"Alifa! Alifa... Bangun sayang, sudah siang!" Teriakan Bunda Hilda sambil terus mengetuk pintu.
"Alifa... Bangun! Sekali lagi Bunda panggil kamu masih gak nyahut, Bunda siram kamu pake air satu ember!" katanya dengan emosi yang sudah meluap.
Masalahnya, sekarang itu jam sudah menunjukkan pukul 06.38, alarm pagi pun sudah berbunyi sedari tadi di dalam kamar gadis cantik itu. Pagi hari Senin, bukannya harus bangun pagi sholat subuh dan bersiap ke sekolah, berbeda lagi untuk gadis ini, yang masih bermalas-malasan di dalam selimut dan sudah di pastikan dia akan kesiangan lagi untuk berangkat sekolah.
Dengan tak sabar Bunda Hilda membuka pintu dan langsung masuk ke dalam kamar anak bungsunya.
"Alifa, bangun gak!" Untuk kesekian kalinya Bunda teriak, yang ini tidak terlalu keras dari yang tadi.
"Apa sih, Bund, anak mu ini masih mau bobo cantik dulu...," ucapnya dengan suara serak khas bangun tidur.
"Astaghfirullah, anak ini. Udah jam 7 Alifa, kamu hari ini bukannya udah mulai aktif masuk sekolah. Sudah kelas XII masih aja males-malesan, bangun gak?" ucap Bunda.
"Kalau masih gak mau bangun, jangan salahin Bunda ya, Bunda potong uang jajan kamu 80%," ucapnya lagi dengan memberi peringatan.
"Bundaaa... Kenapa gak bangunin Alifa dari tadi sih?" ucapnya seketika sembari segera bergegas ngancir masuk ke kamar mandi melewati Bundanya.
Bunda berkacak pinggang seraya menggeleng kepala melihat tingkah putri bungsunya.
Ya, dia adalah Alifa, siswi cantik yang masih duduk di bangku SMA.
Saat ini gadis bernama Alifa Syahla Ishani ini naik ke kelas XII, sudah hampir dua bulan ia libur sekolah, di masa cutinya pun ia tidak melakukan apapun, hanya berdiam di rumah yang kerjaannya hanya di kamar dan di dapur.
Bunda tidak mengijinkannya untuk keluar kemana-mana. Katanya, anak gadis kerjanya diam di rumah aja dan terpaksa Alifa menurut saja dari pada uang jajannya yang jadi korban mendingan dirinya saja yang di korbankan.
"Bunda tunggu di meja makan ya, cepetan mandinya!" teriak Bunda seraya berjalan keluar dari kamar putrinya dan turun ke bawah menuju meja makan.
Di meja makan sudah duduk Pak Rudi atau Ayah Alifa. Dan juga Adella orang-orang memanggilnya Della, Kakak dari Alifa, mereka menunggu sembari mengobrol keseharian yang akan mereka jalani.
Tak lama, Alifa pun datang dengan seragam sekolahnya lengkap.
"Pagi semua...," sapa Alifa sembari meletakkan tas dan kemudian ia duduk di kursinya.
"Pagi juga, Nak," jawab Ayah dan juga Bunda bersamaan.
"Lifa, lo lama banget sih, p****t gue udah padet nungguin lo dari tadi," ucap Della ketus
Della memang orangnya asal jiplak. Tidak tanggung-tanggung jika ia ingin mengatai adiknya. Dari dulu, semenjak Alifa lahir ada sedikit rasa iri yang tumbuh dalam dirinya pada Alifa. Bagaimana tidak, Karena Alifa memiliki sedikit paras yang lebih cantik dari dirinya, dan selalu mendapat perhatian lebih dari kedua orang tuanya.
Untuk masalah Alifa yang selalu mendapat perhatian lebih dari Ayah Bunda itu semuanya tidak lah benar. Karena sesungguhnya Ayah Bunda tidak pernah membeda-bedakan kedua putrinya, mereka selalu menyamakan derajatnya, baik keinginan atau pun keluh kesah yang anak-anaknya utarakan mereka akan selalu menuruti dan mengiyakannya. Bisa di katakan Della hanya lah terlalu bisa melebih-lebihkan segala keadaan.
Untuk itu, Ayah Rudi tidak pernah menahu jika di antara kedua putrinya yang kadang suka ada masalah dan saling melempar percekcokan, atau bisa dikatakan keduanya tidak pernah akur. Dan keduanya sangat pandai menyembunyikannya dengan selalu bertingkah baik dan biasa saja jika sudah di hadapan Ayah Bundanya.
"Ya maaf lah, Kak, tadi gue gak denger alarm gue bunyi," jawab Alifa dengan tersenyum kikuk.
"Halah, alasan. Lo nya aja yang emang kebo, manja, setiap pagi harus di bangunin. Mau jadi apa nanti," ucap Della dengan cibirnya.
"Apaan sih, gak jelas banget kamu, Kak," imbuh Alifa dengan raut cemberut.
"Sudah, gak baik adu mulut depan rezeki. Ayok di makan sarapannya, kalian udah telat berangkatnya," ucap Bunda melerai adu mulut kedua putrinya.
Setelah selesai sarapan, kedua Kakak beradik itu pamit untuk berangkat kuliah dan ke sekolah. Alifa dan Della mencium punggung tangan Ayah Bunda, kemudian bergegas ke kampus atau sekolah dengan mobilnya masing-masing.
Alifa yang masih SMA, memang baru-baru ini ia berani membawa kendaraan sendiri. Kemarin pas lepas dari kenaikan kelas ia meminta pada Ayahnya untuk bisa membawa kendaraan sendiri. Ia sudah tak ingin di antar jemput lagi, katanya tidak ingin merepotkan siapapun lagi, dirinya sudah dewasa, sudah bisa menjaga diri. Dan pada saat itu lah ia langsung di ajarkan untuk menyetir.
Sebenarnya Alifa bisa saja selalu barengan dengan Kakak nya Della, jarak kampus dan sekolah Alifa pun bersebelahan, tapi tahu sendiri 'kan keduanya itu tidak pernah akur. Della nya saja yang selalu tidak mau akur dengan adiknya. Alifa tidak masalah jika bisa nebeng di Kakaknya, tapi masalahnya Della lah yang tidak ingin, katanya Alifa selalu cuma bisa merepotkan orang, manja.
Manja? Alifa paling tidak suka jika dirinya di sebut anak manja. Kenyataan dirinya memang bukan lah anak manja. Bisa jadi kebalikannya lah yang tepat.
Dari sudut manakah Alifa sampai di kategorikan sebagai anak manja? Alifa yang selalu menyiapkan segala hal keperluan sekolahnya sendiri, mencuci baju pun Alifa lakukan sendiri, padahal di kediaman mereka sudah di gajikan ART yang bisa mengerjakan segala hal. Tapi Alifa berbeda, ia ingin mengerjakan sendiri saja jika menyangkut dengan barang dan haknya.
Sedangkan Della, gadis itu masuk ke dapur untuk masak air saja tidak pernah, apalagi membantu Bundanya. Kerjaan tiap hari cuma kuliah, jika di rumah kelulusannya cuma makan dan malas-malasan. Kalau tidak, dia akan keluar dengan temannya atau jalan dengan pacarnya. Benar-benar di luar ekspektasi dari ucapannya yang mengatai adiknya sendiri. Della tidak pernah untuk ngaca pada dirinya sendiri. Bisa di bilang hanya dirinya yang sempurna. Padahal, dia lah yang parah.
Untung-untungnya Ayah Bunda orang sabar mendidik dan membimbing kedua putrinya. Ayah Bunda tidak terlalu banyak mengekang keinginan. Jika itu yang terbilang baik untuk putrinya, ia akan menerima. Namun, jika itu tidak baik, maka mereka tidak akan segan-segan berbuat tegas untuk melarangnya. Tidak ada orang tua yang ingin kedua putrinya jatuh dalam salah bergaul, memilih teman pun mereka akan melihat-lihat dulu, mana yang pantas untuk anaknya jadikan teman dalam bermain dan bergaul.