Bab 2

1669 Words
Lantunan lagu Melayu kesukaan ibu terdengar merdu pagi ini mengiringiku menyantap hidangan sarapan istimewa. Nasi putih yang ditanak lebih lembut dengan sepotong ikan rebus dan sayur bayam. Setiap hari aku makan semua masakan khusus sambil berperang dengan kepedulian akan rasanya atau kerinduan akan makanan-makanan kesukaan. Makanan kesukaanku dua bulan yang lalu. Sekarang hidangan ikan rebus dan sayur bayam termasuk dalam daftar makanan yang bisa kukonsumsi. Satu dari sedikit daftar hidangan yang mau tidak mau harus disukai dengan ikhlas. Sesaat kemudian piring sudah kosong dan anehnya hari ini aku berhasil menghabiskan sayur bayam. Meskipun sebenarnya itu bukan suatu hal yang aneh mengingat bahwa ada hal yang memotivasi. Ya. Hari ini aku mulai mengajar lagi. Aku butuh energi untuk menghadapi dunia sebagai penglipur lara. Sesuatu yang buruk bisa saja terjadi tapi bukan berarti semua akan berakhir. Yang kutahu saat ini adalah melakukan apa saja yang masih bisa kulakukan termasuk mengajar. Aku juga harus tetap melakukan berbagai aktifitas seperti berkumpul dengan teman-teman, menonton film-film bagus, jalan-jalan, dan lainnya. Apa saja yang bisa membuat lupa walau hanya untuk beberapa detik. Jika aku tidak bisa melakukan satu pun itu berarti sebuah kehilangan besar. Ibu mengeluh untuk yang kesekian kali sambil membereskan dapur. Berulang kali juga dia melemparkan pandangan bervariasi ke arahku. Campuran antara pilu dan kesal. Aku hanya tersenyum tanpa bermaksud untuk berpura-pura tidak bisa membaca situasi. Ibu enggan untuk membalas senyumanku. Aku tahu bagaimana rasanya saat kita ingin marah kepada seseorang tapi di saat itu juga kita merasa tidak tega untuk melakukan hal itu dan terpaksa harus menahan di hati. Ibu tersayang yang tidak ingin aku bekerja lagi. Dia selalu mengingatkanku untuk beristirahat saja di rumah seperti anjuran dokter. Tapi dia juga sadar bahwa dengan menghabiskan waktu kesepian di rumah justru akan semakin memberi dampak psikologis b****k bagiku. Semangat yang masih tersisa akan habis dilahap kejenuhan lalu aku akan terbunuh dengan cepat. Sementara bila tetap bekerja dan melakukan rutinitas normal, daya tahan fisikku akan semakin menurun. Hmm... Sungguh suatu pilihan yang sulit. Aku jadi sadar betapa hebatnya seorang ibu. Hatinya hancur menatap penderitaan anaknya namun dia harus berpura-pura membuat keadaan tampak baik-baik saja dan berusaha keras menghias tawa di wajah. Padahal di saat itu juga dia harus melaksanakan segala kesibukan sebagai seorang ibu rumah tangga. Aku tidak mau egois. Ibu bukan hanya milikku seberapa sayang pun ia padaku. Pada akhirnya, aku tetap merasa sendiri di dunia ini. Makhluk lemah yang hanya bisa berusaha dan berdoa. Setelah lama berdiam diri dalam keresahan, ibu mendekat dan tampak sedang menimbang-nimbang perkataan bujukan terbaru yang ingin sekali diucapkan. Dia baru saja memulai untuk mengucapkan kata pertamannya ketika terdengar suara seseorang mengucap salam dari ruang tamu. Mau tak mau ibu membatalkan niat lantas menyahuti salam sang tamu berbarengan denganku. Karena sangat ingin mengakhiri situasi yang kaku ini, aku pergi menuju ruang tamu. Kutepuk pelan bahu ibu dan mengatakan kepadanya bahwa aku baik-baik saja entah untuk yang ke berapa kali. Aku membuka pintu dan segera disambut oleh seraut wajah cantik sang tamu. Wajah cantik di depanku tersenyum malu yang sarat akan ketulusan. Senyuman yang menyejukkan hati. Lama kami beradu pandang sebelum akhirnya gadis pemalu itu menundukkan kepalanya. "Mika. Silakan masuk," sapaku ramah. Mendadak wajah Mika merah merona. Haha. Dia memang manis dan lucu. Sering menunjukkan tingkah yang menggemaskan. "Ini," lirih Mika seraya mengangkat sebuah bungkusan. "Mika cuma mau memberikan ini buat Abang." Aroma manis mulai tercium dari bungkusan yang disodorkan Mika. Aku masih terlalu bingung dan hanya bisa menatap Mika dan bungkusannya bergantian. "Apa ini?" "Oh," Mika mengerjab-ngerjabkan matanya tampak sama bingungnya denganku. "tadi Mika buat kue. Kebetulan masih ada banyak jadi Mika mau kasi abang buat mencicipinya. Tolong diterima ya. Ini buatan Mika." tambahnya. "Wah, rajin ya Mika ini. Abang segan sekali menerimanya, Dik." Mika tertawa dan menepuk pelan bahuku. "Abang ini bicara apa? Seperti orang lain saja. Pokoknya abang harus mencicipi kue dari Mika ini." Aku tersenyum walau dalam hati masih enggan. "Kalau begitu, terima kasih banyak, Mika," ucapku sembari menerima kue dari Mika. Mika mengangguk dan memain-mainkan ujung baju seragam putih yang dipakainya. Dia melirikku bingung lalu menunduk lagi. Dua hal yang berulang kali ia lakukan. "Kenapa, dik? Sepertinya sedang bingung?" Mika menggeleng dan tersenyum. "Tidak apa-apa." "Ayo masuk ke dalam. Ibu sedang membereskan rumah." "Tidak usah, bang. Mika cuma sebentar, kok." "Mika mau berangkat kerja ya?" "Ya." "Abang juga mau berangkat kerja sebentar lagi." Mika memandangku untuk beberapa lama lalu melirik arloji dengan ekspresi kesal dan agak kecewa. "Mika pamit ya, bang." "Iya," sahutku. "terima kasih kuenya. Sampaikan salam abang buat paman Zaenal dan tante Rahmah ya." Mika mengangguk kemudian berjalan pergi dengan langkah buru-buru ciri khasnya membuatku tertawa geli. Dasar gadis bunga. Cantik, lugu, manis, dan pintar. Rumahnya hanya berjarak dua rumah dari rumahku. Sungguh gadis yang baik dan santun. Umurnya baru dua puluh dua tahun. Dia teman bermain Shirly sewaktu kecil tapi sekarang dia bekerja sebagai perawat di salah satu rumah sakit swasta di Binjai. Dia tinggal bersama paman dan bibi semenjak kedua orangtuanya meninggal sewaktu dia masih berusia tujuh tahun. Mika Rahmania beretnis Melayu sama sepertiku. Tidak heran. Di kawasan tempat tinggalku didomisili oleh orang-orang Melayu. Salah satu suku dari sekian banyak yang terdapat di Kota Binjai seperti Batak Mandailing, Batak Karo, Jawa, Melayu, Minang, dan juga Tionghoa. Ibu datang menghampiri dan memperhatikan Mika yang sekarang sudah naik ke mobil pamannya. Sebelum mobil Toyota silver itu melaju, Mika melemparkan senyuman manis malu-malu lagi kepadaku. "Kue lagi ya?" tanya ibu. "Iya, bu. Kue dari Mika." Kuserahkan kue yang sayangnya tidak bisa kumakan itu kepada ibu. Ibu tersenyum simpul. "Ini sudah yang kelima kali." "Mika memang baik. Kapan-kapan ibu buatkanlah kue untuknya. Mika kan sudah seperti saudara kita sendiri," kataku sebelum mencium tangan ibu dan berpamitan pergi. Aku enggan menatap diriku di cermin, takut membuat suasana hatiku menjadi jelek di pagi yang sedikit ceria ini. *** Sekolah adalah tempat yang menyenangkan. Memang kegiatanku sebagai guru cukup melelahkan tapi aku bahagia melihat macam-macam tingkah konyol para murid. Murid-murid yang baik menyambutku dengan berbagai pertanyaan. Aku bersyukur karena aku termasuk guru honorer faforit di sekolah terutama bagi para siswi. Ha ha. Bukan ge-er. Hanya saja tentu ada alasan mengapa banyak siswi yang menyukaiku. Entah rasa suka dalam bentuk apapun itu. Lucu juga jika sedang mengajar sering ada kerlingan genit anak-anak perempuan dan bisik-bisik menggoda. Atau perhatian berlebihan mereka, siswi-siswi yang suka over confident di depanku dengan segala bentuk tingkah cari perhatian, dan serbuan surat-surat cinta beramplop pink tanpa nama pengirim di mejaku. Kesimpulannya, mungkin aku lumayan keren atau apalah. Aku sama sekali tidak mengidap penyakit pangeran yang ingin menikmati rasa simpati gadis-gadis dan selalu haus ingin dipuja. Meski begitu harus kuakui bahwa perlakuan istimewa ini terkadang membuat bahagia serta menambah semangat dan rasa percaya diri terlepas bahwa aku seorang penderita kangker. Tapi bukan hanya dampak baik yang kudapatkan, ada juga masalah yang ditimbulkan 'idol syndrome' ini. Kebetulan tahun ini aku mengajar di kelas tiga SMU yang sudah pasti sebagian adalah gadis-gadis dewasa yang tengah mengalami puberitas. Ada beberapa atau bahkan mayoritas dari murid-murid perempuan yang berani mendekat secara terang-terangan. Mungkin jika di kalangan orang dewasa dikatakan agresif. Aku sudah tahu bahwa gadis-gadis yang sedang puber selalu penasaran dan cenderung ingin berpetualang atau memperoleh kisah asmara paling hit sebagai bahan gengsi-gengsian. Hah... Cukuplah sudah tentang para murid-murid perempuan. Ternyata banyak juga yang menyadari apa yang sedang terjadi padaku. Tidak sedikit murid dan rekan guru yang mulai penasaran dan menyerang dengan pertanyaan, "Kenapa Pak guru kelihatan lebih kurus sekarang?", atau "Pak guru sakit ya?" dan lain-lain. Aku bahagia mendengar perhatian dan nasihat orang-orang yang masih peduli denganku. Walaupun tidak semua yang bersimpati padaku. Secuek apapun sikapku, tetap saja aku menyadari pandangan sinis dan bisik-bisik berbau curiga dan tuduhan dari guru-guru yang lain. Jelas saja. Tidak ada yang tahu mengenai penyakit ini selain bapak kepala sekolah. Pak Wahab yang baik dan sangat pengertian. Di luar hubungan kerja, secara pribadi aku sering menganggap ia sebagai ayah. Dialah yang selalu perhatian, memberi nasihat, dan saran yang baik untukku. Seperti inilah hidupku selama beberapa bulan ini. Mengajar, berkumpul dengan teman-teman, dan melakukan aktifitas-aktifitas kesenanganku seolah tidak terjadi apa-apa. Seolah aku bukanlah orang yang beberapa bulan yang lalu duduk di stasiun dengan surat vonis menyedihkan di tangan. Seolah aku tidak pernah menjalani serangkaian pemeriksaan seperti biopsi yang menyakitkan dan lainnya. Seolah aku tidak pernah mempedulikan kesedihan mendalam ibu. Ya. Aku telah mengganti semua hal yang buruk dan menyedihkan itu dengan hal-hal yang kuanggap menyenangkan. Walaupun tubuhku berusaha melawan dan meraung sakit. Semuanya tetap kupaksakan baik-baik saja sampai akhirnya sebuah teguran atau mungkin pertanda datang padaku. Di suatu pagi yang mendung kudapati diri berada di ruangan yang paling kutakutkan. Setelah semua kesadaran telah kembali dan ketika aku sudah benar-benar bisa membuka mata, akhirnya hari ini aku dirawat di rumah sakit. Berada di rumah sakit dengan kondisi lemah tidak berdaya adalah mimpi buruk yang menjadi nyata bagiku. Orang-orang di sekitarku yang sudah tidak dapat kukenali seluruhnya bereaksi dan panik. Hanya suara ibu yang dapat kukenali dan usapan lembut tangannya di kepalaku yang membuat diri ini menjadi kuat. Aku tahu ini salahku. Ini semua karena keegoisan yang hanya memikirkan diri sendiri dan pasrah dengan penyakitku tanpa memiliki niat lagi untuk berjuang. Rasanya aku sudah menyerah. Jika memang umurku pendek, aku hanya ingin menghabiskannya dengan bahagia. Aku ingin melakukan apa saja yang kusukai tanpa penyesalan. Mungkin kepuasan itulah yang akan kubawa saat aku pergi. Tetapi tidak pernah terpikirkan betapa egois keputusan itu. Ibu yang sangat menyayangiku terluka. Seolah aku tidak hanya membunuh diri sendiri. Aku juga telah membunuh perasaan ibu. Tuhan, berikan aku kekuatan. Aku sudah berhenti menangis saat airmata ibu jatuh di pipiku. Kulihat ibu menangis sambil membelai wajahku. Shirly, menggenggam erat tangan ini dan berusaha keras menahan tangis. Adik yang baik. Aku tahu selama ini dia berusaha meyakinkan dirinya bahwa aku akan baik-baik saja. Semoga apa yang ia yakini itu benar. Ibu memohon agar aku mau menurut jika memang aku sungguh-sungguh menyayanginya. Ingin sekali aku memeluk ibu dan berkata bahwa aku sangat menyayanginya sampai ke ubun-ubun tanpa perlu dipertanyakan lagi, tapi hal itu tidak bisa kulakukan karena secara perlahan kegelapan menarikku menjauh dari ibu. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD