Di Rumah Hanna

1472 Words
Malam semakin larut dan mereka semua masih di rumah sakit. Hanna mengajak kakek pulang kerumah dengan susah payah agar bisa karena kesehatan pria tua itu yang juga mulai menurun sehingga harus banyak istirahat. Hanna dan Kakek ikut mobil Jenifer pulang kerumah, mobil Hans ikut di belakang. Dua buah mobil berhenti di depan perkarangan rumah Hanna. Hans dan Juanda menatap kagum pada rumah sederhana yang sangat Indah. Beberapa tanaman hias dan stroberi terlihat layu kekurangan air. Bos dan asistennya duduk di kursi santai yang ada di halaman. Hanna mengantarkan kakeknya untuk beristirahat di kamar. Ia memaksa kakek untuk tidur. Jenifer membuatkan minuman hangat untuk Hans dan Juanda.   "Apa kalian tidak masuk?" Jenifer membawa baki berisi minuman dan cemilan ringan.     "Disini saja, sangat nyaman," jawab Hans beranjak dari kursi dan berjalan-jalan mengamati perkarangan.   Pria itu menyentuh buah stroberi berwarna merah dengan daun yang mulai layu. Hans membuka kran air dan mulai menyirami semua tanaman. Juanda dan Jenifer saling pandang dan kembali menatap aneh Hans. Hanna telah berhasil membuat Kakek tertidur. Dia tahu kakek sangat lelah dan mengantuk. Dokter Riduan berjanji akan menjaga Nenek dan akan menghubungi Hanna jika terjadi sesuatu. Gadis cantik itu keluar kamar menuju perkarangan untuk menemui, Hans, Jenifer dan Juanda. Hanna menggunakan pakaian tidur dengan rambut yang masih basah tanpa ada polesan make up, aroma shampoo dari rambutnya harum menyegarkan. Hans menatap Hanna dan tersenyum. Dia menutup keran air dan mendekati kekasihya sangat cantik dan menawan.   "Apa kamu baik-baik saja.”  Hans mengusap kepala Hanna.   "Aku baik," ucap Hanna dan mendongak.   “Aku akan selalu bersama kamu.” Hans memeluk Hanna. “Berapa lama mereka sudah berpacaran?” tanya Jenifer pada Juanda.   “Sudah sangat lama, dari Hanna masih sekolah,” jawab Juanda.   “Apa?” Jenifer menutupi mulutnya. Dia tidak percaya dua orang itu bisa menjaga hubungan mereka tanpa ada yang tahu.   “Hanna, sebaiknya kita segera menikah,” bisik Hans.   “Nenek sedang sakit.” Hanna mengeratkan pelukannya merasakan kehangatan dan ketenangan dari Hans.   “Baiklah, setelah nenek sembuh,” ucap Hans.   “Tidurlah. Kamu harus beristirahat dan tidak usah datang ke kantor,” lanjut Hans dan Hanna mengangguk.   “Aku harus pulang. Jaga diri kamu.” Hans mencium dahi Hanna dan melepaskan pelukannya.   “Aku mencintaimu.” Kecupan hangat mendarat di bibir Hanna.   “Ya Tuhan. Kalian menyiksa kami.” Jenifer memalingkan wajahnya dan Juanda tersenyum.   “Mimpi indah.” Hans melambaikan tangannya dan masuk ke mobil diikuti Juanda.   “Aku tidak percaya ini.” Jenifer menggelengkan kepalanya dan menatap tajam pada Hanna.   “Maaf,” ucap Hanna pelan.   “Berapa lama kalian pacaran?” tanya Jenifer menarik tangan Hanna duduk di kursi.   “Sangat lama,” jawab Hanna.   “Maksudnya?” Jenifer bingung.   “Aku dekat dengan Hans sejak masih sekolah. Dia adalah papa beruang yang selalu mendukugku,” jelas Hanna tersenyum.   “Siapa yang jatuh cinta terlebih dahulu?” tanya Jenifer.   “Tidak tahu, kami terus bersama hingga Hans menyatakan cinta dengan ragu karena usia kami yang berbeda jauh,” jawab Hanna.   “Apa kamu langsung menerimanya?” tanya Jenifer bersemangat.   “Tentu saja. Aku sudah jatuh cinta padanya dengan kenyamanan yang diberikan, tetapi kami tetap menjaga jarak dan sehingga tidak ada satu orang pun yang tahu hingga hari ini.” Hanna menatap Jenifer.   “Kamu sangat beruntung.” Jenifer mencubit pipi Hanna.   "Mari kita masuk dan tidur." Hanna menarik tangan Jenifer masuk kerumah dan menutup pintu. Keduanya berjalan menuju kamar sederhana, tetapi tetap bersih, rapi dan terawat. Setelah membersihkan diri, mereka berganti pakaian dan merebahkan tubuh di atas kasur empuk.   "Besok pagi-pagi aku dak kakek harus kembali ke rumah sakit," ucap Hanna memejamkan mata.     "Aku akan mengantarkan kalian.” Jenifer menggenggam tangan Hanna.     "Kamu harus pergi bekerja." Suara Hanna terdengar lembut dan jauh karena sudah mengantuk.     "Setelah mengantarkan kalian, aku akan langsung ke kantor." Jenifer menguap.     "Baiklah, Terima kasih.” Hanna terlelap begitu juga dengan Jenifer.   Mereka sangat mengantuk dan lelah dengan hari yang sibuk dan aktivitas yang padat. Malam terasa damai dalam mimpi yang indah hingga pagi pun datang dengan mudahnya.  Matahari menyusup melalui ventilasi membangunkan gadis cantik yang segera bergegas membersihkan diri, menyiapkan sarapan dan membangun Jenifer.    “Bangunlah!” Hanna menggoyangkan tubuh Jenifer.   “Aku baru saja tidur.” Jenifer menarik selimut.   “Kita harus ke rumah sakit. Aku akan membangunkan kakek.” Hanna meninggalkan Jenifer dan berjalan menuju kamar kakeknya.   “Kakek,” sapa Hanna dengan mengetuk dan membuka pintu perlahan. Kamar terlihat kosong dan telah rapi.   “Kakek.” Hanna masuk ke kamar dan memeriksa setiap sudut ruangan untuk mencari kakeknya.   “Pasti kakek di kebun.” Hanna menutup pintu kamar dan berlari berjalan menuju kebun belakang. Dia melihat kakek yang sedang menyiram tanaman dan memberi makan ternak.   “Aku telah melupakan tugasku.”  Hanna mendekati dan menarik tangan kakeknya.     "Mari kita sarapan," ajak Hanna dengan senyuman lembut pada kakeknya.   “Apa gadis kecil kakek sudah selesai memasak?” Kakek mengusap tangan Hanna.   “Ya, makanan kesukaan kakek dan nenek,” ucap Hanna dan menatap kakeknya.   “Nenek tidak bisa makan lagi.” Kakek terlihat sedih.   “Jenifer yang akan makan makanan nenek.” Hanna tersenyum untuk menghibur kakeknya.     “Baiklah.” Kakek mencubit pipi cucu kesayangannya.   “Ayo, Kek.” Hanna menggandeng tangan kakek. Mereka berjalan bersama menuju ruang makan,   “Pagi, Kek,” sapa Jenifer yang telah duduk menunggu Hanna dan Kakek.   “Pagi.” Kakek tersenyum.   "Kalian sarapan saja dulu. Kakek akan membersihkan diri." Kakek berjalan menuju kamarnya. Hanna dan Jenifer duduk diam di kursi mereka dan menunggu kakek.   "Jika sudah lapar, kamu boleh makan duluan," ucap Hanna.   "Kita akan makan bersama kakek." Mereka berdua tersenyum untuk menghibur diri dalam keheningan pagi.   "Kenapa kalian belum sarapan?" kakek duduk di kursinya dan melihat kursi nenek yang kosong.   “Menunggu kakek.” Hanna mengambil piring kosong mengisi nasi dan lauk pauk serta sayuran untuk kakeknya.   “Mari makan,” teriak Hanna mengejutkan Jenifer.   “Gadis nakal.” Kakek mencubit pipi Hanna.   “Kamu seperti di hutan saja,” ucap Jenifer.   “Hanna memang begitu. Dia selalu membuat rumah ini terasa ramai.” Kakek tersenyum.   “Hanna gadis yang ceria,” Jenifer melirik Hanna.   “Kakek makan yang banyak.” Hanna menuangkan air putih untuk kakek.   “Cucu kakek yang masih muda ini harus makan lebih banyak.” Kakek mengisi piring Hanna dengan banyak lauk dna sayuran.   “Kakek, nanti Hanna gemuk dan tidak cantik lagi.” Hanna memayunkan bibirnya.   “Kenapa? Apa kamu takut Hans akan berpaling?” Jenifer tersenyum.   “Tidak akan. Pria itu sudah aku kurung di dalam hatiku,” ucap Hanna.   “Makanlah,” tegas Kakek.   “Mari makan,” teriak Hanna lagi penuh semangat. Mereka menikmati sarapan sederhana tetapi enak dan syarat akan gizi serta vitamin. Sayuran segar yang dipetik langsung dari kebun dan ikan dari tambak sendiri.   “Kakek akan bersiap.” Kakek beranjak dari kursi setelah menghabiskan makannnya.   “Hanna dan Jenifer akan membersihkan dapur serta ruang makan terlebih dahulu,” ucap Hanna.   “Ya.” Kakek berjalan perlahan menuju kamarnya. Hanna menatap sedih pada punggung yang tidak tgak lagi itu. Pria itu sudah sangat tua.   “Hanna.” Jenifer menyadarkan Hanna dari lamunannya.   “Aku hanya punya kakek dan nenek.” Hanna mengusap air mata yang mengalir dengan sendirinya membasahi pipi mulusnya. Tangannya segera mengambil celemek dan memakainya. Dia mengangkat piring untuk di cuci.   “Kamu masih punya aku dan Hans,” ucap Jenifer membantu Hanna membawa piring kotor.   “Itu pasti beda. Sejak lahir aku tidak mengenal orang tuaku,” ucap Hanna.   “Aku tidak tahu mereka sudah meninggal atau pergi meninggalkanku bersama kakek dan nenek,” lanjut Hanna.   “Apa kakek dan nenek tidak menceritakan tentang orang tua kamu?” tanya Jenifer dan Hanna hanya menggeleng.   “Apa kamu pernah bertanya?” tanya Jenifer lagi.   “Pernah dan nenek marah. Kakek hanya menggelengkan kepalanya,” jelas Hanna.   “Sejak saat itu, aku tidak pernah lagi bertanya tentang orang tuaku. Aku sadar untuk apa mencari mereka? Aku hanya perlu menghabiskan waktuku bersama kakek dan nenek yang telah merawat dan membesarkan aku dengan penuh cinta, kasih sayang dan pengorbanan.” Hanna tersenyum.   “Meraka hanya membuat dan melahirkanku saja. Mungkin aku adalah anak yang tidak diinginkan.” Hanna menarik napas  dengan berat dan membuangnya kasar. Dia mengeringkan tangan dan membuka celemek, menaruh pada tempatnya.   “Aku tahu kamu gadis periang yang kuat.” Jenifer menepuk pundak Hanna.   “Ceria, senyum dan tawa hanya untuk menutupi luka serta kecewa di dalam hati.” Hanna tersenyum dan berjalan menuju kamarnya diikuti Jenifer. Mereka harus bersiap pergi ke rumah sakit.   Kadang manusia hanya bisa bersandiwara untuk menutupi kehidupan yang penuh dengan rahasia yang tidak ingin diungkapkan. Senyuman dan tawa adalah topeng paling indah untuk menyembunyikan kesedihan, luka dan kecewa. Tunjukan kebahagiaan dan keberhasilan dalam menjalani kehidupan yang cukup sulit ini. Karena akan selalu ada jalan untuk hamba yang terus berusaha dan berdoa dalam mencapai kesuksesan.    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD