Bab 4

1062 Words
Mas Arsen mengajakku ke makam mas Riko, apa aku tidak salah dengar. Tadi pagi dia melarang dengan marah-marah sekarang mengajak kesana. Ah bodo amat, yang penting dia mau mengantarkan aku ke sana. Setelah Mas Arsen keluar aku segera mengganti baju dengan baju berwarna gelap, rok panjang berwarna hitam dan blus atasan berwarna senada jadi pilihan, tak lupa aku menutup kepala dengan pasmina hitam. Meskipun belum memakai jilbab tapi sehari-hari aku selalu memakai baju panjang. Sampai saat ini aku belum bisa memaksa diri menjalan kewajiban muslimah yang satu itu. Setelah siap, bergegas aku menuju mobil dimana mas Arsen sudah menunggu. Saat sudah sampai di depan mobil, terlihat Suamiku itu menatap tanpa berkedip. Akupun menatapnya dan diam di tempat kuberdiri, tiba-tiba dia membuka kaca jendela mobil dan berteriak "Sampai kapan kamu akan mematung di situ? cepat masuk mobil!" Aku terlonjak kaget dibuatnya, baru saja dia memelukku dan mengucap kata maaf sekarang sudah meneriakiku lagi. "Aku menunggu dibukakan pintu bukan mematung," umpatku dalam hati. Biasanya mas Riko selalu membukakan pintu mobil untukku makanya aku tidak berinisiatif untuk membuka sendiri. Bergegas aku duduk di sampingnya sebelum mendengar teriakan lagi, setelah itu Mas Arsen menjalankan mobil yang kami tumpangi. Kami berkendara dalam diam menebus jalanan yang tidak terlalu ramai. Kata Mas Riko, mama lebih memilih tinggal di kota ini, padahal perusahaan property papa ada di Surabaya. Jarak kota ini ke Surabaya bisa ditempuh dengan berkendara kurang lebih 30menit, jadi tidak masalah jika mereka tinggal di sini. Setelah sampai di komplek pemakaman, Mas Arsen memarkirkan mobilnya dan segera keluar dari mobil, tanpa menunggu lama akupun ikut turun. Nanti kena bentak lagi jika aku tidak segera turun karena mengharapkan dia bakalan membuka pintu untukku. Tanpa kata, Mas Arsen berjalan menuju kompleks pemakaman, aku segera mengekor di belakangnya. Tidak butuh waktu lama kami sudah sampai di sebuah makam yang masih baru, dengan bunga-bunga yang masih terlihat segar. Dia menghentikan langkahnya tidak jauh dari makam itu. Aku segera tahu jika itu adalah makam Mas Riko, aku ingin menghambur dan memeluk nisan itu seperti yang ada di film-film tapi akalku mencegahnya. Aku sedang bersama suamiku, setidaknya harus menjaga perasaannya. Selain itu meratap di pusaran orang juga tidak boleh, seperti itu yang aku dengar dari pengajian samping butikku. Bahkan ada yang melarang wanita ikut dalam prosesi pemakaman dikhawatirkan akan histeris di sana. Aku mengelus batu nisan itu dan berdoa semoga Allah memberinya tempat yang lapang dan membacakan Al Fatihah untuknya. Dalam hati aku ucapkan kata-kata perpisahan. "Mas Riko, saat ini dunia kita sudah berbeda. Takdir sudah memisahkan kita, suamiku sekarang adalah kakakmu, dialah saat ini yang harus ada di hati dan pikiranku. Aku berdoa semoga Allah memberimu tempat yang indah di sini Nya." Kenangan indah saat bersamanya berputar di kepalaku seperti sedang menonton film. Air mataku meleleh tidak bisa dibendung, segera aku hapus dengan ujung pasmina. "Aku akan menghabiskan air mata di sini saat ini, Mas, setelah itu aku hanya akan menyimpanmu dalam kenanga." Aku tidak tahu sudah berapa lama terus berdialog dengan pikiran sendiri, tiba-tiba Mas Arsen berkata dengan suara datarnya, "Sampai kapan kamu akan disini?" Aku mendongak ke arahnya, tidak bisakah dia menunggu sedikit lebih lama. Aku tidak tahu kapan lagi akan bisa ke sini. Tidak mau berdebat, akhirnya aku memilih untuk berdiri dengan wajah yang entahlah... mungkin terlihat buruk dengan air mata di pipi. Mas Arsen mengeluarkan sesuatu dari saku celananya, sebuah sapu tangan. "Pakailah ini untuk menghapus air matamu, jangan pakai kerudung. Aku tidak suka wanita jorok." Astaga ... Ada laki-laki macam ini, bukankah seharusnya dia memberikan bahunya untuk tempatku menangis bukan malah mengejek seperti ini. Ingin rasanya aku tendang laki-laki di depanku ini dengan kakiku. Aku mengikutinya menuju mobil tanpa berkata, sepertinya Mas Arsen tidak berniat untuk mampir kemanapun, dia menyetir mobilnya ke arah rumah. Kami sampai di rumah sudah jam makan siang, terlihat Bi Sumi sudah selesai menyiapkan makanan. Aku bergegas naik ke kamar dan menganti pakaian dengan pakaian rumahan, setelah itu mondar-mandir di kamar bingung mau ngapain. Aku takut jika makan siang bersama mama dia akan membatalkan makannya seperti tadi pagi. Pintu terbuka, terlihat Mas Arsen dibdepan pintu dan sudah mengganti bajunya, ganti baju dimana dia. "Ayo makan, aku tidak mau kamu jadi kurus selama tinggal disini," ucapnya tanpa ekspresi. Apa dia ini robot yang sudah diprogram, jadi cara bicaranya selalu seperti itu. Menyebalkan! Saat kami berdua sampai di ruang makan sudah ada papa di sana sendirian, ternyata mama masih tidak mau makan bersamaku. "Darimana kalian?" tanya Papa setelah kami duduk di seberang mejanya. "Dari makam Riko, Pa," sahut mas Arsen. Aku hanya melirik ke arah papa ingin tahu reaksinya, ternyata beliau biasa-biasa saja. Kamipun makan siang dengan tenang. Selesai makan aku lihat Bi Sumi membawa nampan berisi makanan, sepertinya akan di antar ke kamar mama. "Bi, biar Vira saja yang bawa ke sana," ucapku aku menawarkan diri. "Tapi Non ...." "Gak apa-apa Bi, kasih ke Vira," perintah Papa pada Bi Sumi. Akhirnya wanita berusia senja itu memberikan nampan tersebut kepadaku, aku segera pergi ke kamar mama. Aku mengetuk pintu kamarnya begitu sudah sampai di depan pintu. "Ma, ini Vira bawa makanan buat Mama," ucapku dari luar kamar. "Jangan pernah masuk ke kamar Mama," jawab mertuaku dari dalam. Tiba-tiba Mas Arsen sudah ada di belakangku, dia mengambil nampan dari tanganku kemudian masuk begitu saja ke dalam kamar. Aku hendak mengikutinya tapi dia menggelengkan kepala. Akhirnya aku hanya bisa diam membisu di depan pintu. "Ma, jangan seperti itu pada Vira, kasian dia ma. Dia juga kehilangan Riko sama seperti kita." terdengar suaraMas Arsen berbicara pada mama. "Mama tidak akan bisa memaafkannya, mama tidak rela dia hidup bahagia," seru Mama dengan lantang. Aku hanya bisa meneteskan air mata mendengar perkataan Mama. "Mama tidak boleh bilang begitu, Vira itu istri Arsen sekarang, kalau dia tidak bahagia bagaimana bisa aku bahagia, Ma." Cess ... Ucapan mas Arsen seperti embun dingin yang menetes di hatiku yang penuh kesedihan. "Kamu sudah mulai berani membela perempuan itu, keluar!" teriak mama marah. Tidak ada terdengar lagi perdebatan diantara mereka, aku segera berbalik dan berjalan dengan tergesa-gesa menaiki tangga. Aku tidak mau ketahuan menguping pembicaraan mereka. Karena tergesa-gesa dan tidak hati-hati aku terpeleset, tubuhku oleng dan jatuh ke belakang. Beruntung sebelum tubuhku jatuh dan menggelinding ke bawah ada tangan kekar yang menangkap tubuhku. "Mas Arsen," bisikku dalam hati, dia mendekap tubuhku dengan tangannya, pandangan kami beradu. "Akankah momen ini akan jadi romantis seperti yang ada di drama-drama?" Aku masih berbisik dalam hati. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD