“Tolong diterima ini dari para guru. Mereka salut padamu dan mendukung pertobatan kamu,” ucap Sapto sembari meletakkan amplop di depan Hadi.
“Ini apa? Kalian gak takut kalo kena skors gara-gara ini?”
“Ngapain takut? Ini di luar jam mengajar. Lagi pula tak pake stempel sekolah. Tunjukkan bahwa kamu memang udah lurus. Lagian kenapa enggak laporkan aja, akun yang sebar berita hoaks itu?”
“Dia punya foto-foto aku saat dulu. Mau gimana lagi?”
“Itu foto-foto lama dan sekarang kamu udah tobat. Buktikan itu!”
Akhirnya setelah sejam berbincang berdua, Sapto pamit pulang. Hadi menjadi bersemangat lagi setelah kedatangan sang teman. Pria berkaca mata minus ini menutup pintu kembali.
Kemudian Hadi melangkahkan kaki menuju kamar tidur dan di salah satu dindingnya terdapat foto bertiga. Moment manis di saat mereka masih bersama. Ada Ambar, dia dan juga Brian. Mereka tampak bahagia di foto. Hal tersebut terjadi sebelum badai menerpa rumah tangga mereka. Hadi tersenyum mengenang hal tersebut.
“Kalian adalah keluarga yang membuatku tobat,” ucap Hadi sembari mengusap wajah istri dan anak sambungnya.
Sementara itu, setelah dari indekos Hadi, Sapto menuju ke sebuah perkantoran. Mobil langsung diarahkan menuju tempat parkir sebuah kafetaria, seperti kesepakatan dengan Ambar di telepon. Setelah pria tersebut mendapat tempat parkir strategis, ia segara turun dari mobil.
Langkah kaki pria berpakaian safari ini mengarah ke sebuah meja yang berada di sudut kiri menghadap jalan. Ternyata, di tempat tersebut telah menunggu Ambar dengan tangan melambai. Sapto pun bergegas menghampirinya.
“Saya udah keduluan. Maaf, telat. Saya mampir sebentar ke teman. Udah lama, Bu?” tegur Sapto sembari duduk persis menghadap Ambar.
“Masih lima menitan. Saya juga lagi santai, Pak. Biasa, kerja setengah hari demi kasus. Mau minum apa, Pak? Silakan pesan. Biar saya bayar sekalian,” balas Ambar ramah dengan wajah lesu.
Kasian wanita ini. Karena ulah adikku, jadi tak ceria seperti dulu. Kasian Hadi dan terutama Brian, batin Sapto sembari tersenyum ke arah wanita di depannya.
“Terima kasih sebelumnya. Sama kayak Ibu saja. Saya juga ngantuk banget,” ucap Sapto sembari menaruh sebuah map di atas meja.
Ambar segera memanggil seorang waiter lalu memesankan secangkir kopi latte untuk Sapto. Setelah waiter berlalu, pandangannya tertuju ke arah map di atas meja.
“Ini hasil pelajaran kemarin, Pak?” tanyanya sembari membuka map dan meneliti kertas-kertas lembaran di dalamnya.
“Hasilnya seperti biasa. Perfect! Ini sekalian saya sertakan materi dan soal-soal bab selanjutnya, Bu,” jelas Sapto sambil menunjukkan beberapa kertas berisi yang dimaksud.
Ambar membuka lembaran-lembaran tersebut lalu memperhatikan satu persatu. Entah sengaja atau memang kebetulan di antara lembar jawaban Brian, terselip soal pelajaran matematika beberapa bulan lalu dan tertulis catatan kecil di sana:
Papa Hadi sebaik Papa Rafael tapi Papa Hadi punya pacar cowok. Brian benci. Cowok itu bertingkah seperti cewek. Papa Hadi melawan kodrat. Tuhan, kenapa Brian sakit aneh?
Ambar membacanya berulangkali dan berakhir dengan aliran deras dari kedua pelupuk mata. Meski dia menahan sekuat mungkin, tetap jebol juga. Ambar buru-buru menyingkirkan map dan mengambil tisu dari dalam tas. Tak terelakkan, beberapa lembar soal jadi korban tetesan air mata Ambar.
“Oh, maafkan saya,” ucap Ambar salah tingkah sembari menyisihkan lembaran yang basah.
“Gak apa-apa, Bu. Nanti saya kirim via email, lembaran yang rusak. Saya sempat kaget juga, saat baca tulisan Brian. Maaf, saya lancang ikut membaca karena tak sengaja,” ungkap Sapto sembari mencatat halaman soal lembaran yang basah.
“Saya sangat berterima kasih kepada Pak Sapto, masih sudi membimbing Brian walau tanpa berhubungan langsung. Maaf, merepotkan.”
“Terima kasih kembali, Bu. Semoga Brian cepat sembuh dan beraktivitas lagi seperti biasa,” balas Sapto dengan menunduk.
Pria ini sangat menyesal dengan perbuatan yang telah diperbuat si adik. Akhirnya dari bibirnya terucap, “Sebisa mungkin saya bantu supaya pelaku segera tertangkap. Saya juga gemas sekali akan perbuatan pelaku yang biadab ini.
Saat Sapto berucap barusan, berasa sekali seperti dirinya yang mengalami kejadian tersebut. Tampak dari raut wajah pria berpakaian safari ini sebuah kesungguhan. Ambar yang mendengarnya menatap tak percaya ke arah pria ini.
“Terima kasih sekali akan niat baik, Bapak,” ucap Ambar yang kemudian meminta kepada waiter yang sedang lewat untuk mengambilkan bill.
Tak berapa lama, datang waiter tersebut membawa bill lalu Ambar membayar semua tagihan dan termasuk memberi tips untuk sang waiter.
“Okey, Pak. Saya mohon maaf, harus pamit terlebih dulu. Terimakasih banyak, masih mau direpotkan,” kata Ambar seraya mengulurkan tangan lalu bangkit dan segera berlalu menuju tempat parkir.
•••¤•°•¤•••
Hari sudah beranjak senja dan Ambar masih dalam perjalanan pulang dari kantor polisi. Ponsel yang sengaja diletakkan dalam laci dashboard berbunyi. Di layar ponsel tertera sang ibu yang sedang menelepon. Ambar segera memasang earphone.
“Ada apa, Bu?” tanya Ambar setelah tersambung.
“Brian kesakitan dari a**s keluar darah segar. Sepertinya ambeien. Mau diperiksa Ibu, gak mau. Dia marah-marah,” jawab Bu Retno dari ujung telepon.
“Hampir sampe rumah ini. Tolong Ibu minta Brian kasih tisu buatbpenahan darah sementara waktu,” balas Ambar dengan jantung berdebar-debar.
Kiranya tak cukup air mata menetes atas kesakitan sang jagoan. Dia pikir luka di tubuh sang bocah akibat perbuatan sadis kapan hari sudah usai dan kini masih ada lagi lanjutannya. Apalagi kejiwaan Brian semakin terpuruk setelah itu. Mita hampir tiap hari menyempatkan diri untuk mengajak Brian mengobrol dan memberi kegiatan-kegiatan menarik untuk terapi.
Ya Tuhan! Sampe kapan anakku tersakiti seperti ini. Sembuhkanlah anakku, Tuhan! Jerit batin Ambar yang diiringi derai air mata.
Dalam waktu dua puluh menit perjalanan, akhirnya mobil yang dikendarai oleh Ambar telah sampai gerbang rumah. Kali ini Ambar tak perlu turun dari mobil karena gerbang telah terbuka. Dia disambut Mita yang berlari ke arahnya.
“Kita langsung ke rumah sakit. Brian pendarahan langsung pingsan, dibawa ambulans barusan,” ucap Mita saat kaca mobil terbuka.
“Buruan naik!” pinta Ambar sembari membuka pintu mobil.
“Gue tutup gerbang dulu,” ucap Mita yang segera menutup pintu gerbang dan menguncinya
Wanita berkulit hitam manis ini segera naik mobil lalu menutup pintunya.
“Kok lu ada dimari?” tanya Ambar setelah mobil telah melaju dijalan.
“Lu kayak kaga tau kelakuan Brian. Dia pas sakit telepon gue. Dia bilang mau pup tapi enggak bisa dan keluar darah. Gue langsung meluncur ke rumah lu. Si Tante udah kelabakan, tuh. Brian marah-marah karena darah tambah deras,” jelas Mita dengan mimik sedih.
Ambar yang mendengar cerita sang teman segera memacu mobil agar segera sampai rumah sakit. Dia membayangkan wajah sang anak yang semakin ketakutan karena hal tersebut.