3. Rio Sadewa

1107 Words
Rhea masih menggerutu karena pertemuannya dengan si tetangga depan rumah di lampu merah tadi. Hingga perempuan itu sampai di kantor, rasa kesal masih merajai hatinya. Wajah yang ditekuk semakin membuat ngeri siapa saja yang melihat. Ya, di kantor tempatnya bekerja Rhea memang terkenal judes dan mahal senyum. Tipe wanita karir yang tegas dengan pembawaan keras. Bukan tanpa sebab Rhea bersikap demikian. Itu semua ia lakukan agar para staff yang bekerja di bawah kepemimpinannya memiliki keseganan ketika berhadapan dengannya. Juga agar para karyawan giat bekerja dan tidak semena-mena mengabaikan tugas dan tanggung jawab. Sebagai seorang atasan yang menjabat sebagai seorang Manager Marketing, Rhea termasuk salah satu karyawan beprestasi hingga jenjang karirnya bisa melesat naik secara cepat. "Dasar sok kecakepan!" umpatnya sembari menjatuhkan tubuh di atas kursi kerjanya. Di dalam ruangan ini Rhea hanya sendirian karena jabatan manager memang memiliki privasi sebuah tempat kerja yang terpisah dari para staff yang lainnya. Tangan Rhea dengan cekatan menyalakan laptop masih dengan bibir mengerucut. Padahal tadi Haris hanya melemparkan seulas senyuman, tapi entah kenapa di mata Rhea, senyum itu adalah sebuah godaan dari pria yang tidak disukainya. Rhea sendiri memang tidak menyukai sosok Haris Saputra. Jika di rumah, ayahnya sering sekali bercerita tentang pria itu atau menyebut-nyebut namanya. Belum lagi ibunya yang juga sering mengirimi makanan atau apapun yang dipunya di rumah, untuk Haris Saputra. Ditambah sang kakak yang juga tampak akrab dengan sosok pria yang dimata Rhea nggak ada apa-apanya. "Apa sih hebatnya seorang satpam?" Lagi-lagi mulutnya tidak berhenti menggerutu mengolok si pria tetangganya itu. "Ehem!" Suara deheman yang terdengar, mendongakkan kepala Rhea. "Pak Rio, selamat pagi!" Sapa Rhea pada sosok lelaki bermata sipit yang berdiri di ambang pintu ruang kerjanya. "Pagi, Re. Tumben masih pagi tapi wajah sudah ditekuk begitu." Rhea memaksakan senyumannya. "Nggak pa-pa, Pak. Lagi kesel aja sama orang." "Siapa?" "Bukan siapa-siapa. Nggak penting juga," jawab Rhea yang memang tak mau membahas apapun yang berhubungan dengan Haris. "Re, kamu udah siapin belum proposal untuk perusahaan Adijaya Properti?" Rio bertanya soalan proyek yang menjadi incarannya. Jujur, Rio ini sangat cocok dengan Rhea karena menurutnya Rhea ini sangat pandai sekali mendapat proyek besar. Kepala Rhea mengangguk. "Sudah, Pak." "Ya sudah. Nanti bawa ke ruanganku." "Baik, Pak." Rio Sadewa, CEO Sadewa Property yang tak lain adalah atasan Rhea, meninggalkan ruang kerja gadis itu. Kasak kusuk mulai terdengar acapkali para karyawan melihat betapa perhatiannya seorang CEO dengan salah satu manager-nya. Ya, kedekatan Rio dengan Rhea memang menjadikan para karyawan yang setiap hari melihat, langsung menjadi bahan pembicaraan. Sebenarnya tak jadi soalan jika sosok wanita single seperti Rhea menjalin hubungan dekat dengan sang atasan, kecuali jika atasannya juga sama single dan seorang pria lajang. Yang jadi soalan adalah Rio Sadewa ini sudah menikah dan memiliki dua orang anak. Rasanya aneh saja jika melihat Rhea selalu dekat dengan Rio. Yang lebih mengherankan lagi, seolah Rhea memang sengaja menulikan telinga dengan semua omongan orang yang tertuju padanya. ••• Siang harinya usai jam istirahat selesai, Rhea sudah terburu-buru meninggalkan ruang kerjanya. Dengan berkas-berkas di tangan, gadis itu berjalan tergesa menuju lobi. Tidak enak pada Rio yang sudah menunggunya di sana. "Si Rhea lama-lama lebih mirip sekretarisnya Pak Rio saja," celetuk dua orang staff yang melihat Rhea menghampiri sang atasan yang duduk di sofa lobi kantor. Jujur, sebenarnya telinga Rhea menangkap omongan itu tapi dia sengaja mengabaikan. Bagi Rhea, tujuannya ada di kantor ini untuk bekerja. Jika Pak Rio baik padanya, itu semua hanya karena masalah pekerjaan. Tidak lebih. Rhea sendiri juga tidak pernah berduaan dengan Rio dalam konteks urusan pribadi. Semua yang berhubungan dengan Rio pasti karena urusan pekerjaan. Rhea pun tahu akan status Rio. Selain atasannya, pria itu pun telah beristri. Rhea paham itu. Sebab itulah ketika telinganya kerap mendengar gosip miring seputar dirinya dengan Rio, Rhea tak menanggapi. Toh, apa yang mereka tuduhkan itu tidak terbukti kebenarannya. "Re, ikut mobilku saja!" titah Rio ketika mereka berdua sudah berada di luar lobi. Rhea menghentikan langkah menatap pada sang atasan. "Kalau nanti pulangnya kesorean gimana, Pak? Saya kan nggak mungkin harus balik ke sini ambil mobil." "Ya udah sih. Nanti aku antar kamu ke rumah langsung. Ngapain pakai balik kantor segala." "Tapi, Pak. Malah ngerepotin Pak Rio nantinya. Nggak apa, Pak. Biar saya bawa mobil sendiri saja." "Sudah jangan ngebantah. Ikut mobilku saja biar lebih cepet dan nyampenya barengan." Karena Rio memaksa, Rhea pun tak ada kuasa menolak. Ia pun ikut saja dengan apa yang Rio perintahkan. Lagipula ini bukan kali pertama bagi mereka pergi berduaan. Sudah sering Rio membawanya entah ke proyek, meeting, atau sedang menjamu klien. Yang jelas kebersamaan mereka hanya sebatas rekan kerja. Itu yang ada di pikiran Rhea. Lain lagi dengan apa yang Rio pikirkan. Tak bisa membohongi hatinya. Semenjak mengenal Rhea, kegigihan wanita itu menghipnotis Rio. Semangat kerja yang tinggi dan ketangguhan Rhea, membuat Rio berkali-kali melontarkan pujian untuk wanita itu. Selain cantik, Rhea juga wanita yang mandiri. Rio salut akan semua itu. Ditambah lagi, setelah Rhea menjabat sebagai manager marketing, Rio jadi sering terlibat pekerjaan dengan Rhea. Seringnya bersama, benih-benih cinta mulai tumbuh di dalam hati Rio. Tanpa Rhea sadari jika Rio memang sengaja mencari-cari cara agar dirinya selalu terlibat langsung dalam setiap pekerjaan yang ada hubungannya dengan Rhea. Meskipun pekerjaan itu sebenarnya dapat dihandel oleh anak buahnya. Rio melirik wanita yang duduk semobil dengannya. Bahkan Rhea ada di sampingnya. Mata Rio yang fokus pada jalanan sesekali masih juga memperhatikan Rhea yang sejak tadi malah sibuk dengan ipad di tangan. "Apa ipad-mu itu lebih menarik dari pria tampan di sebelahmu ini, Re?" tanya Rio yang mengejutkan Rhea. Perempuan itu justru tergelak. Bukannya peka, yang ada Rhea malah merasa jika Rio sedang mencandainya. "Tentu saja dong, Pak. Bagi saya uang lebih tampan dari seorang pria." "Astaga, Re! Dasar cewek mata duitan ya!" "Karena di dunia ini apa-apa butuh duit, Pak. Jadi wajar jika saya mata duitan." "Pantas saja kamu ini gila kerja. Buat apa sih kamu nyari duit banyak-banyak. Toh, nanti kalau kamu nikah juga suamimu yang bakal nyukupin semua kebutuhanmu." "Iya kalau dapat suami yang pengertian dan tahu tanggung jawab. Kalau tidak? Saya sih cari aman, Pak. Jaga-jaga saja ngumpulin duit agar punya banyak tabungan. Jadi jika nanti nikah dan dapat suami yang rejekinya pas-pasan, setidaknya saya masih punya uang simpanan." "Memangnya kamu sudah ada rencana menikah?" Rio masih saja ingin tahu. Padahal topik tentang pernikahan ini cukup sering mereka bahas. "Seperti yang Pak Rio tahu. Dalam waktu dekat saya belum ada planning nikah. Lagian calonnya aja nggak ada. Memangnya mau nikah sama siapa. Sama kucing?" Rhea memberikan candaan. Namun, reaksi Rio justru berbeda. Pria itu dengan lirih berucap, "Andai aku belum nikah, aku mau jadi calon pengantin priamu, Re." Sontak Rhea menolehkan kepala menatap pada sang atasan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD