Bab 4 - Waktu yang Tepat

1914 Words
“Mbak, aku serius nggak ngerti bisnis menjilat itu apa? Maksudnya Pak Roy bisnis menjilat itu ngapain ke Bu Alya?” tanyaku penasaran saat Mbak Yosi dan Bang Erik masih seru menceritakan Roy yang menghilang selama 45 menit setelah meeting. “Nih ya gue jelasin,” ucap Mbak Yosi mengawali. Namun langsung terputus oleh Roy yang baru saja datang dan langsung membeikan instruksi panjang lebar. “Gue baru dapet kabar dari Hando mereka udah mutusin kasih proyek ini ke kita, besok gue bakal bawa langsung konsep iklan kita ke mereka. Jadi hari ini kita full meeting ya bahas ini!” ucapnya. “Besok siapa aja yang ke Hando?” tanya Mbak Yosi mendadak. “Gue doang,” jawab Roy kemudian. “Mereka nggak perlu dijelasin lagi emang? Gue rasa Yasha atau Erik harus ikut sih nemenin lo,” lagi Mbak Yosi berucap. “Nggak perlu. Gue udah koordinasi sama pihak mereka, dan kalau mereka butuh penjelasan gue bisa kok jelasin,” jelas Roy sebelum kemudian memilih beranjak masuk ke ruangannya. “Yakin lo bisa handle semuanya sendiri? Atau karena emang ada bisnis lain lo di sana?” pertanyaan Mbak Yosi barusan mendadak membuat Roy berhenti dan membalikkan tubuhnya. Suasana menegangkan muncul dan ini biasanya adalah tanda bahwa keributan antara Roy dan Mbak Yosi akan kembali dimulai. Aku bersiap duduk di tempatku dan menyibukkan diri, walau masih mencuri-curi dengar. “Maksud lo apa?” pertanyaan Roy dengan suara yang cukup rendah membuatku semakin yakin bahwa keributan sudah dekat. “Ya siapa tahu kan lo ada bisnis lain terkait kemampuan lidah,” gumaman pelan Mbak Yosi terdengar sebagai jawaban. Namun gumaman itu tetap bisa terdengar dengan jelas bagiku atau mungkin bagi setiap orang di lantai ini. Aku yang masih belum memahami apa maksud Mbak Yosi tentang bisnis menjilat, kini ditambah penjelasan mengenai kemampuan lidah pun tidak kuasa untuk tidak mengarahkan pandanganku pada Roy. Mata kami bertemu, aku menyorotkan pertanyaan melalui pandanganku, tetapi Roy mengalihkan wajahnya kembali untuk bicara ke Mbak Yosi. “Jangan asal ngomong lo!” nada tinggi mulai muncul dari ucapan Roy barusan. “Lho emang gue ngomong apa yang ngasal? Kan bener kemampuan lidah lo aduhai sampai bisa bikin lunglai hahaha,” balasan ucapan Mbak Yosi ini ternyata malah makin menimbulkan emosi Roy. “Gue peringatkan lo untuk diem ya, Yos,” hanya satu kalimat itu yang dikeluarkan oleh Roy setelah beradu pandang dengan ngotot pada Mbak Yosi. Kemudian, Roy pergi berlalu begitu saja walau Mbak Yosi terus menertawainya. “Hahaha malu tuh dia. Sok capable, belagu bisa menangin proyek, padahal hahaha ....” lagi Mbak Yosi terus tertawa yang diikuti juga oleh para tim kreatif lainnya, kecuali aku. Aku tidak bisa mengerti apa yang lucu, tapi entah mengapa perasaanku tidak enak tentang semua perkataan mengenai Roy yang adalah masih kekasihku. Dia masih kekasihku ‘kan? ***** Rapat sejak pagi sampai waktu istirahat menjelang membuat kepalaku terasa mendidih. Saat setiap orang sudah keluar ruang rapat untuk beristirahat atau cari makan, aku malah memilih mengistirahatkan kepalaku sebentar di atas meja rapat ini. Tiba-tiba aku mendengar suara Roy. Ternyata dia belum keluar juga dari ruang rapat. “Yas ... nggak makan siang?” tanyanya. Aku pun mengangkat wajahku sebelum menjawab “Nanti deh,”. “Keluar makan bareng gue?” tawaran mendadak datang dari Roy. Jika aku tidak salah mengingat, ini sepertinya baru pertama kalinya Roy mengajakku makan siang berdua saja selama kami sudah menjadi sepasang kekasih di kantor ini. “Serius?” tanyaku yang dijawab dengan anggukkan dan kekehan olehnya. “Kita lagi di kantor lho ini, kalau misalnya lo lupa,” jawabku lagi mencoba menyadarkannya dari perilaku yang tidak biasa ini. “Ya terus kenapa? Wajar dong rekan kerja makan siang bareng,” ucap Roy yang membuatku kembali tersadar. Ya, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Selama status berpacaran kami tidak diketahui, bagi Roy tidak ada masalah. Namun bagiku itulah masalah terbesarnya. Sebenarnya, apa alasan hubungan kami harus disembunyikan? “Yas, gimana?” pertanyaan Roy kembali terdengar. Aku pun memutuskan untuk mengiyakan tawarannya. Berharap nanti sambil makan siang aku bisa kembali menanyakan masalah status hubungan kami ini padanya. Restoran sushi di salah satu mall yang ada diseberang kantor kami menjadi tujuan santapan siang hari ini. Sambil menunggu pesanan makanan, aku memutuskan untuk sibuk menelusuri halaman sosial mediaku. Hingga berakhir di halaman permintaan pertemanan dan nama itu muncul di sana. @kenzoprayogo has requested to follow you. Ya, aku memang mengatur akun sosial mediaku privat dan setiap ada yang ingin mengikuti akunku, aku akan mendapatkan pemberitahuan seperti di atas. Biasanya, aku akan mengabaikannya saja jika nama akun tidak kukenal. Namun, nama yang asing ini entah mengapa mengingatkanku pada sosoknya. Aku mengklik akun tersebut dan masuk ke halaman sosial medianya. Ternyata benar dugaanku, Kenzo Prayogo adalah Ken, ya sosok teduh dari Breeze Crew yang beberapa waktu terakhir sering muncul disekitarku. Kenapa dia mengikuti akun sosial mediaku? Juga bagaimana dia bisa tahu akun sosial mediaku? Apa dia mencoba mencarinya? Saat pertanyaan-pertanyaan itu masih memenuhi pikiranku, kedatangan makanan yang sudah dipesan membuatku kaget. Buru-buru aku menekan berbagai hal di layar untuk segera menutup tampilannya dan fokus dengan makan siang di depanku dahulu. Lucu memang makan siang dengan pacar yang kualami ini. Tidak seperti layaknya sepasang kekasih, kami terlalu sibuk menikmati makanan yang tersaji tanpa sedikitpun komunikasi. Rasa lapar pun cepat lenyapnya karena aku tidak menikmati suasananya. Tampilan notifikasi pada layar handphoneku malah menjadi lebih menarik perhatian sekarang. Berhenti makan, aku menaruh sumpitku. Saat meraih handphone dan membaca notifikasi barulah aku tersadar. Tadi tanpa sengaja aku telah menyetujui permintaan pertemanan dari Ken dan barusan dia baru saja mengirimiku pesan melalui direct message. @kenzoprayogo: lunch di sushi *** ya? Begitulah isi pesannya terbaca, walau belum kubuka. Tapi tunggu, bagaimana dia bisa tahu aku sedang berada di restoran sushi ini? @kenzoprayogo: aku ada di sini juga hehe jangan kaget gitu wajahnya J lunch with boss or lover nih ceritanya? Kembali aku membaca pesannya masuk, tetapi kali ini aku tidak bisa jika tidak membukanya. Pertanyaan terakhirnya entah mengapa mendorongku untuk menjelaskan. Aku tidak ingin dia tahu bahwa aku dan Roy berpacaran, karena bagaimanapun dia adalah orang yang kukenal dari lingkup pekerjaan dan Roy tidak ingin status kami diketahui di lingkungan pekerjaan. Akhirnya aku pun menjawab cepat-cepat dan mencoba mengalihkan pembicaraan. @yashasha: boss it is. Kok bisa tahu akunku? @kenzoprayogo: ketertarikan berujung kepo, berakhir usaha? Hahaha :D Aku mengerinyitkan dahiku dengan kata ketertarikan yang digunakannya. Apa maksudnya ini? Saat sedang fokus mencari maksud di balik kalimatnya, Roy sepertinya akhirnya menyadari bahwa aku dari tadi sudah tidak menikmati waktu makan siang ini. “Chat sama siapa?” tanyanya seperti penasaran. “Hah? Oh ini temen **,” jawabku sekenanya. Roy terlihat menganggukkan kepala lalu melihat makananku yang seperti tidak tersentuh sama sekali “Udah makannya?” “Udah, nggak terlalu laper memang,” jawabku masih sekenanya karena sekarang perhatianku juga sudah sibuk teralihkan dengan notifikasi yang masuk lagi dan sepertinya masih dari Ken. “Hmm oke. Kamu balik kantor sendiri ya? Aku ada urusan mendadak sama perwakilan Hando,” ucap Roy kemudian. Entah mengapa kalimat barusan mengingatkanku kembali dengan perkataan Mbak Yosi selama ini, Roy punya bisnis lain. Bisnis menjilat dan jangan-jangan urusan mendadaknya ini ada hubungannya dengan bisnis menjilat. “Kamu ada urusan apa? Mau ketemu siapa di Hando?” akhirnya aku tidak bisa untuk menahan tanya. Aku melihat mata Roy membesar, kaget dengan pertanyaanku barusan. “Urusan kerjaan lah, emang apa lagi?” jawabnya retoris. “Kamu tahu nggak, aku tuh nggak ngerti sama bisnis menjilat yang selalu dibahas-bahas sama Mbak Yoshi tentang kamu. Tapi perasaanku nggak enak. Maksud Mbak Yosi itu apa sih?” akhirnya aku memberanikan diri bertanya. “Nggak jelas dia itu. Omongannya nggak ada maksud apapun. Yosi itu sirik aja sama aku, Yas. Kamu nggak usah terlalu dengerin dia. Dia itu start sama aku barengan di Wind Creative. Lihat aku bisa sampai di titik ini sedangkan dia di situ-situ aja malah bikin dia jadi sinis ke aku. Biarin aja, nanti juga diem sendiri,” penjelasan cari aman yang seperti ini bukan pertama kali kudengar. Setelah berkata seperti itu, Roy segera memanggil pelayan untuk mengantarkan bill. Saat bill datang dan Roy baru saja akan menaruh kartunya untuk diproses pembayaran, aku bergumam tanpa kusadari. “Yaudah kalau kamu nggak mau jelasin nggak apa-apa. Nanti aku tanya ke Mbak Yosi aja,” ucapku dan ternyata malah menyulut emosi Roy. Mendadak Roy membanting bill yang sedari tadi dipegangnya. Brakkk Suara kencang bantingan benda kecil itu di atas meja kami tentu menarik perhatian para pengunjung lainnya. “Ini yang kamu sebut pacar? Pacar macam apa yang nggak bisa percaya penjelasan pasangannya dalam suatu hubungan?” suara meninggi Roy pun tidak membantu, malah membuat perhatian semakin tertuju pada kami. Tubuhku gemetar, wajahku mengeras, dan air mataku mengancam jatuh. Ini sepertinya pertama kali Roy membentakku di depan umum. Ya, di depan umum sebagai seorang laki-laki terhadap wanita yang adalah pacarnya. Aku merasakan sepertinya ada yang retak di dalam hatiku. Beginikah aku layak diperlakukan? Tanpa memperpanjang perdebatan aku bangkit berdiri. Aku berlari meninggalkan restoran itu secepatnya sebelum air mataku jatuh dihadapan Roy. “Aku harus ke mana?” tanyaku dalam hati. “Aku perlu angin,” lagi aku berpikir sambil berlari dengan penuh tetesan air mata di pipi. Hingga akhirnya aku berhenti di depan pintu tangga darurat. Aku menaikinya tanpa henti, hingga akhirnya membawaku mencapai pijakan tangga terakhir. Ada satu pintu dihadapanku yang kuperkirakan adalah pintu menuju atap gedung mall ini. Aku membukanya dan perkiraanku benar. Hembusan angin cukup segera menerpa wajahku. Langkah kaki pertamaku memasuki area atap gedung ini ringan. Nafasku lega. Akhirnya, aku menjongkokkan diriku sambil mengeluarkan semua tangisan tertahan yang menyesakkan. ***** Entah sudah berapa lama aku menangis sambil berjongkok di atap gedung ini. Rasanya sesak di dadaku sudah mulai mereda dan air mataku pun sudah hampir mengering. Mungkin sudah cukup lama, pikirku. Aku pun segera berdiri, merapikan wajahku dengan sesekali mengusap mata, dan berbalik badan untuk segera kembali ke kantor. Namun sosok yang tidak kusangka-sangka saat ini ada di depan pintu tempat aku masuk tadi. Ken, si sosok mirip angin ini selalu ada ketika aku sedang mencari angin. Apa dia tadi mengikuti berlari keluar restoran sampai ke sini? Masih dalam posisi terkejut, aku tidak bisa mengatakan apapun. Aku terdiam di tempatku berdiri, bahkan tidak jadi melanjutkan niat untuk kembali ke kantor tadi. Kulihat Ken melangkahkan kakinya mendekati posisiku berdiri. Saat jarak kami sudah tidak seberapa jauh lagi, dia berhenti. Tangannya mengulurkan plastik berisi minuman manis yang entah kebetulan atau tidak memang menjadi favoritku. “Buat kamu,” ucapnya. Tanganku terulur tanpa bisa dicegah, mengambil plastik berisi minuman manis itu. Aku memeriksa jenisnya dan tersenyum heran. Bahkan dia memesankan menu favoritku dari brand favoritku. Kebetulan yang keterlaluan. “Kok ketawa?” tanyanya heran. “Kamu pesen menu favoritku, anyway thank you!” ucapku tak bisa menahan senyum. “You’re welcome :D aku seneng bisa lihat kamu senyum,” ucapnya lagi dan makin mengherankanku. “Hahaha kamu se-random ini?” aku tidak bisa menahan tawa setelah mendengar ucapannya sebelumnya. “Dunno ... is random trait a positive point for you?” tanyanya lagi. Aku tidak menjawabnya lagi dan memilih untuk tertawa menikmati kalimat-kalimatnya yang menyegarkan layaknya hembusan angin yang terus menerpa wajah kami sejak tadi. ***** Setelah menghabiskan beberapa menit dengan tertawa sambil menikmati minuman manis bersama Ken di taman mall, akhirnya aku kembali ke kantor di pukul 3 sore. Ternyata rapat yang terjeda tadi siang tidak dilanjutkan kembali, karena Roy harus bertemu dengan perwakilan Hando katanya. Aku bersyukur, paling tidak aku tidak kena masalah karena kembali ke kantor terlambat. Saat sedang melanjutkan pekerjaanku, mendadak sebuah notifikasi kembali muncul menandakan ada pesan masuk di akun sosial mediaku. Nama itu kembali muncul, aku pun tidak menunggu lama langsung membukanya. @kenzoprayogo: sudah sampai kantor dengan selamat? Baru sadar aku nggak punya nomor kamu, Yash. Hehe jadi chat dari sini lagi deh :D Pesannya yang belum kubalas tetapi sudah k****a ini sepertinya membuat dia memutuskan kembali mengirimkan pesan. @kenzoprayogo: eh kamu belum follback aku, Yash. @kenzoprayogo: nggak apa-apa sih nggak follback tapi gantinya bagi nomor kamu? @kenzoprayogo: aku bercanda hehe tapi kalau kamu mau kasih beneran nggak apa-apa juga sih :D Akhirnya aku pun tidak kuasa menahan tanganku yang telah mengetikkan nomorku padanya. Ya, aku memutuskan tidak ada salahnya berkomunikasi dengan si wujud angin bukan? Dia menyegarkan dan aku penuh kesesakan. @yashasha: 081451678**** ini, udah kukasih jadi nggak follback nggak apa-apa kan? @kenzoprayogo: iya nggak apa-apa Yash! Kamu block di sini juga udah nggak apa-apa, yang penting sekarang bisa chat pribadi langsung ke nomormu hahaha @yashasha: thank you ya tadi, Ken. Makasih untuk minumannya, makasih untuk waktunya, makasih sudah ada di waktu yang tepat. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD