Tukang Cilok Baru

2398 Words
    Namira sedang antre membeli jus buah di kantin. Jus buah murah meriah, hanya tiga ribu rupiah. Karena buah yang dihancurkan bersama gula dan air dalam blender, hanya seperempat bagian dari keseluruhan. Namun meskipun begitu, jus buahnya tetap laris manis, dan selalu diserbu para murid saat istirahat seperti ini.     “Nam!”     Seseorang menepuk bahu Namira dari belakang. Namira menoleh, ternyata Intan dan Wahyuni. Mereka tadi tidak mau diajak Namira ke kantin, makanya gadis itu pergi sendirian. Eh, sekarang mereka tiba-tiba ada di sini.     “Kenapa?” tanya Namira.     “Dipanggil sama Bu Laila ke kantor. Kita udah telepon lo dari tadi. Tapi nggak lo angkat.”     Namira terlihat kebingungan. “Ada urusan apa emang?”     “Wah, nggak tahu, ya. Lo langsung ke kantor aja sekarang.”     “Yah, gue udah antre jus dari tadi.” Namira terlihat enggan meninggalkan tempat antrenya.     “Lo tenang aja, biar kita yang antrein jus buat lo. Jus yang biasanya, kan?”     Namira mengangguk senang. Kedua teman sekelasnya itu memang bisa diandalkan. Namira pun meninggalkan tempat antre dengan ringan hati.     Tanpa sepengetahuan gadis itu, Intan dan Wahyuni barusaja melakukan tos. Mereka menertawai kepergian Namira.     Namira menelusuri lorong demi lorong. Meskipun dipanggil ke ruang guru, namun ia sama sekali tak khawatir. Karena ia tak melakukan kesalahan apapun. Jadi, mungkin Bu Laila memanggilnya karena ada urusan lain—di luar masalah-masalah yang berkonotasi negatif.     Sampai di depan salah satu toilet wanita, seseorang menarik rambut panjang Namira. Gadis itu memekik, namun mulutnya segera disekap dari belakang. Namira melihat siapa gerangan orang yang memperlakukannya seperti ini. Seperti yang sudah ia duga, lagi-lagi Liliana.     Liliana membawa Namira masuk ke salah satu sekat toilet, mengunci pintu dari dalam.     Sekitar mulut Namira memerah karena bekapan yang dilakukan oleh Liliana tadi. Gadis itu sedang menatap sengit Liliana yang sedang berdiri dengan berkacak pinggang di hadapannya.     “Kenapa lagi?” tanya Namira dengan nada menantang.     Orang rumah tak pernah ada yang tahu bahwa gadis itu adalah korban bully di sekolah. Namira hanya menunjukkan sisi positif dan hiperaktifnya saat berada di rumah. Semua orang sudah disibukan dengan urusannya masing-masing. Namira tak ingin menjadi seseorang yang semakin memperbanyak hal yang harus mereka kendalikan.     Namira yakin bahwa ia bisa mengatasi semua masalah ini. Karena ia adalah gadis yang kuat.     Kebanyakan dari pembulinya adalah pada siswi.     Pembulian terjadi dipicu oleh banyak hal. Biasanya adalah karena si Bully adalah seseorang yang berbeda dari yang lain, seseorang yang terlihat mencolok. Bisa jadi si Culun, si Jelek, si Pendek, si Tinggi, si Bodoh, si Pintar atau bahkan si Tampan dan si Cantik.     Namira masuk dalam golongan yang terakhir. Banyak sekali siswa di sekolah ini yang tertarik padanya. Entah itu para senior, teman-teman seangkatan, bahkan para junior yang baru menginjakkan kaki di sekolah ini.     Normal jika mereka—para remaja puber, yang baru bisa merasakan indahnya cinta monyet—tertarik pada kecantikan Namira. Parasnya yang ayu, senyumnya yang manis, tubuhnya yang indah, juga rambutnya yang panjang, sehat dan terawat.      Perpaduan sempurna dari kedua orang tua kandung Namira—Yas dan Bianca.      Kebanyakan siswa mengagumi Namira secara sembunyi-sembunyi. Namun tak sedikit yang menunjukkan kekaguman mereka secara frontal. Seperti Jalu contohnya, dan juga Kava—salah satu senior terpopuler di sekolah ini—merangkap kekasih Liliana.      Oops, hanya Liliana seorang yang menganggap seperti itu. Karena kenyataanya, Kava tidak berpikir demikian. Kava selalu malas dan berusaha menghindari Liliana. Kava sering sengaja ke kelas Namira untuk sekadar mengajak ngobrol. Dan tentu saja, Liliana tak suka itu.      Namira sebenarnya agak kecewa pada kedua teman sekelasnya—Intan dan Wahyuni. Selama ini mereka baik padanya. Ya, Namira tahu bahwa Wahyuni sangat menyukai Jalu. Dan Wahyuni juga sangat tahu, bahwa Namira tak ada rasa apapun pada Jalu.     Wajar jika Wahyuni iri. Tapi dengan melakukan hal semacam ini—menjebaknya dengan berbohong tentang panggilan Bu Laila—padahal seseorang yang memanggilnya adalah Liliana.     Dan juga Intan … Ya Tuhan, Intan sering curhat pada Namira tentang perasaannya pada Banyu—putra dari Bu Yulia, keponakan Rara—calon istri Chico, yang juga bersekolah di sini.     Namira sudah berusaha memenuhi permintaan Intan untuk mendekatkan Banyu dengannya. Namun, jika Banyu tidak mau, apa itu salah Namira?     Namira bisa memahami bahwa Intan cemburu dengan kedekatan Namira dan Banyu. Tapi … ayolah, Namira dan Banyu tidak akan mungkin saling jatuh cinta.     Kasarannya, Namira dan Banyu tumbuh bersama. Mereka sudah terikat dengan hubungan kekerabatan yang erat. Saat Chico dan Rara menikah nanti, bahkan Namira dan Banyu benar-benar jadi saudara. Mungkin tidak dalam waktu dekat, namun Chico dan Rara sedang sama-sama mengumpulkan uang agar mereka bisa segera menikah secepatnya.     Tidak bisakah Intan mempertimbangkan dulu sebelum bertindak?     Wahyuni dan Intan barusaja mengubah anggapan Namira tentang mereka. Mungkin setelah ini, Namira tak akan pernah percaya lagi pada mereka.     Tak hanya Liliana, beberapa siswi lain juga melakukan pembulian pada Namira. Namun apa yang mereka lakukan, masih dalam tahap wajar, dibanding apa yang dilakukan oleh Liliana.     “Udah gue bilang, jangan pernah deketin Kava!”     “Gue nggak pernah deketin Kava!”     Liliana melayangkan sebuah pukulan pada perut Namira. Liliana selalu pintar mencari tempat untuk melukai saingannya itu. Ia mencari bagian tubuh yang tidak akan terdeteksi oleh orang lain. Jika ia menampar Namira, dan meninggalkan bekas di pipi, perbuatannya akan ketahuan. Liliana tak mau itu terjadi.     Namira mencengkeram perutnya. Sakit sekali.     Suara bel masuk terdengar. Liliana terlihat kesal. Ia seharusnya bisa memberi Namira pelajaran lebih dari ini. Kalau bisa, Liliana akan meneruskan pembulian yang ia lakukan. Tapi tidak.     Image-nya sebagai anak emas di sekolah ini, tidak boleh ia rusak, dengan kesalahan sekecil apapun—seperti masuk kelas tidak tepat waktu. Oleh karenanya, ia harus segera ke kelas setelah ini.     “Urusan kita belum selesai, Nam!”     “Whatever!” jawab Namira masih sambil menahan sisa rasa sakit di perut.     Setelah Liliana pergi, barulah Namira berusaha berdiri dari atas toilet. Ia juga harus segera kembali ke kelas. Meskipun masih sakit, Namira akan menahannya. Toh ia sudah biasa diperlakukan seperti ini.     “Nam!” seru seseorang.     Namira menoleh, mendapati Banyu keluar dari balik dinding. Oh … Namira seharusnya sudah menduga sedari tadi. Suara bel tadi adalah ulah Banyu. Jadi, sebenarnya ini belum saatnya masuk kelas. Banyu memang selalu memiliki segudang cara untuk menolong Namira dari para pembulinya.     Banyu menyerahkan segelas jus jambu biji merah pada Namira. Jus favorite gadis itu. Banyu memang tahu segala hal tentangnya.     Namira menerima jus itu dengan senang hati. Kemudian meminumnya sampai tandas setengah. “Lo mau?”     Banyu menggeleng cepat.     Namira terkikik menanggapinya. Kemudian wajahnya terlihat murung, seperti memikirkan sesuatu. “Gue nggak tahu, harus bersyukur, atau justru susah karena lo selalu nolongin gue. Selalu baik sama gue.”     Banyu tersenyum. Mengerti sepenuhnya apa maksud Namira. Ia pun serba salah.     Dengan dirinya yang selalu menolong dan baik pada gadis ini, selalu dekat dengan gadis ini, jumlah pembenci Namira di sekolah akan semakin banyak. Dan bisa jadi, akan bermunculan Liliana-Liliana lain di masa depan.     Tapi jika Banyu tidak menolong gadis itu, Namira bisa-bisa terluka parah karena kekerasan yang dilakukan. Banyu tidak mau itu terjadi.     “Tapi tetep makasih, ya!” ucap Namira tulus.     “Dia ngapain lo tadi?”     “Biasa, nonjok perut gue. Tapi cuman sekali kok, hehe.”     Banyu berdecak kesal. “Mungkin kapan-kapan gue harus ngadu sama Tante Rara, biar dia bilang sama Oom Chico, dan jeng-jeng, seluruh keluarga lo tahu apa yang terjadi sama lo di sekolah.”     “Coba aja kalo berani ngadu!” tantang Namira.     Bel masuk yang sebenarnya baru saja berbunyi. “Gue ke kelas duluan, ya!” Namira berlari meninggalkan Banyu. Mereka memang tidak pernah sekelas semenjak kelas tujuh.     Banyu hanya menatap kepergian Namira. Gadis itu … bagaimana Banyu bisa berhenti menolongnya? Banyu berjanji pada dirinya sendiri, akan selalu menjadi pelindung gadis itu. ***     “Yah!” Namira bergelayut manja ada lengan Yas.     Yas sekiranya sudah tahu apa yang akan Namira lakukan. Makanya Yas tidak memberi tanggapan berarti. Lelaki itu melanjutkan memilah biji kopi. Ia harus cepat, atau LUAlounge akan terlambat buka hari ini.     “Ayah!” Namira kesal karena jurus manjanya tidak mempan.     “Nami kan udah Ayah kasih uang saku. Yaudah, beli cilok pakek sisa uang saku Nami,” jelas Yas.     “Ayah bilang Nami harus nabung, biar bisa bayar uang semesteran sendiri. Biar Nami bisa mandiri. Terus kalo duit tabungan Nami dipakek buat beli cilok, lama-lama habis dong!” Seperti biasa gadis itu sangat pintar berdalih. “Lagian, dimintain duit buat beli cilok aja pelit banget! Ntar Ayah kuburannya sempit, loh!”     “Astaghfirullah!” Yas segera beristighfar. Daripada omongan putrinya semakin ngalor ngidul, Yas segera merogoh saku, mengambil dompet, mengeluarkan selembar uang berwarna biru.     Namira berjingkrak menerima uang itu. Yas hanya geleng-geleng. Lelaki itu tak berlebihan memberi Namira uang segitu hanya untuk membeli cilok. Karena Namira akan protes jika Yas memberi jumlah kurang dari itu. Namira memang selalu memborong dagangan si Tukang Cilok. Lama-lama LUAlounge bisa pailit hanya karena cilok.     “Makasih, Ayah!” Namira mengecup singkat pipi Ayahnya.     “Kalo Mbak borong cilok, seharusnya dimakan sendiri. Nah ini, selalu dibagi-bagiin sama semua orang di sini. Kalo mereka udah bosen, malah semuanya dikasih ke Eren. Bisa bulet lama-lama!” protes Eren yang sedang memeriksa kembali buku PR-nya.     Eren menandai bagian-bagian yang salah koreksi dengan pulpen berwarna merah jambu. Guru tidak seharusnya menukarkan PR para murid satu sama lain untuk dikoreksi bersama-sama. Karena tidak semua anak berumur delapan tahun sepintar Eren.     Ada di antaranya yang kadang belum mengerti dengan apa yang guru jelaskan. Jadilah, terjadi banyak kesalahan dalam pengoreksian. Yang salah dibetulkan, yang betul disalahkan. Hal itu sangat tidak adil dan menyebalkan.     Tak apa jika tujuan guru adalah untuk mengedukasi murid-muridnya. Agar mereka bisa saling berinteraksi dan tak malu untuk bertanya. Tapi jika seperti itu, seharusnya guru memeriksa kembali hasil koreksi mereka. Untuk mengantisipasi terjadinya kesalahan.     Tapi guru di sekolah Eren tidak seperti itu. Setelah PR atau ulangan selesai dikoreksi, ia hanya menilai, dan membagikan hasil pada semua murid. Guru harusnya mendidik dan bekerja keras. Bukannya malas-malasan.     Lain lagi ceritanya jika murid minimal sudah kelas lima. Di mana mereka sudah lebih dewasa dan paham.     “Eren tuh suka protes, tapi pas Mbak kasih, tetep dimakan juga, kan?” Namira menanggapi protes adiknya.     “Habisnya enak!” jawab Eren sekenanya.     “Dasar!”     Namira beringsut keluar dari LUAlounge. Berdiri di pinggir jalan, menunggu Kang Cilok kesayangan lewat. ***     “Ciiii-looooook, direbus, di gerobak, bisa pakek kuah, murah meriah, ennnnaaaak!” Yonas terus menerus melantunkan lagu dadakan itu. Nada milik pedangan tahu bulat, yang diubah liriknya.     “Nas, lo bisa diem nggak, sih?” protes Kal El.     “Kal, orang dagang, tuh, ya begini!”     “Tapi nggak boleh plagiat, Bego!”     “Ini bukan plagiat. Cuman terinspirasi!” Yonas menaik-turunkan alisnya.     “Terinspirasi gundulmu!? Itu nadanya sama persis. Itu namanya plagiat!”     Yonas menaikkan bahunya dengan cuek. Kemudian mulai melantunkan lagu itu lagi. “Ciiii-looooook, direbus, di gerobak, bisa pakek kuah, murah meriah, ennnnaaaak!”     Ingin rasanya Kal El berlari menjauh sekarang juga. Sayang, gerobak ini terlalu berat untuk dibawa lari.     Saat akan sampai di LUAlounge, Kal El melihat seorang gadis cantik jelita yang melambai padanya. Kal El sedikit mempercepat laju gerobak, supaya ia bisa segera menghampiri sang Pelanggan Setia.     “Wah, siapa, tuh, Kal? Cakep banget kayak bidadari!” Yonas heboh sendiri.     Kal El tidak ada nafsu untuk menjawab pertanyaan Yonas.     “Sore, Kang Cilok!” sapa Namira.     Kal El menanggapi sapaan Namira dengan senyuman tipis. Yonas tertawa terpingkal-pingkal karena panggilan yang Namira berikan pada Kal El.     “Oh, ada tukang cilok baru!” celetuk Namira.     Kali ini gantian Kal El yang terbahak. Menertawakan Yonas, yang kata Namira adalah tukang cilok baru.     “Waduh, bukan, Dek, bukan!” elak Yonas segera.     “Oalah, Nami kira tukang cilok baru, yang lagi training sama Kang Cilok. Biar besok pas jualan sendiri udah lancar. Maaf, ya!” Namira cengengesan. “Kalau bukan tukang cilok baru, terus kamu siapa, dong? Kok bisa ikut sama Kang Cilok?”     Yonas tak ingin melewatkan kesempatan emas ini. Kesempatan untuk kenalan dengan sang Bidadari. Yonas mengulurkan tangan kanannya. “Yonas.”     Namira agak kikuk karena sikap Yonas. Tapi demi kesopanan, Namira menyambut uluran tangannya. “Namira.”     “Nama yang cantik. Secantik orangnya.”     Namira hanya tersenyum garing. Kal El hanya geleng-geleng dengan kelakuan temannya itu.     “Kang Cilok, Nami pesen kayak biasanya, ya!”     Kal El hanya mengangguk. Ia segera membuka tutup panci. Seketika asap bearoma kardu lezat menguar menggelitik hidung, menggugah selera. Kal El dengan cekatan memasukkan paduan cilok kecil, cilok besar berisi jeroan dan telur puyuh, gorengan, sayur, siomay dan juga tahu kuning.     Kal El terus menerus melakukannya sampai genap lima bungkus. Barulah Kal El memberi kuah pada plastik satu per satu. Namira menerimanya untuk memberi saos, kecap dan sambal sendiri. Hitung-hitung untuk meringankan pekerjaan sang Pujaan Hati.     Lalu apa yang dilakukan Yonas? Ia hanya terdiam takjub menatap betapa Kal El sangat mahir berjualan cilok. Sedari tadi banyak pembeli, tapi mereka hanya membeli sekedarnya. Tidak seperti Namira yang memborong. Dan Kal El berhasil membungkus semua pesanan itu dalam kurun waktu yang sangat singkat.     “Makasih, ya, Kang Cilok!” Namira menerima satu kresek berisi cilok dengan senang hati.     “Aku yang makasih, Nam!”     Perhatian Yonas segera kembali tertuju pada Namira. “Nami cantik, udah langganan sama Kal El, ya?”     Namira mengangguk.     “Wah, udah cantik, suka borong cilok dagangan Kal El. Makasih, lho. Dengan begitu, kamu udah membantu orang susah seperti Kal El. Hatimu sungguh mulia.”     Lagi-lagi Namira tersenyum garing. Tak tahu bagaimana harus menanggapi Yonas.     Sedangkan Kal El hanya menatap tajam si Spongebob.     “Yaudah, Nami masuk dulu, ya, Kang Cilok, Mas Monas!” pamit Namira.     “Yonas, bukan Monas, Dek Nami!” Yonas segera protes karena Namira salah menyebut namanya. Demi apa, Yonas berubah menjadi Monas? Kesalahan satu huruf, bisa mengacaukan segalanya.     Kal El benar-benar bisa tertawa lepas setelah sekian lama karena insiden itu.     “Eh, maaf, deh! Yaudah, Nami masuk. Sampai jumpa besok, Kang Cilok!” Namira melambai lagi pada Kal El, seperti apa yang ia lakukan saat pemuda itu datang tadi.     “Yah, kok lo doang yang dipamitin, Kal!” kesal Yonas.     Kal El terlalu malas menanggapi. Ia sudah lelah keliling seharian. Tenaganya terlalu berharga hanya untuk meladeni orang kelebihan energi seperti Yonas.     “Fix, besok gue ikutan lo jualan lagi. Gue mau ketemu lagi sama Dek Bidadari!” Yonas mendahului Kal El berjalan.     Kal El menatap punggung sahabatnya itu. Jarang-jarang Yonas bersikap baik pada orang asing. Tak peduli itu laki-laki atau perempuan. Jika sekali bertemu, Yonas langsung akrab dan banyak bicara seperti tadi, itu tandanya, Yonas benar-benar tertarik dengan orang yang bersangkutan. *** TBC  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD