NANA OH NANA - BAB 3

1785 Words
Hari ini adalah hari yang paling bersejarah dalam hidup Nana. Di hari ini, tepat hari kelulusan Nana di Sekolah Menengah Pertama (SMP), Nana harus mendengar suatu hal yang menyakitkan hatinya. Perusahaan milik ayahnya yang dikelola Pakde dan Pamannya itu bangkrut. Benar-benar tidak bisa beroperasi lagi. Harapan Nana pupus, karena dia terancam tidak akan melanjutkan sekolah di SMA favoritnya. Nilai terbaik, dan paling tertinggi di sekolahannya, rasanya sudah tidak ada gunanya lagi. Ibunya hanya menjadi ibu rumah tangga yang hanya mengandalkan bagi hasil dari perusahaan peninggalan ayah Nana. Namun, semua sudah musnah. Perusahaannya tumbang, karena ada penyalahgunaan keuangan. “Nana mau masuk SMA, aku harus menyekolahkan Nana pakai apa, Mas?” ucap Marlina pada kakaknya. “Lin, aku juga tidak tahu, mengapa tiba-tiba seperti ini,” ucap Aziz. “Candra, Mbak Lina minta tolong, Nana mau masuk SMA, hari ini baru menerima kelulusan. Mbak minta bantuan kamu untuk bisa membantu biaya sekolah Nana, Mas Aziz juga,” ucap Marlina. “Aku bisa membantu, Lin, tapi tidak bisa seluruhnya, aku hanya membantu beberapa saja,” jawab Aziz. “Mbak, Sekar juga ingin sekolah kedokteran, aku harus mempersiapkan dari sekarang, jadi aku juga bisanya semampuku dan seadanya aku saja,” ucap Candra. “Ibu tidak usah khawatir. Nana bisa sekolah tanpa uang dari mereka. Ibu percaya sama Nana!” Nana langsung bicara seperti itu pada ibunya. Dia sudah terlampau marah dengan paman dan pakdenya yang tidak bisa bertanggung jawab dengan perusahaan peninggalan ayahnya. “Bagaimana bisa, Nak? Kamu ingin sekolah di SMA favorit kamu, dan biayanya mahal,” ucap Bu Marlina. “Nana akan kerja. Yuni teman Nana punya Cafe, dan Nana boleh kerja di cafenya dengan paruh waktu,” ucap Nana. “Nah gitu dong, ada usaha dikit, biar enggak ngrepotin sekali,” ucap Candra. “Benar, kamu juga harus belajar kerja, jadi kamu punya pengalaman. Pakde juga sedang menyekolahkan Tia, jadi kamu harap maklum, Na,” ucap Aziz. “Iya, Nana tahu itu. Tenang saja, kalian tidak usah membantu kami,” ucap Nana denganpenuh penekanan. Nana masuk ke dalam kamarnya, dia merasa semua orang sudah jahat padanya. Dia seperti tidak memiliki saudara. Saudara dari ayahnya tidak ada, dan saudara dari ibunya malah seperti itu, tidak ada yang baik sama sekali. Nana tahu, uang perusahaan sering dipakai Pamannya untuk bermain wanita malam. Menyewa wanita malam untuk memuaskan hasratnya. Nana memberanikan diri untuk mendaftar sekolah di SMA favoritnya. Nilainya sungguh sangat bagus, tapi nasibnya buruk. Zaman sekarang sekolah tanpa bayar mahal, tidak akan bisa. “Yun, aku jadi kerja di Cafe kamu.” Nana menuliskan pesan pada Yuni, teman akrabnya sekaligus sahabatnya. Beruntung Yuni sangat baik, dan menganggap Nana seperti saudaranya sendiri. Papa dan mamanya Yuni juga sangat baik dengan Nana. Nana meletakan ponselnya di atas tempat tidurnya. Dia menunggu balasan dari Yuni sambil menyiapkan berkas untuk mendaftar sekolah besok pagi dengan Yuni. Nana memberanikan diri, dia nekat, demi untuk melanjutkan SMA. “Nana, besok selesai daftar sekolah, kita langsung ke cafe saja, ya? Nanti kamu langsung intervew dan training saja. Kata mama begitu. Kamu benar sudah yakin mau kerja?” Nana membaca balasan dari Yuni. Ada rasa senang dan bahagia, karena dia diterima bekerja di cafe milik Yuni. Dia benar-benar yakin akan bekerja, demi untuk membiayai sekolahnya. “Iya, Yun. Aku yakin, aku mau bekerja. Tapi, bisa kan kalau paruh waktu? Jadi aku bekerja dari aku pulang sekolah sampai selesai jam kerjaku.” “Iya, bisa. Besok kita obrolin lagi. besok aku sama sopir jemput kamu, Na. Kita daftar sekolah bareng. Mama juga ikut. “Oke, aku tunggu di depan rumahku, Yun. Terima kasih, kamu sudah membantu aku.” “Iya, Na. Santai saja, seperti dengan siapa kamu ini.” Nana mengakhiri chatnya dengan Yuni. Dia tidak pernah tahu akan bertemu teman rasa saudara. Mama dan papanya juga care dengan dirinya. Nana menjadi semangat untuk melanjutkan sekolahnya, karena mamanya Yuni sudah menerima dia bekerja di cafenya. Lina melihat anak sulungnya yang sedang menyiapkan berkas untuk mendaftar sekolah. Lina menyeka air matanya. Di saat Nana akan masuk SMA, perusahaan peninggalan milik suaminya raib. Dia tidak bisa apa-apa. Tidak mungkin Lina meminta bantuan ibunya. Itu nantinya akan membuat iri kakak dan adiknya, karena mereka tidak pernah meminta bantuan pada ibunya, kecuali Ayu, adik dari Lina, yang sering meminta bantuan ibunya karena Candra jarang memberi nafkah. Lina tidak mau merepotkan ibunya. Apalagi ibunya sekarang sendirian. Dia bisa menemani ibunya saja sudah sangat bahagia, dan kadang di beri sedikit uang dari ibunya, tanpa Lina meminta. “Nana, kamu benar mau mendaftar sekolah besok pagi?” tanya Lina pada putrinya yang sedang mempersiapkan syarat-syarat pendaftaran “Iya, Bu. Besok sama Yuni,” jawab Nana. “Ibu hanya ada sisa tabungan segini, Nak. Itu saja sama diberi eyang uti mu,” ucap Lina. “Bu, ibu tidak usah khawatir. Insya Allah tabungan Nana cukup, kok. Nana harus sekolah, Bu. Meski hanya lulus SMA saja. Zaman sekarang lulusan SMP mau bekerja apa?” ucap Nana. “Iya, ibu tahu itu. Maafkan ibu, Nak,” ucap Lina dengan memeluk Nana. “Ibu tidak usah sedih seperti ini. Mulai besok atau minggu depan, Nana sudah mulai kerja di Cafe milik Yuni. Nana pasti bisa membiayai sekolah Nana dari hasil kerja di Cafe, dan sisanya bisa buat belanja ibu,” ucap Nana. “Kamu belum tujuh belas tahun, Na. Masa mau kerja,” ucap Lina. “Ibu lihat postur tubuhku? Aku terlihat seperti umur tujuh belas tahun, kan?” ucap Nana. Nana memang memiliki perawakan yang bongsor, di tambah lekuk tubuh yang indah dan seksi. Jadi dia terkesan seperti wanita dewasa, dan pantas berusia tujuh belas tahun. “Iya, sih. Tapi, kan anak di bawah tujuh belas tahun tidak boleh bekerja, Nak,” ucap Bu Lina. “Itu kalau di perusahaan besar, Bu. Nah, Nana kan kerja di cafe. Bu. Tenang saja, ibu tidak usah khawatir. Mama dan papanya Yuni baik sekali, Ma,” ucap Nana. “Syukurlah kalau begitu. Maafkan ibu yang belum bisa membuat kamu bahagia, Nak,” ucap Bu Lina. “Ibu tidak usah bicara seperti itu. Yang penting, ibu sehat. Doakan Nana biar pekerjaan Nana lancar hingga lulus SMA, Bu,” ucap Nana. “Itu pasti, Sayang.” Bu Lina memeluk putrinya lagi. Beliau tidak menyangka, Nana memiliki pemikiran yang sangat dewasa sekali, dan sangat mengerti keadaan ibunya. ^^^^ Dua bulan telah berlalu. Nana sudah menjadi siswa putih abu-abu. Ya, sekarang Nana sudah sekolah di SMA favoritnya. Bersama dengan Yuni sahabatnya. Beruntung sekali, mereka satu kelas. Nana bahagia, akhirnya dia bisa sekolah di sekolah impiannya sejak dulu. Meski dia sambil bekerja, dia menikmati hidupnya saat ini. Beruntung, mamanya Yuni memberikan Nana lima hari kerja saja, dan hanya enam jam kerja. Itu semua karena beliau tahu, Nana harus belajar, dan jangn terlalu kecapean. Orang tua Yuni menganggap Nana seperti anaknya sendiri. Mereka sering memberi lebih di luar gaji Nana. Nana sudah dua kali menerima gaji dari cafe Yuni. Beruntungnya, Nana mendapat beasiswa berprestasi. Dia bebas biaya uang gedung dan SPP selama satu tahun. Nana tidak menyangka akan mendaptkan beasiswa tersebut. ^^^ Pagi ini, Nana akan berangkat ke sekolah. Dia berjalan ke depan  menuju ke halte bus dekat rumah eyangnya. Seragam putih abu-abu yang membalut tubuhnya itu sangat memperlihatkan lekuk tubuhnya yang seksi. Meski sudah longgar bajunya, tetap saja, rok abu-abunya tidak bisa menyembunyikan pinggulnya yang seksi. Candra pagi ini mampir ke rumah ibu mertuanya. Nana dan ibunya memang tinggal di rumah eyang utinya. Itu semua karena rumah eyangnya sepi, hanya eyang utinya saja. Di rumah Nana pun hanya Nana, ibunya, dan Pitaloka. Jadi eyangnya Nana menyuruh Nana dan ibunya tinggal di rumahnya. “Mau sekolah, Na?” tanya Candra dengan melihat wajah keponakannya yang semakin bertambah cantik, dan tubuhnya semakin seksi. “Iya, masa mau kerja, Om,” jawabnya dengan ketus. “Mau om antar?” tawar Candra. “Tidak usah, bus saja banyak kok,” jawab Nana. “Pagi ini bus dan angkutan umum sedang demo,” ujar Candra. “Naik becak juga gampang,” jawabnya sambil berlalu pergi meninggalkan Candra. Entah ada urusan apa Candra ke rumah ibu mertuanya. Nana tidak peduli itu. Nana menunggu bus yang tidak kunjung datang, padahal sudah jam setengah tujuh lebih sepuluh menit. “Ini benar bus pada demo apa, ya?” ucap Nana lirih. Nana masih berusaha sabar menunggu bus datang. Hari ini Yuni izin karena ada keluarganya yang menikah,  jadi dia ikut mama dan papanya keluar kota. Tinnt...tint.... Candra membunyikan klakson di depan Nana. Dia langsung turung menghampiri Nana yang masih berada di halte. “Ayo om antar,” ucap Candra dengan merangkul Nana. “Ih... lepasin! Jangan gini bisa gak, om?” ucap Nana agak risih. “Sama om nya saja gitu kamu,” ujar Candra. “Ayo naik, nanti terlambat, sudah mau jam tujuh.” Candra menarik tangan Nana dan menyuruh Nana langsung masuk ke dalam mobilnya. Candra yang otaknya m***m, dia langsung melihat pinggul Nana yang menurutnya sangat menggoda, di tambah dadanya yang sintal, membuat Nana sudah menjadi remaja ranum yang sempurna. “Ayo, katanya sudah siang? Om lihat apaan sih!” tukas Nana dengan kesal. “Enggak lihat apa-apa. Heran saja, kamu kok enggak pernah neko-neko pakaiannya, seperti siswa pada umumnya. Rok turun pinggang, baju ketat, dan kancing bagian atas dibiarkan terbuka,” ucap Candra. “Memangnya gadis-gadis bawaan om? Reputasi Nana bagaiamana kalau Nana seperti itu, Om?” ucap Nana. “Buruan, ini sudah siang! Niat nganterin enggak sih!” ucap Nana dengan tambah kesal pada Candra. “Iya, iya.... jutek amat sih, Neng!” ucap Candra. “Lihat yang benar! Jangan lihatin aku! lama-lama aku bilang Tante Ayu, kalau Om masih ada main dengan mamanya temanku!” ancam Nana. “Eh.... jangan dong!” ucap Candra. “Ini uang tutup mulut, jangan bilang!” Candra memberikan lima lembar uang ratusan ribu pada Nana. Mata Nana membulat sempurna melihat uang ratusan ribu sebanyak lima lembar. “Ini, ambil. Om ada rezeki, om kan enggak pernah ngasih kamu uang jajan. Itu uang jajan sama uang tutup mulut,” ucap Candra. “Oke, terima kasih, Om,” ucap Nana dengan senyum bahagia. “Oh, jadi harus diancam dulu nih orang, biar uang nya keluar. Aku harus selalu mengancamnya. Aku masih kecewa pada Om Candra, karena perusahaan ayah bangkrut ditangannya. Aku akan membuat dia mengeluarkan uang untukku dan ibu, sebagai gantinya. Aku ancam saja dia tiap bertemu,” gumam Nana. Candra dari tadi mencuri pandang pada Nana yang dari tadi terdiam dan menampakan wajah bahagia karena baru saja diberi uang olehnya. Candra tidak menyangka, keponakannya itu akan tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik dan seksi. Pikiran Candra sudah tidak pada tempatnya lagi. Otaknya terus bergerilya, membayangkan Nana. "Sialan! otakku traveling ke mana-mana lihat body seksinya Nana. Gila, makin lama ini anak makin gila body nya." Hasrat Candra bergejolak saat melihat tubuh indah Nana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD