasakan tubuhnya bergetar hebat memenuhi perut bagian bawahku. Ereksinya kemudian berangsur melemas, mengambangi tubuhku. Tak lama, ia kemudian berbaring, memelukku dari samping. Denyut kenikmatan masih terasa. Tanpa bergerak, kudengar sesuatu yang begitu lirih dari mulutnya, tapi aku masih bisa mendengar. Nafas Arzhou yang lembut menyapu bahu telanjangku. * "Sensei, bisakah kita pacaran? Aku tidak suka berhubungan seks tanpa status," bisiknya lagi. Rambutku dielusnya pelan, jari-jari panjang Arzhou menyusuri kulit kepalaku. Terasa ada perasaan lain pada setiap pandangan juga sentuhannya. " Tidak, aku tidak bisa." Kuambil tangannya yang masih juga memainkan helaian rambut. Ada rona kekecewaan pada mata Arzhou. Mungkin ia terluka. "Kau bilang kau menyukaiku, apa kau berbohong?" tanyanya terdengar menuntut. Emosi terbaca sangat jelas dalam ucapannya. Aku benci jika seks melibatkan perasaan. b******k. "Pulanglah, ini sudah hampir larut," ucapku mencoba menghindari tatapannya. Beranjak lalu mulai berpakaian. Mana boleh ia menjadi seperti Toru? Cukup. Ini hanya seks. Tidak boleh lebih. Sepertinya Arzhou mengerti. Remaja itu dengan cepat mengikutiku setelah memunguti seluruh pakaiannya yang berserakan. Mungkin, aku harus menghindarinya setelah ini. "Sudah larut, aku harus pulang memeriksa keadaan ayahku,"kata Arzhou memakai pakaian terakhirnya. Aku tak menyahut, menatap pemandangan itu di depan lemari es yang terbuka. Mungkin tubuh itu akan berotot lima tahun lagi. Siapapun yang mendapatkannya, semoga ia bahagia dan jangan sampai aku bertemu lagi dengannya di masa yang akan datang. "Sensei?" Aku terhenyak, keluar dari pikiranku."Minumlah,jangan sampai kau kehausan di jalan. Apa perlu kupanggilkan taksi?" Arzhou menggeleng, menerima sekaleng soda dari tanganku dan tanpa sengaja tangan kami bersentuhan. Anggap aku kekanakan, tapi jantungku tidak bisa menghindari kecanggungan pada diriku sendiri. Bukankah aku baru saja menyentuhnya habis-habisan? Kenapa hanya bersentuhan jari aku bisa senerveous ini? "Boleh aku panggil sensei dengan nama saja?" Pertanyaan itu langsung kujawab dengan gelengan. Kutatap wajahnya yang kembali kecewa mendengar penolakanku,"Bagaimanapun aku tujuh tahun lebih tua darimu." Arzhou berakhir diam lalu buru-buru meneguk isi kaleng hingga tandas. Aku tahu, dia jengkel. "Oh ya, aku tidak suka kalau kau ke sini tanpa pemberitahuan. Hubungi aku lewat nomor yang aku berikan kemarin." Arzhou mengangguk kecil. Tanpa pertanyaan atau protes. Setelah membuang kaleng kosong di tempat sampah, ia pergi tanpa menoleh sedikitpun. Lidahku kelu. Ya aku tidak boleh sedih. Jika aku egois dan menuruti keinginanku, bukan hanya ada penyesalan, tapi juga banyak penderitaan untuk Arzhou. Aku bisa membayangkan bagaimana kemurkaan Kakek saat ia tahu aku menjalin hubungan dengan orang biasa seperti Toru. Seorang dosen di Universitas Tokyo yang mengakhiri hidupnya setelah seminggu menikah denganku. Meski terlihat seperti bunuh diri, aku tahu itu adalah ulah kakek. Bagi seorang Yakuza, menghilangkan nyawa seseorang tidak ubahnya menginjak sarang semut. Aku ceroboh dan terlalu nekad melawan keinginan kakek untuk menjodohkanku dengan anak temannya yang sesama Yakuza. Bohong jika aku tidak trauma, tapi ini memang sudah takdir. Jika aku sampai membuat kesalahan lagi, bukan tidak mungkin akan ada yang terbunuh seperti Toru. Hukum Jepang memang lemah dengan para Yakuza. * Aku bermimpi buruk. Padahal sudah lama sekali aku tidak memikirkan kematian Toru, tapi karena Arzhou, aku kembali diingatkan tentang kejadian yang mengguncang jiwa. Aku bangun dengan wajah ketakutan dan nafas sesak. Tak lama, sebuah panggilan telepon menyadarkanku. "Mu chan? Sampai kapan kau akan meminjam mobilku? Hari ini aku harus segera ke kantor,"seru Himeko menggebu-gebu dari seberang. Ya ampun. Aku melupakannya. Setelah berjanji menjemputnya 30 menit lagi, Himeko mengakhiri panggilannya dengan menggerutu panjang. Aku tak mau membuang banyak waktu dan langsung bersiap-siap berangkat sekolah. Hari ini pelajaran sejarah ada di jam ketiga. Semoga aku tidak terlambat. Rute pintas ternyata sama padatnya, tapi aku berhasil sampai di depan apartemen Himeko tepat waktu. Gadis itu menahan dingin dan cepat- cepat masuk lalu duduk di sebelahku. "Mana syalku?" "Syal?"beoku bingung. Aku berusaha mengingat dimana syal Himeko yang kupinjam malam itu. Bingo! Sepertinya aku meninggalkannya di hotel Horison saat aku berseteru dengan tiga rubah itu. "Maaf Miko chan, aku akan menggantinya." Cengirku sesekali melirik Himeko dari stir kemudi. Ia memberungut sebal. Tentu saja karena bukan sekali ini aku menghilangkan barang pinjaman darinya. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jika aku sampai menghilangkan mobil Himeko. Hahaha, serius itu tidak lucu. "Baiklah, terimakasih tumpangannya,"ucapku keluar dari pintu dekat kemudi. Himeko tak segera menyahut, ia memberiku pelototan kesal saat menyadari bensin di mobilnya hampir habis. "Maaf, aku akan mentraktirmu makan siang selama seminggu bagaimana?" senyumku membungkuk di dekat jendela mobil yang terbuka. "Oke, nanti siang aku akan menjemputmu lagi di sini," kata Himeko tiba-tiba antusias. Oh ya Tuhan. Aku lupa kalau aku belum mengembalikan uangnya. Setelah mobil Himeko melaju keluar dari halaman sekolah, aku bergegas masuk. Lorong juga koridor sekolah sudah sepi. Aku harus cepat ke ruang guru untuk mengambil materi. Bisa-bisa aku terlambat mengingat tinggal lima menit lagi sebelum pelajaranku dimulai. "Sensei, Anda sudah sembuh?" tanya sensei Akida bangkit dari meja kerjanya. Ia menatapku yang buru-buru masuk. Tangan kirinya berkali-kali mengusap peluh dengan sapu tangan bermotif kotak-kotak. Aku mengangguk sebal. Pria itu sebenarnya baik, tapi sangat menjengkelkan. "Maaf, saya terburu-buru,"gumamku sedikit membungkuk lalu segera berlalu dengan setumpuk buku yang kuambil dari ujung meja. Sesampainya di pintu kelas, lagi-lagi aku melihat Ayaka, murid kelas lain yang tengah duduk di dekat Arzhou. Gadis centil itu dengan cueknya memainkan helaian rambut Arzhou yang berjuntai jatuh menutupi wajah hingga alis. Remaja itu tidur dengan pulas seperti biasa. "Ayaka-sama, kau bisa kembali ke kelasmu sekarang," tegurku sesaat setelah Mamoru, si ketua selesai memimpin anggota kelas lainnya memberi hormat padaku. Ayaka mengernyit kesal. Selama ini aku memang tidak pernah memprotes apapun yang terjadi di dalam kelas. Namun, hari ini entah kenapa aku tidak nyaman ia berada di kelasku. "Jam pelajaran di kelasku kosong karena Yamada Sensei sedang mengambil cuti untuk hari ini, " sahut Ayaka sedikit ketus. Bukan pertama kali aku diabaikan oleh muridku sendiri. Setidaknya, kali ini aku tidak membiarkannya. Dandanan menor, rok pendek, alis dicukur dan hidungnya bahkan ditindik. Aku benci seseorang yang memaksakan dirinya terlihat cantik. "Ayaka-sama jika kau ingin di kelasku karena Arzhou, kau boleh membangunkannya. Kelasku tidak termasuk materi yang diujikan di Universitas, jadi aku mengizinkanmu untuk membawanya keluar. Jujur, kau mengganggu." Beberapa bisikan terdengar heboh menanggapi ucapanku. Memang, kudengar tak ada satupun guru yang berani menegur Ayaka karena ia adalah seorang putri kepala sekolah. Jika aku berpikir rasional dengan karirku yang masih magang, mungkin aku harus bisa menahan egoku sedikit, tapi tidak. "Sensei, biarkan saja, dia tidak mengganggu," kata Mamoru. Aku tahu betul, ia khawatir aku membuat masalah. Sayangnya aku tidak peduli. "Ayaka chan? Pergilah," Kudapati Arzhou mengatakan perintahnya sambil menguap. Entah sejak kapan ia terjaga. Aku berharap ia tidak salah mengerti akan sikapku hari ini. *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD