Teror Pertama

1617 Words
Teror Pertama ANGIN malam yang menyusup lewat kaca jendela yang sedikit terbuka, meniup tengkuk Ray. Dingin. Suara dedaunan dari pohon jambu air di sebelah rumah, terdengar saling bergesekan. Di luar, sepi. Tetangga di sekitarnya, sudah nyaman di tempat tidur masing-masing. Terbenam di bawah selimut tebal. Dibuai mimpi indah yang menghantarkannya. Ray masih anteng dengan laptop di hadapannya. Hanya ia yang masih terbuka matanya. Semua penghuni rumah sudah terlelap dibuai mimpi. Seperti para tetangganya yang lain. Ray sendirian di ruangan tengah. Ruang keluarga, tempat keluarganya berkumpul di sore hari hingga malam terus berangsur. ` Hampir setiap malam, Ray asyik dengan laptop yang baru dibelinya dua bulan lalu. Ia memilih di ruang tengah yang terang dengan lampu, ketimbang di dalam kamarnya yang sempit, yang hanya menggunakan lampu tak lebih dari lima watt. Ia gembira sekali setelah mendapat laptop baru sesuai keinginannya. Sebelumnya, ia hanya menggunakan laptop jadul pemberian teman ayahnya yang bekerja di kota. Laptop yang sudah lama ketinggalan. Hingga Ray terkadang terkendala bila ingin mengerjakan tugas sekolah karena sedikit-sedikit--laptop itu tak berfungsi dengan semestinya. Keluar masuk tempat service langganannya. Untunglah, Bunda Dewi--kakak sulung ibunya dengan rela hati membelikan Ray. Malahan, Ray diajak ke kawasan di kota yang khusus menjual berbagai jenis laptop. Kakak ibunya pun memberi kebebasan keponakannya itu untuk memilih sendiri. Jemari Ray masih lincah menari di atas keyboard. Detak jam di dinding, membuat kepala Ray menoleh. Jarum pendek tepat mengarah ke angka sebelas. Sedangkan, jarum panjang kian beranjak dari angka enam. Beberapa detik kemudian, ia menguap. Matanya sedikit mengeluarkan air. Matanya nyaris tak istirahat. Setelah berkutat dengan buku-buku pelajaran di sekolahnya, dilanjutkan dengan menatap layar laptop di rumah. Selepas magrib, pukul sembilan belas, dua puluh, dua puluh satu, dan baru jam dua puluh empat, matanya tertutup tanpa dapat ditahan. Kadang laptop baru kesayangannya dibiarkan menyala karena tak sadar disergap kantuk yang dahsyat. Angin yang kembali meniup kuduk Ray, membuatnya sedikit menggigil. Matanya terkuak. Tubuhnya dipaksakan bangkit dari atas karpet, menuju jendela yang masih terbuka. Lalu menutupnya dari dalam. Rapat. Kembali ke tempat semula. Dimatikannya laptop. Ia merasa sedikit suntuk. Meski belum terasa lelah sebenarnya. Meski matanya agak berat karena masih merasakan kantuk yang sempat tertahan. Lalu tubuhnya terbaring kembali di atas karpet. Kedua tangannya disimpan di belakang kepala. Kantuk mulai menyerangnya lagi. Ia pun terlelap dan baru saja hendak dibuai mimpi lain ketika terdengar sebuah suara yang membuatnya tercekat. Trek trek trek Sontak, mata Ray terbuka. Suara itu diduganya dari arah jendela. Matanya mengarah ke jendela itu. Jendela kaca dengan bingkai kayu di sekelilingnya. Tertutup tirai berwarna merah hati yang baru seminggu lalu dijahit ibunya. Ia yakin, suara itu, suara kaca jendela. Jendela yang tadi ditutupnya dengan rapat. Ray mendesah. Ia pikir, itu derit kaca karena dilalui nyamuk. Lalu ia menganggapnya bukan sesuatu yang aneh. Mulai dipusatkan kembali perhatiannya pada kantuk yang menyambutnya. Matanya pun kembali dipejamkan. Namun beberapa menit kemudian. Trek trek trek trek treeeekk. Kali ini bunyi ‘trek’-nya sebanyak empat kali dan yang terakhir agak panjang. Ray kaget seraya membuka matanya yang langsung mengarah ke jendela. Jendela yang mengarah ke halaman samping rumahnya, dimana terdapat halaman tetangganya yang hampir seluas seperempat lapangan sepakbola. Rasa kantuk yang sempat menggulungnya mendadak lenyap berganti dengan kekagetan. Namun, suara itu pun menghilang. Ia baru bisa tidur dua jam kemudian setelah sebelumnya pikirannya resah lantaran membayangkan suara aneh itu. Esok paginya, sehabis mandi dan berseragam sekolah, Ray menceritakan suara di jendela kaca itu pada ibunya. Sesaat Ratna kaget dan mengaitkan dengan mimpi beberapa malam ke belakang. Melintas wajah Wak Dulah. Dengan runtut dan bisa dipahami bagi yang mendengarnya. Ratna berusaha tenang. Ia mendehem sembari tangannya sibuk mengocok telur dengan sendok dalam mangkok putih bergambar ayam jago. Tangan satunya dengan cekatan mengambil botol kecil, membukanya, lalu melalui celah-celah kecil atas botol, keluar garam. Tak banyak. “Maaa…” Ray memungut kerupuk udang yang jatuh ke lantai. Lalu dimasukkan ke dalam mulutnya. Pakaian seragam putih abu-abunya sudah melekat di tubuhnya. “Suara apa itu ya?” Ratna meliriknya. “Ya… suara kaca, emang suara apa?” “Apa Mama tak berpikir itu suara lain?” Ray menautkan kedua alisnya. “Misalnya?” “Ya, suara apa saja...” “Lho, bukankah kamu sendiri yang bilang kalau itu suara kaca?” “Iya, suara kaca. Tapi apa yang membuat kaca itu bersuara?” “Ya, kamu ini... yang begitu saja dipikirkan,” ibunya tersenyum. Meski pikirannya mulai digelayuti resah. Namun tak ditunjukkan keresahannya itu. Lalu menuju kompor gas. Menaruh wajan di atasnya. “Bukan dipikirkan. Tapi heran.” “Heran kenapa?” tanya Ratna tanpa melirik. Dadanya sedikit bergemuruh. “Karena Ray baru pertama kali dengar ada suara itu di kaca jendela. Tengah malam lagi.” “Kalo siang hari... pernah dengar?” Ratna malah berseloroh. Sengaja mencairkan suasana agar tak terasa tegang. “Ya, tidak lah, Ma!” Ray mendelik. “Sudah, tak usah membahas suara itu lagi!” seru Ratna. “Tapi aneh…” “Aneh gimana?” Ratna memanaskan wajan, lalu memasukkan tiga sendok minyak kelapa hingga tak lama bersuara. “Bunyi kaca aja kamu bilang aneh. Kamu kali yang aneh. Ray… jorok kamu!” Ray terkekeh lalu menuju meja makan. Menanti ibunya beres menggoreng kerupuk. Dalam waktu tak lebih dua puluh menit, acara sarapan pun dimulai. Berempat, dengan ibunya dan kedua adiknya, Mia yang duduk di kelas delapan dan Rayna yang masih kelas lima. Ayahnya sudah pergi ke luar kota semenjak subuh. Sementara Ray dan kedua adiknya juga ibu mereka, tinggal di kawasan Bandung Barat. Di sekolah, Ray sempat mengingat suara semalam tapi segera terlupakan dengan tugas-tugas latihan di kelas. Ia pun tak menceritakan hal itu pada teman-teman dekatnya. Namun saat tiba di rumah, ia kembali menanyakan pada ibunya yang dijawab dengan desahan terlebih dahulu. Mereka berdua tengah duduk di kursi malas yang ada di teras rumah bagian belakang. Mia dan Rayna tengah asyik menonton TV di kamar atas. “Sudahlah, harus berapa kali Mama bilang, itu mungkin suara nyamuk atau cecak yang menyusuri dinding kaca. Kamu terlalu membayangkan yang tidak-tidak. Makanya, jangan kebanyakan nonton film horor!” “Siapa yang banyak nonton film horor? Ah, Mama ada-ada saja. Lagian, aku bukan anak penakut!” Ray mengedikkan bahu. “Kalau kamu bukan penakut, ngapain mikirin suara tadi malam?” “Bukan mikirin. Tapi kepikiran,” desah Ray. Benar, Ray bukan tipe penakut bahkan pemberani. Buktinya, hampir lewat tengah malam ia acapkali sendirian di ruang tengah. Tak pernah mendengar suara yang mencurigakan. Namun suara di jendela tadi malam? Ia merasa heran karena itu untuk kali pertama. Ibunya terdiam. Tak menyahut. Dirundung bingung. “Papa tak akan pulang malam ini, Ma?” Ray melirik ibunya. “Tidak. Kenapa? Takut?” ibunya setengah mencandai padahal ia pun cemas dan ingin suaminya pulang meski belum saatnya. Ray manyun lalu beranjak menuju ke dalam dan menuju kamarnya. Ia baru keluar setelah mendengar suara azan dari masjid di sekitar rumahnya. Ray baru kembali ke rumah setelah shalat isya berjamaah di masjid. Setelah itu, ia pun menghabiskan waktu di ruang tengah. Tentu saja dengan laptopnya. Ia sudah benar-benar melupakan suara jendela kaca semalam. Pukul sepuluh, Ray tersentak dalam keheningan. Ia mendengar suara sakelar lampu entah yang mana karena di rumah ini ada beberapa. Mungkinkah ibunya? Atau Mia. Atau Rayna. Tapi Mia dan Rayna sudah lelap di kamarnya yang terletak di kamar atas. Tak menonton TV di ruang tengah bila ayahnya tak pulang. Belum habis rasa heran, tiba-tiba ibunya muncul dari ruangan belakang. Dari arah kamarnya dan menghampiri Ray. Dahinya mengernyit. “Ray, kamu yang memijit sakelar lampu barusan?” tanya Ratna. Dengan cepat Ray menggeleng. “Tidak, Ma. Justru Ray juga dengar. Kirain Mama atau kedua adik Ray yang mijit.” “Mereka udah tidur,” ucap ibunya lalu terdiam sesaat. Ray pun terdiam. Ia tak mau mendramatisir malam menjadi mencekam terlebih setelah suara kaca jendela malam sebelumnya. Tapi mengapa bunyi sakelar dipijit bisa didengar dalam waktu bersamaan? “Kamu mau tidur di mana?” tanya ibunya. “Di kamarmu?” “Tidak ah, Ma. Di sini saja,” jelas Ray. Matanya melirik pada kasur yang tergelar di ruang tengah yang tak jauh dari tempatnya duduk. Sudah siap bantal, guling juga selimut. “Mama juga di sini ah…” ibunya tanpa dikomando merebahkan badannya. Ia ingin menemani Ray dan berusaha menenagkannya agar yang ditakutkan menyingkir. Lalu memejamkan matanya. Terdengar dengkur halusnya. Ray terus mengetik mengerjakan tugas-tugasnya yang sangat menyita perhatiannya. Tiba-tiba, pukul dua belas malam, Ratna terbangun lalu bangkit dan menatap Ray. Ia mendengar suara kaca jendela seperti ada yang menggaruk-garuk. Ia tak bisa lagi menyembunyikan kepanikannya. Lalu bicara pada anaknya. Giliran Ray yang merasa heran, ia bahkan sama sekali tak mendengarnya. Namun dipikirnya mungkin tak terdengar saking terpusat perhatiannya pada layar laptop. Ray menenangkan ibunya yang akhirnya perempuan itu tidur kembali. Dalam hati Ray geli, sebelumnya ia yang merasa aneh dan ibunya yang menenangkan. Namun ia yakin tak mendengar suara kaca jendela seperti yang diucapkan ibunya. Kalau malam sebelumnya memang yakin mendengar. Malam kian beranjak. Ray tidak merasa mengantuk padahal tidak tidur siang karena tiba di rumah juga lewat pukul tiga sore. Tugasnya sudah selesai. Ia pun hendak tidur di samping ibunya. Ia berdiri untuk menghampiri sakelar lampu lalu memijitnya. Ruangan gelap. Tetiba kupingnya menangkap suara seperti malam lalu. Ia terperanjat. Nyata, suara itu datang dari arah kaca jendela. Ada yang menggaruk-garuk. Ini berlangsung lama. Rasa penasaran menggulungnya, ia harus meyakinkan bahwa suara itu hanya nyamuk atau cecak. Langkahnya bergegas mendekati jendela itu, suara itu terdengar terus sekarang. Tubuh Ray agak ditekuk. Kuping kanannya didekatkan ke arah kaca, hingga menempel. Trek trek trek. Lama. Ia kian penasaran. Tirai disingkapkan. Kepalanya bergerak, matanya mengintip dari dalam mencari kebenaran yang baru saja mengusiknya. Dan benar saja, mata Ray bertatapan dengan sepasang mata menyeramkan yang menempel di kaca bagian luar. Mata siapa? Mulut Ray hendak terkuak. Namun suara yang hendak keluar tertahan di kerongkongan. Kedua mata itu menakutkan. Besar, bulat, merah dengan tatapan tajam. Tubuh Ray bergetaran hebat. Keringat dingin mulai membasahi tengkuknya yang terasa kian dingin bersamaan bulu kuduknya yang meremang. Bibirnya tak mampu bergerak. Mata menyeramkan itu seperti hendak menerkamnya.***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD