Bab 6

2003 Words
Jalanan setapak merupakan hal yang wajar. Sepatu warna hitamnya juga tampak kotor karena tanah. Rengga melepaskan headset di telinganya ketika melewati beberapa rumah warga yang terbuka. Sore begini, warga sudah mulai pulang dari ladang atau bekerja. Namun masih cukup banyak rumah yang kosong. Anak-anak pun tidak terlihat bermain di dekat rumah. Rengga sebenarnya malas keluar dari rumah, namun rasanya bosan jika selama setahun harus dihabiskan dengan berdiam diri. Rencananya, besok malam dia akan datang ke kediaman tentara yang menjaga perbatasan. Cukup jauh dari tempatnya berdiri, Rengga mengamati ada banyak anak yang sedang bermain di bawah pepohonan. Dia tahu betul jika area aspal di depan mereka bukan lagi bagian dari Indonesia. Melainkan sudah masuk negara tetangga. Walaupun begitu, anak-anak itu masih asik bermain bersama-sama dengan teman-temannya. Mereka sibuk bermain batu atau boneka yang terbuat dari ranting pohon. Bahkan, jika dilihat sekalipun, mainan mereka jauh dari kata modern. Tidak ada mainan plastik yang biasa dijual bebas di pinggir jalan. Tidak ada pula ponsel yang biasanya anak jaman sekarang gunakan. Bahkan umur balita saja sudah mempunyai ponselnya sendiri. Sebagian anak kota sudah mengenal sosial media sejak dini. Mereka pintar mengoperasikan gadget untuk kepentingan popularitas saja. Rengga belum juga mendekat, dia masih mengamati bagaimana anak-anak itu berinteraksi satu sama lain. Mereka bercanda layaknya anak kecil pada jamannya. Rengga sedikit bernostalgia dengan keadaan desa seperti ini. Dulu, ketika dirinya main ke rumah neneknya yang ada di desa, dia sering sekali bermain dengan anak-anak di daerah neneknya. Rata-rata anak di daerah pedesaan lebih suka bermain bola bersama dibandingkan diam bermain ponsel. Lagipula, ponsel juga termasuk ke dalam barang mewah yang jarang sekali dimiliki oleh mereka.  Tidak sadar, dirinya tersenyum. Melihat wajah anak-anak itu yang polos dan ceria mengingatkannya kepada seseorang. Mereka adalah bukti bahwa keadaan tidak serta merta membuat mereka merasa tersisihkan. Rengga baru melihat dengan mata kepalanya sendiri, jika masih banyak anak yang kurang beruntung. Mereka belum tersentuh teknologi. Masih menikmati masa di mana mereka mengandalkan pertemuan rutin untuk membangun keakraban. Rengga memberanikan dirinya untuk mendekat. Langkahnya yang pasti membuat anak-anak itu menoleh ke arahnya. Ada rasa canggung yang menyelimuti dirinya, namun dia harus mendekat. Berinteraksi dengan anak-anak itu mungkin tidak terlalu buruk. "Halo..." Sapanya garing. Mungkin Rengga tidak tahu bahkan tidak paham caranya berkomunikasi yang baik dan benar dengan anak-anak. Mengingat selama ini, Rengga tidak terlalu suka dengan anak kecil. Tetapi untuk kali ini, dia ingin mendekati mereka. Anak-anak itu diam, tersenyum malu dan saling senggol-senggolan dengan teman di dekatnya. Tidak ada yang menjawab, namun mereka tampak antusias melihatnya. Rengga tidak begitu heran melihat respon mereka, dia hanya merasa terharu karena masih ada anak-anak yang sepolos ini ditengah maraknya anak-anak yang tumbuh dewasa sebelum waktunya. Rengga menyayangkan sekali, anak di daerah perkotaan sudah mampu melakukan hal-hal diluar pikiran orang dewasa. Entah karena mencari pembuktian diri atau ajang mencari perhatian. "Eh, Pak Dokter boleh ikutan main, enggak?" Tanya Rengga lagi sambil berjongkok. Mereka mengangguk, mengamati Rengga dari atas sampai bawah. Kacamata yang membingkai matanya pun tidak luput dari pengamatan mereka. Wajah Rengga yang berbeda dari mereka, aroma yang tidak pernah mereka cium, seperti hal yang baru untuk mereka. Anak-anak itu seperti melihat malaikat yang begitu sempurna. Sosok Rengga dianggap begitu tampan dan rupawan untuk mereka lihat. "Nama kamu siapa?" Tanya Rengga lagi kepada seorang anak perempuan yang sejak tadi tidak melepaskan pandangan matanya dari Rengga. Anak itu tersipu, tersenyum malu karena Rengga bertanya kepadanya. Ekspresi sepolos itu begitu sangat menggemaskan. Jarang sekali dia melihat wajah-wajah malu-malu bertemu dengan orang baru seperti ini. "Dinda, Pak Dokter." Jawabnya pelan namun masih bisa dia dengar. Anak yang lainnya ikut bergabung dengannya. Sedikit berbincang dengan mereka, mungkin akan menyenangkan. Rengga yang cuek dan dingin akhirnya luluh juga karena anak-anak. Berbagai pertanyaan dia berikan kepada anak-anak itu. Seputar sekolah maupun orang tua mereka. Ternyata mereka menunggu orang tua masing-masing yang belum pulang bekerja dari negara sebelah. Biasanya orang tua mereka akan pulang sebelum adzan magrib berkumandang. Rata-rata, orang tua mereka bekerja sebagai buruh tani atau bangunan di negara tetangga. Dengan menaiki sebuah mobil bukaan, pagi-pagi sekali mereka sudah harus berangkat. Lalu di sore hari, anak-anak berkumpul untuk menunggu orang tuanya pulang. Tidak jarang setelah pulang sekolah, dengan masih berseragam datang kesini hanya untuk menunggu. Disela-sela menunggu, mereka biasanya bermain bersama-sama. Anak-anak itu juga bersekolah di sekolah sederhana yang belum sempat Rengga datangi. Mungkin besok atau lusa dia akan datang untuk melihat sekolah itu secara langsung. Katanya hanya sekolah biasa dengan mengandalkan tiga guru saja. Kadangkala tentara-tentara itu yang akan membantu mengajar. Itu yang Rengga tahu dari Raden. Ya, segala informasi yang dia dapatkan semuanya berasal dari Raden. Dari banyaknya anak, hanya satu anak laki-laki yang tidak ikut bergabung dengannya. Anak itu duduk di tepi batu sambil melamun. Dengan hati-hati, Rengga mendekat untuk menanyakan sesuatu kepada anak itu. "Kenapa sendirian?" Tanya Rengga yang sudah berhasil duduk di dekat anak itu. Anak itu menggeleng seraya tersenyum. Kulitnya yang hitam mengkilap begitu menarik perhatiannya. Berbeda dengan anak kebanyakan. Mungkin anak itu bukan asli orang daerah sini. Bisa saja campuran antara pulau satu dengan pulau lainnya. "Nama kamu siapa?" Tanya Rengga lagi. Jika memang anak itu diam saja, maka dialah yang harus bertanya duluan. Itu yang Raden tekankan kepada dirinya. "Nama saya Okta, Pak Dokter." Jawab anak yang diketahui bernama Okta itu. Rengga mengangguk, dia kembali mengamati anak-anak yang lainnya. Mereka sudah sibuk bermain dengan teman-temannya. Tetapi Okta tetap diam saja, bermain tumbuhan yang dililitkan itu. "Kenapa tidak bergabung dengan teman yang lainnya?" Lagi-lagi Rengga bertanya dengan hati-hati. Okta menggeleng, tangannya tidak berhenti bermain sendirian. Anak ini unik, menurutnya. Entah mengapa Rengga begitu tertarik dengan diamnya Okta. Seakan-akan anak itu memintanya untuk bertanya lebih. "Kelas berapa?" Tanya Rengga lagi. Kali ini Okta mendongak untuk menatapnya. Namun tidak lama, dia menggeleng. "Enggak sekolah, Pak Dokter." Jawab Okta pelan. Rengga menaikkan sebelah alisnya bingung. Kenapa masih ada anak yang tidak bersekolah? Setahunya, sekolah di tempat ini gratis. Raden yang memberi tahunya. Fasilitas sekolah maupun kesehatan diusahakan untuk gratis. Tetapi mengapa Okta tidak bersekolah? Pantas saja dia memilih diam saja. Sedangkan ada anak yang ribut membahas pelajaran tadi pagi. Dia tidak mau menyimpulkan secara sepihak. Rengga juga ingin tahu alasan Okta tidak bersekolah. Dia juga ingin membuka wawasannya, apakah pendidikan diluar Jawa sama dengan pendidikan diluar Jawa? Baginya, pendidikan di Jawa adalah hal yang sangat lumrah. Bahkan banyak anak yang bisa menyelesaikan studinya sampai keluar negeri. Tetapi mengapa, jenjang Sekolah Dasar di sini saja masih ada anak yang tidak sekolah. "Kenapa enggak sekolah kalau boleh Pak Dokter tahu?" Desak Rengga dengan kembali bertanya. "Karena bantu Mamak cari uang. Kedua adik saya masih butuh uang untuk sekolah, jadi saya yang bantu Mamak di ladang orang." Jawab Okta dengan kedua bola mata yang menatap Rengga. Hatinya terenyuh, bagaimana bisa seseorang di pelosok negeri ini sampai tidak bisa merasakan bangku sekolah? Beban anak sekecil ini tidak bisa dia bayangkan bagaimana beratnya. Perlahan, Okta mau terbuka kepadanya. Menceritakan jika sang Ayah meninggal sejak lama. Sekarang hanya tinggal Mamaknya yang mencari nafkah dan dirinya pula. Okta tidak mau adik-adiknya putus sekolah. Maka dari itu, dia yang mengalah. Tidak ikut sekolah dan berjuang untuk bekerja. Walaupun sekolah tidak mengeluarkan biaya. Namun kebutuhan agaknya semakin meninggi. Barang-barang semakin mahal, apalagi dia ingin adiknya juga memiliki peralatan sekolah yang sama dengan temannya yang lainnya. Rengga kagum, anak sekecil itu sudah berpikir masalah perekonomian keluarganya. Bahkan Rengga yang sudah bisa mencari uang sendiri masih gamang jika harus berbicara masalah rumah tangga maupun pengelolaannya. Tangannya terulur untuk mengelus kepala Okta. Berjalan-jalan dengan harapan betah untuk tinggal, malah membawanya pada kenyataan jika masih banyak kehidupan yang tidak seberuntung dirinya. Rengga selalu mendapatkan apa yang dia inginkan. Pendidikan setinggi-tingginya, atau sekolah manapun yang dia inginkan. Rengga tidak pernah mau tahu soal biaya, namun setelah mendengarkan Okta bercerita, dia merasa bersalah kepada kedua orang tuanya. Pasti dirinya sangat menyusahkan sekali. Walaupun di satu sisi dirinya bersyukur atas apa yang telah diberikan Tuhan kepadanya. Rengga merasa jika hidupnya berkecukupan dan penuh dengan kebahagiaan. Hanya saja Rengga sering mengeluh dan menyalahkan takdir Tuhan. Rengga kadang masih bersikap seenaknya dan tidak peduli pada kesulitan orang lain.  Tidak lama kemudian, ada sebuah mobil bukaan yang baru saja datang membawa para pekerja. Mereka di turunkan tepat di depan daerah perbatasan. Anak-anak itu mulai berhamburan untuk mencari orang tua mereka yang masih memakai pakaian kotornya. Walaupun begitu, Rengga bisa melihat bagaimana bahagianya anak-anak itu ketika orang tua mereka datang. Meskipun tanpa buah tangan apapun. Dia kembali mengingat masa kecilnya. Ketika dia marah kepada Papanya ketika pulang tidak dibelikan mainan mobil-mobilan. Atau ketika kemauannya tidak dituruti. Rasanya Rengga malu dengan keterbatasan ini. Dia memang tidak pandai dalam bersyukur. Selalu membandingkan apapun dengan orang yang lebih tinggi darinya. Rengga melihat interaksi antara Okta dan Mamaknya yang baru turun dari mobil sambil membawa peralatan pertanian. Anak-anak itu ikut membantu membawakan peralatan milik orang tua masing-masing. Kebanyakan, yang bekerja adalah para perempuan. Dia semakin miris melihatnya. Beberapa orang menyapanya dengan sebutan 'Pak Dokter'. Dengan ramah dan juga sopan Rengga menyapa balik. Tidak mau dianggap sombong dan tidak peduli, Rengga berusaha untuk merubah sikapnya yang kata orang menyebalkan. Tidak berapa lama, dering ponselnya mengagetkannya. Setelah sekian lama tidak terdengar notifikasi dari ponselnya, di tempat ini barulah keluar semua notifikasi itu. Dari pesan sampai panggilan tidak terjawab. Rengga membalas pesan dari Mamanya yang sudah mulai emosi karena tidak masuk pesan maupun teleponnya. Ada juga pesan dari Sakti yang menanyakan keadaannya. Ditambah lagi sebuah pesan dari Chalista semakin menambah penuh pesannya. Rengga mengabari Mamanya jika tidak perlu khawatir dengan keadaannya. Lalu membalas pesan dari Sakti. Terakhir, Rengga membuka pesan dari Chalista. Sayangnya, Rengga tidak ingin membalasnya. Bukan karena Rengga membenci, namun karena dirinya ingin sendiri dulu. Hubungannya dengan Chalista memang berjalan baik-baik saja selama ini, sebelum perempuan itu mengungkapkan rasa kepadanya waktu itu. Dia pikir, Chalista berbeda dengan perempuan lain. Tidak ada rasa padanya atau berusaha untuk mendekati dirinya. Tetapi pada kenyataannya, Chalista tetap sama. Dia berusaha mengambil celah untuk jatuh cinta padanya. Belum lagi masalah yang selama ini mengganjal di dalam hatinya belum juga usai. Perasaan yang tidak bisa Rengga jelaskan kepada siapapun. Perasaan menyesal dan terluka karena kejadian di masa lalunya. Rengga melangkahkan kakinya pergi karena matahari mulai tenggelam dari peradabannya. Melihat keadaan seperti menyadarkannya, tidak semua hal yang dia lihat buruk berjalan dengan buruk. "Halo Ibu, mau masak, Bu?" Sapa Rengga sok akrab dari tepian jalan ketika melihat seorang Ibu yang membersihkan beras di dekat sumur. Ibu itu tersenyum sumringah karena baru saja disapa dengan baik oleh Rengga. "Iya, Pak Dokter. Mampir ke rumah, Pak." Tawar Ibu itu dengan wajah senang. "Terima kasih, Bu. Lain kali saja, soalnya sudah mau magrib." Ucap Rengga sopan. Takutnya Raden mencarinya. Padahal pamitnya hanya sebentar, namun karena melihat anak-anak tadi, Rengga harus lebih lama di sana. "Mari Bu," putus Rengga yang berjalan kembali. Ibu itu hanya mengangguk seraya tersenyum ramah. Ketika hendak sampai di rumah, Rengga mendapati seorang perempuan berjalan mendekat ke arahnya. Mereka saling bertatapan, namun tidak saling menyapa. Rengga terdiam sejenak, seperti pernah melihat namun di mana? Mereka tidak saling sapa, Rengga berusaha tersenyum namun tidak dibalas dengan senyuman. Perempuan itu berlalu begitu saja, mengabaikan sapanya. "Enggak sopan banget sih, Mbaknya. Udah bagus aku senyumin, malah melengos kaya artis aja." Gerutu Rengga yang melanjutkan langkahnya untuk pulang. Rengga terus ngedumel gara-gara perempuan menyebalkan tadi. Padahal dia sudah memasang wajah sok baik dan ramah, tetapi malah dibalas wajah cuek. Benar-benar menyebalkan. Andaikan saja ini di kota, Rengga tidak akan sudi untuk menyapa perempuan macam itu. "Astaghfirullah..." Teriak Rengga ketika pundaknya dipegang oleh seseorang yang tidak lain adalah Raden yang memasang wajah tanpa dosanya. Padahal Rengga sudah kaget setengah mati. Walaupun hanya tepukan tidak keras, tetap saja nyalinya menciut. Dibalik wajah dinginnya, Rengga adalah orang yang penakut. Penakut yang akut malahan. "Ngagetin aja sih, Kak." Ucap Rengga yang disambut tertawa oleh Raden. "Sekalian aja ke masjid. Habisnya kamu jalan sambil marah-marah enggak jelas kaya gitu." Tegur Raden yang mengajak Rengga untuk langsung ke masjid. Tidak menyia-nyiakan kesempatan, Rengga mulai menceritakan tentang perempuan yang mengabaikan sapaannya tadi. Setidaknya Rengga ingin tahu siapa perempuan itu sampai berani mendiamkannya. Tetap saja Rengga tidak terima apapun alasannya. Sesekali Raden tertawa mendengarkan curhatan Rengga itu. Ya, setidaknya ada keakraban yang terjalin diantara mereka. Seperti orang yang sudah lama tidak bertemu. ###
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD