Ilyas 3

1421 Words
"Bun... kenalin ini Alya." Kata Ilyas di suatu siang, mengenalkan gadis manis berhijab yang berhasil mencuri hatinya. Sebenarnya sudah dari lama Ilyas mengajak Alya untuk bertemu bunda dan keluarganya, tapi Alya selalu menolak secara halus. Yang belum siap, yang harus ke kampus, yang ada tugas ini tugas itu, yang harus ketemu dosen, dan alasan lainnya. Hingga Ilyas yang tanpa henti membujuk, akhirnya berkata, "Baru kamu perempuan pertama yang aku ajak untuk ketemu bunda. Dan berharap kamu akan jadi perempuan terakhir. Aku serius dengan arah hubungan ini. Tidak mau main-main. Jadi kalau kita sepakat dengan arah hubungan kita, kita lanjut. Tapi kalau tidak, ya sudahlah, biarkan aku mencari perempuan lain." Mau tak mau, Alya tentu saja menuruti keinginan Ilyas untuk dikenalkan kepada keluarganya. Tentu saja Alya juga tidak mau kehilangan Ilyas kan? Kapan lagi dapat cowok seperti Ilyas? Ganteng, pintar, setia, sudah bekerja dan terutama sholeh. Sempurna! Alya malu-malu mencium punggung tangan Rania dan Yogi. Rania menepuk pundak gadis itu, berusaha memberi ketenangan. "Pah... tolong jagain Icha ya. Bunda mau siapin makan siang dulu sama Alya ya. Yuk, bantuin tante di dapur." Segera Rania menarik tangan Alya untuk mengikutinya. "Tapi tante... maaf..., Alya tidak bisa memasak." Bisik Alya takut-takut. "Bukannya tidak bisa, tapi belum bisa. Memasak itu cuma butuh latihan dan ketelatenan kok. Awalnya ribet memang tapi lama-lama akan bisa kok. Lagipula tadi tante sudah selesai masak ini cuma tinggal disajikan aja." Kata Rania bijak. Rania, sebagai ibu yang relatif masih muda padahal anak-anaknya sudah dewasa, berusaha memahami perasaan gadis manis itu. Pastinya butuh kekuatan untuk bisa datang bertemu calon mertua dan keluarganya. Bayangan akan ibu mertua yang cerewet, galak, jahat, pastinya menghantui Alya. Tapi Rania bukan tipe seperti itu. Dia merasa cukup bijak kok. "Naah... ini sayurnya di piring ini, lauknya di sini, eeumm sambal, tempe dan tahu goreng di sini. Jangan lupa kerupuk. Mas Ilyas sangat suka tempe - any kind masakan tempe - dan sambal. Simpel kan? Dia mah makan gak rewel kok." Rania menjelaskan kesukaan Ilyas pada Alya. Alya hanya tersenyum kikuk, tidak tahu harus bagaimana. "Oiyaa... tante minta tolong potongin buah-buah ini ya..." "Eemmm... kamu tahu Alya? Kamu gadis pertama yang dibawa Mas Ilyas ke mari. Dikenalkan kepada kami. Kamu sendiri tahu kan bagaimana sifat Ilyas? Dia orangnya sangat menjaga komitmen. Dan itu artinya, kamu yang berhasil mencuri hatinya. Semoga kamu bisa cocok ya sama Ilyas." Kata Rania lagi, dengan nada lembut. "Iyaa tante..." Jawab Alya malu-malu sambil menunduk. "Waaah... bunda sama Mbak Alya masak apa nih? Harum banget. Mas sama Icha udah lapar loh bun." Ilyas tiba-tiba saja sudah ada di dekat mereka, sambil menggendong Icha, adik bungsunya yang memang lengket padanya. "Eeh Icha salim dulu sama Mbak Alya ya... Calon istrinya Mas Ilyas ini." Bisik Ilyas tapi dengan suara agak keras pada Icha. Icha menggeleng, tanda tidak mau. Bahkan malah semakin erat memeluk Ilyas dan melihat Alya dengan mata tidak suka. "Hahaha... si adek mah... Gini Alya, Icha ini paling lengket sama Ilyas. Jadi kalau ada orang lain, cewek terutama, yang dekat sama Ilyas, dia pasti akan posesif. Jangankan kamu, kalau Iyah - kakaknya - lagi pingin manja sama Ilyas saja langsung deh Icha protes. Ngomel gak jelas dengan bahasa yang cuma dia mengerti. Gak mau lepas dari gendongan Ilyas." Rania menerangkan panjang lebar. Yogi berusaha mengambil Icha agar Ilyas bisa duduk dan makan dengan tenang. Sayangnya, Icha malah semakin nempel saja ke Ilyas. "Cha... ndak boleh gitu ya.. kasian Mas Ilyas jadi susah makan. Sama papa yuk." Bujuk Yogi. Icha menggeleng dan semakin mengeratkan pelukannya ke Ilyas. "Gak papa, Pah. Palingan karena Icha ngantuk nih. Dipangku Mas Ilyas tapi Icha maem ya?" Tanya Ilyas dengan lembut, semua itu tak lepas dari perhatian Alya. Lelaki sempurna! Bahkan anak kecil pun lengket. "Iyaa... mam... apin Mas Iyas." Jawab Icha, dengan logat khas balita. "Icha mau disuapin Mas Ilyas? Tapi makan yang banyak ya... habis itu bubu." Kembali Icha mengangguk, tersenyum lucu dan tampak antusias mengunyah makanan yang disuapi Ilyas. "Sambil menunggu Ilyas selesai suapin Icha, kamu makan buah dulu aja, Alya. Icha mah gak akan bisa lepas dari Ilyas kecuali saat dia ngantuk, baru deh cari tante. Lagipula mungkin dia kangen Ilyas karena seminggu ini baru datang hari ini." Rania menyodorkan sepiring buah potong. Alya menerima dan memakan beberapa potong saja. Dia merasa nyaman di keluarga ini. Entahlah, suasana yang hangat, tulus dan menyenangkan. "Ndaaa... bubu... antuuuk..." kata Icha manja sambil mengucek matanya yang bulat. Pipi montok, kulit kecoklatan seperti Yogi. Terlihat kontras dengan Ilyas yang berkulit putih. Kadangkala membuat Ilyas iri, kenapa malah Icha - adik perempuannya berkulit coklat - sedangkan dia putih, seperti almarhum ayahnya, Nino. Rania segera menggendong Icha menuju kamar. "Sebentar ya, tante taruh Icha dulu di kamar habis itu kita makan. Sekalian nunggu Yasa dan Iyah pulang ya." Kata Rania ke Alya, dijawab anggukan manis gadis itu. Yogi mengikuti langkah Rania yang akan menidurkan Icha. "Keluargamu menyenangkan. Aku suka di sini. Bikin betah." Alya berkata pelan sambil menusukkan garpu ke buah potong. "Memangnya keluargamu kenapa?" Ilyas yang tajam pemikirannya segera saja ngeh dengan maksud kalimat Alya. "Euuum..." "Assalamualaikum..." Terdengar suara menyapa. "Waalaikumusalam..." Ilyas dan Alya menjawab berbarengan. "Eeh ada tamu... Siapa nih? Mas Ilyas kok gak bilang mau bawa cewek cantik gini?" Iyah langsung protes ke Ilyas yang hanya ditanggapi senyum khas kakak tertuanya itu. "Iyaaaah... bantuin Mas Yasa doong. Mas mu yang ganteng maksimal ini bukan porter loh Iyaaah..." Suara Yasa yang terdengar kesal pada Iyah terdengar. Terlihat dia agak sedikit kerepotan membawa tas yang berisi busur dan anak panah milik Iyah, tas bekal dan menenteng sepatu adik kecilnya itu. Sementara Iyah hanya membawa ransel saja. "Mas Ilyas... tuh Mas Yasa..., Iyah kan minta tolong dibawain tas-tas sama perlengkapan Iyah aja udah ngeluh gitu. Mas Ilyas dong gak pernah ngeluh kalau Iyah minta tolong." Iyah melapor pada Ilyas yang tentu saja akan langsung membelanya. "Sa... bawa gitu doang kok mengeluh sih? Kan kasihan Iyah, udah capek kegiatan sekolah. Lagian bawa cuma dari garasi masuk ke rumah doang." Ilyas mulai menceramahi Yasa. "Tuuh kan Iyah mah dikit-dikit lapor sama Mas Ilyas. Curang iih... besok-besok Mas Yasa gak mau jemput lagi deh." Yasa pura-pura kesal. "Eeh ada tamu... cewek cakep gini. Kenalan dulu dong mbak..." Yasa baru tersadar akan kehadiran Alya, dan dengan semangat mendekati Alya. Alya tersenyum melihat tingkah laku Yasa - Ilyas pernah cerita tentang keluarganya - yang bertolak belakang dengan Ilyas. "Eeh... eeh... calon mbakmu itu, Sa..." "Waaah... ini cewek yang sering diceritain Mas Ilyas itu yaa? Cakeeep... Iyah suka... Kenalan dulu mbak, saya Iyah, adik Mas Ilyas yang paling cantik." "Sama cantiknya sama Icha, Iyaaah." Celetuk Ilyas. Dia menyayangi kedua adik perempuannya itu. Tidak mau membedakan, walau Icha adalah adik tiri, beda ayah. Tapi dia tetap menyayangi keduanya. Iyah mencebik, berpura ngambek. "Nah, kalau ini adik kembar saya. Namanya Yasa." Yasa mengangsurkan tangan bermaksud menyalami Alya tapi tangannya langsung ditepis Ilyas. Mata Ilyas mendelik. Membuat Yasa segera menarik tangannya sambil menyengir kuda. "Kami cuma beda lima menit doang kok Mbak. Eeh... mbaknya namanya siapa ya?" "Alya.." "Mbak Alya, sini duduk sebelah Iyah deh. Mas Ilyas beberapa kali cerita tentang Mbak Alya loh. Akhirnya ketemu juga. Kirain Iyah, Mbak Alya itu virtual. Lah wong gak pernah diajak kemari." "Butuh waktu menyakinkan Alya untuk ke sini, padahal mah cuma diajak makan siang." Jawab Ilyas kalem. "Waah sudah lengkap ya... sudah pada ngumpul semua. Mumpung Icha lagi tidur, kita segera makan yuk. Mas Ilyas bakalan riweh kalau Icha bangun. Gak bisa lepas." "Kok kalau sama Yasa gak gitu sih bun?" Celetuk Yasa sambil menerima piring yang sudah diberi nasi oleh Rania. "Mas Yasa sih suka iseng sama Icha. Icha bukannya lengket malah lebih sering dibuat nangis." Kata Iyah buka rahasia. "Anak kecil itu jujur loh, Sa. Tahu banget mana orang yang tulus baik hati, sama yang enggak." Kata Ilyas kalem, tapi menusuk. Membuat yang lain tersenyum simpul. Sikap Ilyas menjadi beda jika berada di rumah, lebih terbuka, lebih banyak bicara. Alya perhatikan itu. "Oouch... it's hurt... Mas!" Yasa berpura memegang d**a kirinya. Keriangan terjadi di keluarga harmonis itu. Tidak ada kepura-puraan. Semua anggota keluarga tampak bahagia. Nyaman saat interaksi dengan yang lain. Alya hanya berharap, keluarganya juga seperti ini. Kompak, bahagia, banyak tawa. Dulu, keluarganya seperti itu sampai prahara itu datang. Sampai perempuan penggoda itu hadir. Merusak keluarganya. Dan hanya dia yang tahu akan hal ini. Tidak ada yang ada tahu bahwa perempuan perusak rumah tangga papa mamanya ternyata juga punya hubungan dengan pemudah tampan pujaan hatinya ini. Kelak, saat Ilyas tahu, apakah yang akan terjadi? Berhenti dan menyerah pada cintanya ke Alya atau tetap melanjutkan hatinya walau dengan dendam membara. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD