The Serious One

1623 Words
    Dokter berperawakan sedang dengan kaca mata tanpa frame terlihat terburu-buru menuju ke UGD. Seorang perawat barusaja memberitahu bahwa salah satu pasiennya baru saja datang dalam kondisi kritis. Tanpa menunggu apapun lagi, tak peduli ini sebenarnya sudah jam pulang, ia tetap berdedikasi tinggi untuk mengemban tugas.     Tak semata-mata itu, kepanikannya saat ini dikarenakan pasien yang bersangkutan adalah pasien pertamanya setelah ia resmi menjadi dokter spesialis. Pasien itu memiliki tempat tersendiri di hatinya, yang mungkin tak akan pernah bisa tergantikan oleh pasien lain selamanya.     Dokter Yongki menerobos kerumunan dokter muda dan juga perawat yang sedang memberikan pertolongan pertama pada Kal El.     Doter Yongki segera menyingsingkan lengan, bersia untuk mengambil alih Kal El dari mereka. “Vitalnya?”     “Sembilan puluh per lima puluh, detak jantung seratus sepuluh bpm.”     “Suhu tubuhnya?”     “Tiga puluh sembilan koma delapan celcius.”     Dokter Yongki menatap Yonas yang setia menemani di antara para suster dan dokter muda. “Ceritakan, kenapa bisa sampai kambuh lagi? Terakhir baru sekitar tiga bulan yang lalu, kan?”      “Gara-gara dikejar mafia,” jawab Yonas sekenanya.     Mata Dokter Yongki memicing. Bingung dengan jawaban Yonas yang terkesan asal. Untungnya Yonas segera menyadari kesalahannya ia hanya terlalu panik sampai-sampai menjawab dengan sembarangan seperti itu. “Ceritanya panjang, Dok. Yang jelas dia kecapekan, banyak masalah, stres!”     “Sejak kapan mulai ngerasain sakit lagi?”     “Tadi sore. Tapi setelah minum obat dia baikan. Sampai kost, dia langsung tidur. Jam sembilan tadi dia kebangun karena udah mulai nyeri hebatnya. Saya tawarin buat ke sini, dia nggak mau. Terus jam sebelas tadi dia mulai susah napas, sampai nggak sadarkan diri. Langsung saya bawa ke sini.”     Dokter Yongki mendengarkan cerita Yonas sembari memberikan perawatan terbaiknya pada Kal El. Sebenarnya ada satu hal dari penjelasan Yonas yang membuatnya bertanya-tanya. Kenapa Kal El pulang ke kost? Kenapa tidak pulang ke rumah?     Pantas saja selama tiga bulan ini Kal El jarang konsultasi dengannya. Jadi, ada sesuatu yang serius sedang terjadi. Jika tidak serius, mana mungkin Kal El sampai tidak pulang. Sementara selama ini, anak itu dikenalnya sebagai salah satu anak paling berbakti yang pernah ada. ***     Namira buru-buru menyalin catatan di papan tulis. Ia ketinggalan mencatat karena tadi Bu Laila memanggilnya ke kantor. Kadang ia heran, kenapa Bu Laila hobi sekali memanggilnya ke kantor di saat jam pelajaran. Padahal urusan mereka bisa diselesaikan di saat jam istirahat seperti ini. Tapi tidak apa-apalah. Toh, Namira senang dekat dengan salah satu guru ter-hits di sekolah ini.     Kasak-kusuk dari kanan-kiri terdengar. Perasaan Namira mulai tak enak. Biasanya saat semua berkasak-kusuk masal, itu adalah pertanda dari kedatangan … tuh, kan. Makhluk astralnya sudah datang.     “Oh, Tahu Bulat!” Jalu seperti biasa berlutut di hadapan gadis itu. Dan mulai melontarkan kata-kata tidak jelas, dengan nada sok puitis yang sama sekali tak enak didengar. “Maaf karena jatah buket bungamu telat sehari. Ini karena kemarin Umi harus bayar arisan. Sehingga baru hari ini bisa kasih duit buat beli!”     “Lu, sekalipun aku pernah ngatain kamu nggak modal, kamu juga jangan minta sama Umi-mu, dong! Kan kasihan, jatah belanjanya jadi berkurang!”     “Lalu aku harus bagaimana, Oh, Tahu Bulat?”      Namira berusaha menekan emosinya sendiri agar tidak meledak karena terus menerus dipanggil Tahu Bulat oleh Jalu. “Ya … Jalu, tuh, harusnya nabung. Jalu dikasih uang saku, kan, sama Umi?”       Jalu mengangguk. “Tapi uang saku Jalu, selalu habis buat belis sosis, Oh, Tahu Bulat!”       Namira mengelus d**a. Sabar-sabar! “Kalo Jalu mau Nami nerima buket bunga pemberian Jalu, Jalu harus beli buket bunganya dengan uang yang Jalu kumpulkan sendiri.”       “Jadi bunga ini kamu tolak, Oh, Tahu Bulat?”       “Iya, Jalu!”       “Terus harus aku apain bunganya? Udah, deh, terima aja, Oh, Tahu Bulat?”       Namira menggeleng cepat. Ia berpikir. Menengok ke sana kemari, sampai menemukan sosok Wahyuni. Seperti biasa ia sedang menempel dengan sahabat sejatinya, Intan. Mereka sedang menatap tajam pada Namira sekarang. Berbeda dengan anak-anak lain yang begitu menikmati lucunya Jalu menggombali Namira.      Jika dulu Namira selalu memberikan bunga pemberian Jalu pada Wahyuni, maka sekarang tidak. Selain karena Wahyuni sudah berkhianat padanya, juga karena bunga ini dibeli dengan uang belanja milik Uminya Jalu.     “Jalu jual lagi aja bunganya! Nanti uang hasil jualnya, langsung Jalu balikin ke Umi!”     Jalu terlihat menimbang-nimbang solusi yang diberikan oleh Namira. “Betapa cemerlang solusi darimu, Oh, Tahu Bulat!”     “EAAAAAAAA!”     “Ya, Nami emang genius dari sananya.”     “EAAAAAAAA!”     “Kalau begitu Jalu pergi dulu, ya, Bulat! Tunggu buket bunga hasil dari tabungan Jalu sendiri. Mungkin tidak dalam waktu dekat, tapi Jalu janji akan berusaha sekuat tenaga. Demi kamu, Oh, Tahu Bulat!”     “EAAAAAAAAAAAAAAA!”     Namira berusaha mati-matian agar bom dalam dirinya tidak meledak. Sabar-sabar. Mau dipanggil Tahu Bulat, mau dipanggil Bulat saja, Namira akan selalu tegar. Tapi awas saja kalau ia bertemu dengan Theo dan Elang di rumah nanti. Bisa habis mereka. ***      “Dok, jangan! Kal El nggak bakal suka kalo Dokter ngasih tahu papanya.”     “Tapi papanya kerja di sini juga, Nas! Pasti cepat atau lambat, beritanya akan sampai juga di telinga Dokter Hengki.”     “Iya, aku ngerti. Tapi seenggaknya Dokter Hengki nggak tahu tentang keberadaan Kal El di sini sekarang. Aduh, seandainya Dokter ngerti masalahnya. Ini serius banget, Dok. Kasihan Kal El.”     “Kamu dari tadi saya suruh nyeritain masalahnya nggak mau. Sekarang malah bahas masalah itu lagi. Saya jadi kepo lagi!” protes Dokter Yongki.     “Ntar kalo Kal El udah sadar, langsung Dokter tanya sendiri masalahnya ke dia! Kalo dia sendiri yang cerita, itu baru bener.”      Dokter Yongki hanya menggeleng tak mengerti. Masalah anak muda dalam perkembangan zaman dewasa ini, semakin rumit saja setiap harinya. Bagaimana dengan anaknya yang saat ini masih kecil. Aduh, ia harus pintar-pintar mendidik dan membahagiakan anaknya supaya tidak ikut-ikutan dalam squad anak muda kebanyakan masalah.      “Kondisinya nggak baik, lho, Nas. Gimana bisa saya nggak kasih tahu papanya?”      Yonas terdiam cukup lama. “Terserah Dokter, sih. Tapi seperti apa yang saya bilang tadi. Kal El nggak bakal suka.”       Dokter Yongki sedang memikirkan solusi terbaik untuk sekarang. Hmh … persahabatan Kal El dan Yonas kadang mengingatkannya akan persahabatan Theo dan Chico di masa lalu. Saat dirinya masih menjadi dokter jaga di UKS sekolah. Sudah cukup lama ia tidak bertemu dengan Theo dan yang lain. Bagaimana kabar mereka semua kira-kira? ***     Tepat jam dua siang, Namira sampai di rumah. Bus kota berhenti di jalan raya depan tadi. Namira hanya tinggal jalan sedikit ke rumah. Namira melihat mobil Theo yang sudah bertengger manis di dalam garasi. Wah, pucuk dicinta, ulampun tiba.     Namira sudah ancang-ancang ingin memberi Theo pelajaran. Karena lagi-lagi si Jalu memanggilnya Tahu Bulat dan Bulat di hadapan umum. Itu semua karena ajaran dari Theo dan Elang. Siapa lagi? Tiap kali Namira mengingat pertemuan antara Trio Tabanas dan Jalu dulu … Ya Tuhan! Seandainya Namira bisa memutar waktu.     “OYOOO!” teriaknya saat melewati LUAlounge.     “Nami, dateng-dateng bukannya salam malah teriak-teriak!” tegur Yas.     “Assalamualaikum!” salamnya.     “Waalaikumsalam.”     “OYOOOO!” Namira mengulangi teriakannya tadi.     Yas langsung geleng-geleng kepala. “Jangan diganggu Oom-nya! Biarin istirahat. Lagi sakit.”     Namira memutar bola matanya malas. Benar saja Theo sudah pulang jam segini. Ternyata sakit, toh. Yah, rencana untuk membuat perhitungan dengan Theo gagal sudah. Tapi masih ada Elang, sih, nanti.     Sayang, hasrat kemarahan Namira tidak akan terpuaskan jika ia hanya marah-marah pada Elang. Karena Namira tidak terlalu tega pada Elang. Biar bagaimanapun, Elang tetaplah Oom kesayangannya. Kebalikan dari seorang Theo.     Namira melihat Theo terkapar tak berdaya di sofa panjang ruang tamu. Sesuai kebiasaannya saat kumat mendadak. Terlalu lemas untuk naik tangga katanya. Makanya ia memilih berbaring di sofa. Seperti biasanya juga, tiap kali Theo sakit, Chico adalah orang yang paling setia merawatnya sepanjang waktu.     Tapi jika dipikir-pikir, memang hanya Chico, sih, yang berkemungkinan untuk merawat Theo. Yas tentu saja disibukkan dengan urusan depan, Elang belum pulang, Bu Alila juga masih di sekolah. Jika biasanya ia berangkat dan pulang bersama Theo, tiap kali Theo tiba-tiba sakit di sekolah, terpaksa wanita itu pulang naik bus.     “Nih, Oom!” Eren yang baru saja turun membawa satu kotak berisi koleksi obat-obatan milik Theo.     “Makasih, ya, Ren!” ucap Chico tulus.     “Sama-sama, Oom!” Eren mengambil duduk di atas salah satu single sofa. Ikut menemani Oom Theo-nya.     “Mas Bro, bangun, minum obat dulu!” Chico menggoyangkan lengan Theo pelan. Yang bersangkutan hanya mengerang kecil. Matanya terbuka pelan-pelan.     “Kenapa, Co?” lirihnya.     “Minum obat dulu!”     “Oh, hooh!”     Chico memberikan tablet-tablet obat yang sudah ia hapal di luar kepala. Theo segera menelan semuanya sekaligus hanya dengan seteguk air.     Theo akhirnya menyadari kehadiran pendatang baru di sana. Karena tadi ia belum pulang. “Udah pulang, Nam?”     “Belom, Oyo. Ini lelembut yang lagi nyamar jadi Nami!”     “Hehehe, nggak lucu!” goda Theo sebelum kembali menyamankan posisi, kemudian melanjutkan tidurnya.     “Nam, ntar kalo kamu beli cilok, pesenin satu nggak pakek kuah, nggak pakek saos, nggak pakek sambel. Kecap aja! Buat Oyo-mu itu!” pinta Chico.     “Koko nyuruh aku, nih, ceritanya!”     “Nggak nyuruh! Kan itu rutinitas kamu, Nam!”     “Koko sama Oyo biasanya aku kasih nggak pernah mau. Tiba-tiba hari ini request. Fix. Itu namanya nyuruh!”     “Bukan nyuruh, tapi minta tolong, Nami!”     “Aduh, kalah deh, ngomong sama Pak Ustadz!”     “Kasihan dia eneg makan nasi. Tadi Koko tawarin makan cilok mau. Biarin aja yang penting keisi perutnya!”     “Iya, Koko, iya! Siap, laksanakan!”     Namira melangkah cepat menaiki tangga menuju ke kamar. Langkahnya terlihat ringan dan bersemangat. Ia harus segera mandi dan bersiap menunggu Kang Cilok di depan. Hari ini terasa spesial, karena Namira memiliki sebuah hadiah untuk Kang Cilok tersayang. *** TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD