Seseorang tengah duduk di tepi kolam ikan, air yang keruh dan berlumut menandakan si tuan tak pernah mengurasnya untuk waktu yang lama. Satu minggu? dua bulan? entahlah, bahkan ikan yang awalnya terlihat beragam, kini ekornya saja tidak nampak tertutup rumput tak bertulang.
Di pangkuannya, gadis kecil sudah terlelap, tenggelam dalam rajutan mimpi sederhana. Sementara pria itu masih termenung, menempa ingatan akan masa-masa yang tak akan pernah kembali. Lingkaran mata yang menghitam menyiratkan jika ia tidak tidur dengan cukup baik.
Satu biji cemara yang terlempar angin mengenai kolam, menciptakan suara percikan yang cukup keras. Takeru tersadar dari lamunannya. Dilihatnya setumpuk tas dan kardus yang sudah tersusun di teras.
"Ah benar, aku harus bergegas."
Ini adalah keputusan berat yang Takeru ambil. Merelakan salah satu dari pekerjaan atau urusan rumah. Setelah satu bulan mempersiapkan, ia memilih untuk pensiun dini dari pekerjaan dan berniat pindah ke kampung halaman. Tentu saja, dengan Nana sebagai pertimbangan utama.
Berbekal uang pesangon yang Takeru dapat, pria itu berencana mengambilnya sebagian untuk modal usaha, dan sebagian yang lain untuk biaya hidup skala usahanya belum stabil.
Kini di sebuah rumah yang terlihat tak terawat Takeru dan Nana berada. Rumah peninggalan keluarga yang sudah tidak ditinggali untuk waktu cukup lama. Jika dilihat dari luar, akan nampak warna cat yang sudah pudar. Apalagi jika masuk ke dalam, akan didapati setiap ruangan dikuasai oleh debu dan jaring laba-laba.
Waktu melesat bagai anak panah. Sudah dua tahun Takeru dan putrinya menghuni rumah yang semula tak berpenghuni. Jadi, bagaimana suasana desa?
Bising suara kendaraan roda dua yang dinyalakan menemani pagi. Takeru duduk di atasnya, dengan keranjang besar di setiap sisi. Sementara Nana, gadis itu berlari dari dalam rumah, menenteng rantang bekal yang sudah Takeru siapkan.
"Ayah aku sudah siap." Gadis itu menampilkan deretan gigi yang patah di bagian depan, terbentur aspal belum lama ini.
Takeru membantunya naik ke keranjang bagian depan yang sudah sesak. Waktu cepat sekali berlalu, bocah yang masih mengompol dua tahun yang lalu, kini sudah berani ke kamar mandi sendiri.
Motor melaju membelah jalan desa. Hidangan persawahan dan hutan pinus menjadi teman di setiap perjalanan dari atau menuju pasar, tujuan Takeru setiap hari. Dalam dua tahun terakhir, ia bisa mengelola uang pesangon menjadi modal untuk menyewa ruko dan berdagang di pasar. Tidak besar, hanya menjual berbagai kebutuhan bangunan. Karyawan pun belum ada, hanya Takeru yang mengoperasikannya sekaligus menjaga Nana.
Tahun ini Nana akan masuk TK, tepatnya Senin di pekan depan. Setelah dinyatakan diterima di salah satu Taman Kanak-kanak, Takeru mulai mempersiapkan segala kebutuhan putrinya. Mulai dari tas Totoro yang Nana inginkan, juga sepasang sepatu sekolah yang belum pernah Nana miliki sebelumnya. Beruntung, tetangga ruko adalah ibu-ibu penjual peralatan sekolah yang baik, sehingga Takeru tak perlu repot-repot membawa Nana berkeliling satu pasar demi menemukan barang yang cocok.
"Ini satu Totoro untukmu, kau suka?" Takeru memberikan tas berwarna biru abu-abu pada Nana.
Gadis itu mengangguk riang. Dari wajahnya sudah jelas jika Nana sangat bersemangat.
Keduanya beranjak, kembali pada toko bangunan yang sedari pagi sepi pelanggan, hanya satu dua silih berganti.
Bagai hujan yang terjatuh, satu pekan berlalu sangat cepat. Hari ini adalah harinya Nana bersekolah. Tidak seperti biasanya, pagi ini kesibukan Takeru bertambah. Jika sebelumnya ia hanya menyiapkan bekal dan berangkat kapanpun ia selesai, kini harus tepat waktu. Belum lagi, seragam sekolah yang harus terlihat rapi.
"Ayah, aku sudah menunggu."
Takeru menyahut dari dalam. Bekal yang belum siap ditutup seadanya. Pagi ini sangat sibuk mengurus Nana dan perlengkapan sekolahnya, hingga Takeru kehabisan waktu barang untuk menyiapkan bekal.
"Ayah kau lama sekali," ujar Nana saat melihat Takeru keluar dari rumah.
Takeru hanya tersenyum menanggapi. Ia langsung duduk di atas belalang tempur miliknya dan melaju dengan kecepatan yang ditambah. Jika jarak sekolah Nana tidak terlalu jauh, mungkin kecepatan sedang pun akan membawa mereka tepat waktu. Hanya saja, jarak sekolah Nana sedikit lebih jauh dari jarak menuju pasar. Bila tidak bergegas, bisa jadi Nana akan terlambat pada hari pertama sekolah.
"Nah, ayo masuk," ajak Takeru begitu sampai di sebuah bangunan kecil dengan tulisan Taman Kanak-kanak Merpati yang mulai pudar.
Di halamannya yang tidak terlalu luas, terlihat beberapa anak seumuran Nana juga tengah menuju ruangan yang sama. Bedanya adalah tangan-tangan yang menggandeng mereka berjalan. Setiap anak yang dilihat Nana beriring diantar ibu masing-masing. Ada yang tertawa, ada pula yang menangis dan tengah ditenangkan. Sementara di sisi yang lain, gadis kecil yang diantar ayahnya seorang diri memperhatikan pemandangan indah yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Bagaimana rasanya memiliki seorang ibu?
Takeru memperhatikan putrinya. Dalam hatinya seperti ada belati yang menyayat perlahan, perih dalam waktu yang lama. Ia tahu jika Nana mendambakan sosok ibu dalam hidupnya, begitupun Takeru yang hingga saat ini masih mengharapkan Hana di sampingnya. Namun ada hal yang tidak bisa diubah, yakni takdir. Semua sudah terjadi, Hana sudah tiada. Apa yang perlu diperhatikan adalah bagaimana mereka menjalani hari-hari.
"Kau mau berkenalan dengan mereka?" ucap Takeru mengalihkan perhatian Nana.
Gadis itu nampak menoleh, menimbang kemudian menggeleng pelan. Mengerti apa yang dirasakan anaknya, Takeru mengangkat tubuh Nana, menggendongnya dan membawanya menuju kelas. "Nah, kau harus semangat di hari pertamamu, oke?"
Di sebuah kelas, sekitar lima belas siswa tengah duduk di kursi masing-masing. Sementara ibu guru baru saja menyapa mereka. Takeru dan wali murid yang lain mengamati dari balik jendela. Memastikan jika anak-anak mereka merasa nyaman di dalam sana. Sesekali Nana mencari-cari ayahnya, saat ia temukan maka Takeru akan melambaikan tangan kemudian memberinya satu genggaman tanda semangat.
Hari ini Takeru sengaja menutup toko, ingin menemani Nana untuk hari pertamanya. Ia berharap Nana akan merasa lebih baik jika ia ditunggu, meski oleh ayahnya dan bukan ditunggu ibu seperti yang lain.
Pukul sepuluh pagi, sekolah berakhir. Untuk hari pertama hanya diisi dengan perkenalan. Setelah menyalami ibu guru, anak-anak yang masih nampak ceria seperti sebelumnya berlari keluar. Tak terkecuali Nana, gadis itu langsung memeluk Takeru begitu menemui ayahnya di samping pintu.
"Apa hari ini kau bersenang-senang?" tanya Takeru saat motor baru keluar dari gerbang.
Nana mengangguk, terlihat dari helm kebesaran yang bergerak naik turun.
"Temanmu terlihat baik-baik," ucap Takeru lagi.
"Ayah benar, mereka sangat baik dan menyenangkan," jawab gadis itu dengan semangat.
Takeru yang mendengar jawaban jujur putrinya tersenyum lega. Syukurlah jika Nana merasa nyaman di hari pertamanya. Kesan pertama adalah yang terpenting.
Nana turun dari motor, menyerahkan helm yang dilepas pada Takeru. "Ayah," panggilnya.
"Hm?"
"Besok ayah tidak usah menungguku. Ayah bisa membuka toko setelah mengantarku dan menjemputku pukul sebelas, ayah bisa menutup toko sebentar untuk menjemputku, kan?" ujar Nana polos, tapi terlihat sangat dewasa untuk anak seusianya.
Mendengar itu Takeru mengangguk. "Ayah bisa menutupnya sebentar."
Gadisku tumbuh begitu cepat. Ia yang dulu masih merengek saat lapar, atau menangis ketika tak mau ditinggal, kini sudah tumbuh mandiri seperti seorang teman. Putri kecilku terus bertumbuh, siapkah aku untuk waktu yang akan datang?