Sebuah Pelukan

2008 Words

"Aku minta maaf." Suara itu lirih tapi jelas, menggema di ruang tamu rumah mereka yang selama ini lebih sering dipenuhi keheningan ketimbang percakapan hangat. Lelaki itu, suaminya, pria yang selama ini menjadi pusat dari segala luka dan pertanyaan, kini berlutut di hadapannya. Lututnya menyentuh lantai dingin, tangannya mengepal di paha, dan wajahnya menunduk dalam-dalam seolah tak layak menatap perempuan yang sudah ia hancurkan perlahan selama lima tahun terakhir. Air mata menggantung di sudut matanya. Tapi bukan tangisan itu yang membuat suasana jadi lebih pilu. Justru tatapan Revlinska-datar, kosong, nyaris tanpa warna-itulah yang menusuk paling dalam. Ia tak berkata apa pun. Hanya menatap, namun entah melihat atau tidak. Mungkin tatapan itu bukan diarahkan pada lelaki itu. Mungkin

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD