Kartawijaya Tbk.
Seorang pria duduk di kursi kebesaran dengan papan nama CEO - Aryan Malik Kartawijaya. Ia terlihat berjibaku bersama berkas-berkas yang menumpuk di meja tersebut. Lima belas menit berlalu sejak sang asisten memberi penjelasan tentang ekspansi bisnis serta jalinan kerjasama dengan Dewadaru Group. Sesekali pria itu melirik, membaca, lalu menandatangani berkas tersebut. Namun, di tengah kesibukan itu, seseorang lainnya datang dengan deru nafas tak beraturan.
“Maaf, Pak. Info dari Bu Laila … nona muda … menghilang lagi.”
“Apa?”
Prak!
Pena di tangan lantas terjatuh ke dasar lantai. Ia mendongak seraya menatap seorang wanita yang tak berani menatapnya. Sang asisten yang sejak tadi berdiri di sisi pria itu, mulai merasa khawatir bahwa tuannya akan mengalami letupan emosi.
“Saya akan segera hubungi pengawal, Tuan.”
Deru nafas pria itu menyapu berkas hingga melambai-lambai di atas meja.
“Kamu boleh keluar, Monika.”
Pria bertubuh tegap dengan hidung bangir menanti nada sambung dari ponsel miliknya. Sementara pria lain yang duduk di kursi kebesarannya, hanya bisa bersandar sambil menekan pelipis perlahan-lahan.
Pasalnya, ini bukan pertama kali seseorang melapor bahwa putrinya menghilang, cinta dan aset paling berharga yang ia miliki satu-satunya.
“Mereka sedang berusaha mencarinya, Tuan.”
“Kita harus kesana sekarang!”
Tak ingin menunda lebih lama, pria itu bangkit lalu meraih jas yang ada di sebelah kiri ruang. Tanpa babibu lagi, Aryan melangkah lebih dulu meninggalkan sang asisten yang masih termangu.
***
RS Ibu dan Anak, Ibukota Jakarta.
Ketika pintu lift terbuka, Hana melangkah lebar lalu berbelok ke arah kanan.
“Kamar 222, ya, Bi.”
“Siap!”
Tawa kecil terdengar dari bibir gadis cilik di belakangnya. Bahkan Hana bisa mencium aroma lembut khas seorang anak. Ketika langkah kakinya hampir tiba di depan pintu kamar, Hana kembali bertanya, “Memangnya mereka tadi siapa?”
Humaira terdiam. Sedetik, dua detik, tiga detik … hingga beberapa detik berlalu tak kunjung ada jawaban dari anak tersebut. Alhasil, Hana menurunkan tubuh kecil itu, lalu menatap iris matanya dengan lembut.
“Humaira ….”
“Humaira!”
Disela ucapannya yang pelan, Hana mendengar suara seseorang memanggil nama anak kecil di hadapannya dengan kencang. Ia dan Humaira pun menoleh ke sumber suara secara bersamaan.
“Ayah?”
‘Ayah?’
Wajah gadis itu menjadi sangat antusias, sampai-sampai ia melompat kegirangan. Hana bangkit dari posisi berlutut ketika Humaira berlari ke arah pria yang disebut ayah.
“Hap!”
Aryan terlihat menangkap lalu menggendong gadis kecil tersebut. Disaat berikutnya, ia mulai mengintrogasi.
“Apa kamu buat ulah lagi?”
Tak ada jawaban, Humaira hanya menggeleng dengan cepat hingga membuat rambutnya melambai-lambai.
‘Apa dia ayahnya?’
Hana menatap dengan sekali tatapan intens, lalu tertunduk. Seorang pria kini berdiri bersama gadis kecil yang telah memberikannya harapan. Namun, ia sadar, bahwa dirinya telah bersuami dan harus menjaga diri.
Beda hal dengan yang dilakukan wanita itu, ayah dari gadis cilik tersebut diam-diam mencuri pandang. Meski ia menatap ke arah Humaira yang masih bungkam, namun ekor matanya bisa melihat seorang wanita berhijab yang tengah tertunduk disana.
“Ayah! Aku mau kenalin Ayah sama Bibi Hana!”
Humaira mengalihkan pembicaraan. Ia menatap wanita yang tertunduk dalam jarak satu meter dari mereka.
“Bibi Hana?” ulang Aryan.
“Iya! Bibi yang itu!”
Humaira menunjuk dengan dagu sementara bola mata pria itu berputar seratus delapan puluh derajat mengekori arah pandang sang putri.
“Ibu Hana, mohon maaf–anda mengalami keguguran. Kami akan segera melakukan tindakan kuretase, ya.”
Sekelebat memori muncul di pikiran Aryan ketika melihat wajah wanita disana.
“Ayah! Bibi cantik, ‘kan?” tanya Humaira, memecah lamunannya.
“Eung?”
Hana masih tertunduk malu namun ia gegas berpamitan dengan kedua pipi yang merona.
“Humaira … karena ayahmu sudah datang, sebaiknya Bibi pamit, ya.”
Tak berani menatap ke arah mereka, Hana melangkah dengan berbalik arah. Namun, tiba-tiba tangan kecil itu menahan jemarinya. Dan–entah sejak kapan Humaira turun dari pangkuan sang ayah? Hana jadi termangu.
“Bibi jangan pergi!”
Hana pun berbalik lalu menatap wajah penuh harap seorang gadis kecil. Sorot mata itu seolah mengatakan ‘aku membutuhkanmu … tolong jangan pergi’.
“Tapi Bibi harus ….”
“Bisakah Nona menemani putriku sebentar saja?”
Hana mendongak, menatap sepasang mata lain yang menyiratkan kalimat yang sama. Jauh dari tatapan yang menyorot, ia melihat ada seorang pria berdiri di belakangnya.
‘Keluarga Humaira pasti bukan orang sembarangan.’
Hana ragu tapi ia pun seolah tak ingin berpisah dengan anak itu. Hanya beberapa saat bersama, membuat Hana bisa melupakan segala problematika rumah tangganya.
‘Tapi bagaimana dengan Mas Axel?’
Dalam hati ia masih menimang, seraya menatap jarum jam di tangan yang masih menunjukkan pukul sebelas siang.
Ting!
[1 message receive]
Mas Axel: Saya makan diluar. Jadi ga usah antar makan ke kantor, ya.
Hana menatap notifikasi dari layar ponsel tanpa membuka pesan tersebut. Raut wajahnya memang kecewa mendapat pesan itu dari sang suami, namun ketika menatap wajah Humaira, rasa kecewanya seakan berubah jadi bahagia.
“Bibi?”
Humaira tahu apa yang dipikirkan Hana. Ia sendiri merasa begitu iba. Kehidupan wanita yang memberinya kenyamanan itu ternyata tidak sebaik apa yang ia kira.
“Ya?”
“Seenggaknya bacakan aku satu buku cerita … apa boleh, Bi?”
Hana kembali melirik ke arah Aryan hingga membuat hatinya berubah menjadi tak menentu.
Please!
Gerakan bibir Aryan ketika Hana melihat ke arah pria itu pun tampak. Dan permintaan itu tentu tak bisa ia tolak, mengingat bahwa ia pun sangat ingin bersama gadis kecil tersebut.
“Baiklah, Bibi akan membacakan sebuah cerita.”
“Asyik!”
Humaira melompat-lompat dengan senyum yang begitu bahagia. Mereka masuk ke kamar VVIP lalu bersiap-siap membacakan cerita. Sebelum itu, Hana telah mengatur posisi duduk gadis kecil tersebut di atas ranjang.
“Bibi akan bacakan cerita sambil mengupas apel, ya?”
“Tidak Bu, biar saya saja yang mengupasnya.”
Seisi penghuni di kamar 222 pun menoleh ke arah seorang wanita paruh baya yang masih berdiri di ambang pintu. Lalu ia melangkah lebih lanjut, diikuti dua pria berjas hitam yang beberapa waktu lalu berusaha menangkap mereka.
“Kalian?”
Hana menatap dua pria berjas lalu Humaira secara bergantian.
“Kami ini pengawal nona muda, Bu.”
Salah seorang pria itu membuka suara. Dan seketika itu pula Hana menatap Humaira dengan tajam.
“Humaira jadi kamu ….”
“Hehe.”
Humaira hanya menampakkan senyuman. Disisi lain, Aryan yang duduk di sofa, menggelengkan kepala dengan ulah sang putri.
“Maafkan kami, Tuan.”
“Baiklah kalian boleh pergi,” titah Aryan pada kedua pria berjas hitam tersebut.
Detik berlalu, ketika jam makan siang usai, Humaira mulai tertidur pulas. Dan saat itu pula kesempatan Hana untuk segera kembali ke rumahnya.
Ia beranjak dari tepi ranjang, lalu meraih tas tangan.
“Saya pamit dulu, ya, Tu-an.”
Aryan menghentikan aktivitasnya yang tengah berjibaku di depan laptop. Melihat Hana, Aryan seketika beranjak.
“Boleh saya antar?”
***