2 || Mimpi? Semoga

2130 Words
"Ya elah, gitu doang nangis, Ca?" What? "Gitu doang kamu bilang, Ca?" Panggilannya sama, ya? Semoga tidak bingung, di mana Angkasa menatap Alisya dengan lugunya sambil mengangguk. Sure! Itu yang awal bilang 'gitu doang' adalah Angkasa, membuat Alisya tidak terima. Ini bukan sekadar 'gitu doang' asal you know! "Aca, ini soal hati. Nggak bisa kamu sembarang sebut 'gitu doang', apalagi hati aku sakit banget, tau!" Yang air matanya jadi henti mengalir, kala dia cerita kepada sang sobat dan responsnya malah begitu. Eh ... betul, kan, sahabat? Ica dan Aca. Di masa remaja mereka saat ini, waktu Alisya pulang kemarin diantar oleh Angkasa--ingat? Angkasa mengajaknya main ke rumah gerangan, tetapi si pencinta basket itu malah menyuruhnya main sama Mama Venus karena Aca lupa sebelumnya sudah ada janji nge-basket bareng teman yang lain, lalu Alisya berakhir di ruang baca dan rupanya pas sekali ada Bumi, kejadian saat itu Alisya ceritakan kepada Angkasa dalam perjalanan pulangnya. Oh, iya ... kata Angkasa, semua yang Alisya sampaikan terkait betapa sakitnya hati ini mendengar jawaban dari Bumi di ruang baca itu adalah 'gitu doang', padahal ... sakit banget, help! "Ya, makanya itu, Ica. Coba kamu anggap 'gitu doang' biar hatinya nggak sakit. Bumi aja nganggepnya hubungan kalian yang dulu itu nggak ada makna, kan?" "Aca--" "Hati kamu kerasa sakit itu karena kamu terlalu menspesialkan, Ca, di saat bagi Bumi hubungan kalian dulu itu, ya, sekadar 'cuma'. Nggak ada maknanya. Apalagi, toh, dulu masih anak-anak. Harusnya kamu juga bisa berpikir dan merasa begitu." Ya, tapi .... Alisya mendengkus. "Kamu paham nggak, sih, apa yang aku curhatin?" "Soal obrolan kamu sama Bumi di ruang baca, kan? Yang katanya tanggapan Bumi tentang masa lalu kalian itu bikin hati kamu sakit, nggak terima. Di saat semua yang dulu-dulu tentang kalian di mata kamu itu sangat berharga, eh, bagi Bumi sebaliknya." Betul! But-- "Ya elah, malah nangis lagi." Narasi sampai dipangkas oleh Angkasa yang melihat mata Alisya kembali berembun, lalu tercipta air terjun. "Sakit, Ca ...." Sambil menutup wajah. "Gimana bisa aku anggap 'gitu doang', di saat akunya suka sama dia? Suka banget, Aca ... sampai sekarang. Gimana, dong?" Iya, tahu. Angkasa tahu betul perasaan Alisya yang menyukai Bumi, meski tidak tahu kalau ternyata sesuka ini. Aca sodorkan tisu. Sengaja mampir ke indomerit dulu buat beli benda itu, lalu tak langsung pulang ke rumah Alisya, malah mogok di teras minimarket tersebut, duduk di bangku paling ujung, dengan tidak peduli pada tatapan orang-orang. Toh, tak satu pun dari orang-orang yang--mungkin--kepo pada mereka itu datang menginterupsi. Paling cuma sekilas pandang dan lirik-lirik saja. Ralat. Tujuan utama berhenti di indomerit adalah bukan untuk beli tisu, kemudian baru mogok di terasnya. Namun, melainkan untuk menghibur Alisya yang Angkasa rasa sedang tidak baik-baik saja. Turun dari motor tadi, maksud hati mau membelikannya es krim atau yang manis-manis lain, yang mungkin bisa membuat Alisya senang, tanpa tahu akan berakhir di teras minimarket dan duduk pada bangkunya, makan es krim, lalu mengalirlah cerita dari bibir Alisya, Angkasa khidmat menyimak sambil emut-emut es krim bagiannya. Nah, saat itu ... Alisya menangis. Angkasa mengambil jeda untuk beli tisu, begitulah asal usulnya. Yang mungkin ini tidaklah penting dijelaskan, tetapi Angkasa merasa perlu memberi tahu latar belakang mengapa dia dan Ica bisa mangkal di sana. Hingga di meja bulat yang menjadi sekat antara Ica dan Aca itu sudah penuh dengan tisu bekas air mata berikut ingus Alisya. Jujur, Angkasa bingung bagaimana harus menenangkan Alisya di saat tangisnya sepilu sekarang, itu wujud dari tangis patah hati. Pasti. Sekarang Angkasa malah jadi bertanya-tanya, apakah seharusnya tadi dia tidak perlu parkir dan beli es krim di sini? Mungkin tadi langsung pulang saja adalah pilihan tepat. But, nanti Ica nangis dan meratap sendirian, dong, di rumah? Sejatinya Angkasa telah melihat Bumi keluar dari ruang baca dengan raut muka tidak biasa, lalu Alisya ada di dalam sana, di situlah dia putuskan untuk mampir dulu di sini, maksudnya mau menghibur. Entah kenapa, Angkasa yakin suasana hati Alisya suram kala itu. Terbukti. "Jorok banget kamu, Ca. Tisunya masukin plastik, tuh. Terus buang." Yang cuma Ica balas dengan cibiran. Perihal curahan hati Alisya, Angkasa tak memberi tanggapan. Tentang betapa anak dari Om Leo ini sangat-sangat mencintai Bumi. Padahal ... apa bagusnya Bumi, sih? Mars lebih baik. Ini kalau kata Angkasa, ya. Minimal jika Alisya sama Mars, cewek itu nggak bakal sakit hati. Mengingat bagaimana perasaan Mars yang mencintai Alisya. Selain itu, Bumi terlalu "sulit". "Ica." "Apa? Mau bilang 'gitu doang, kok, nangis?' Mending nggak usah ngomong, deh, Ca. Tambah sakit hati aku kalau respons kamu semenyepelekan itu," dumal Alisya. "Yeah, salah aku, sih. Ngapain aku cerita ke kamu yang nggak punya perasaan begini? Harusnya aku cerita sama Mars, dia pasti ngerti." Sontak, Angkasa mengerling. Jelas, dong, Mars akan mengerti dan pengertian. Karena posisi Alisya dan Mars itu sama, di mata Angkasa. Sama-sama sedang mengalami yang namanya cinta bertepuk sebelah tangan. Cinta yang tak bisa dipaksakan. Ah, elah! "Emang paling bener itu nggak punya perasaan, Ca. Liat aku!" timpal Angkasa. "Jadi nggak bakal, tuh, ada acara patah hati, mewek, terus nggak terima atas respons dari--" "Aca!" Oke, fine. Angkasa diam. "Belum aja kamu ngerasain segimana sukanya kita sama lawan jenis. Lihat nanti, aku bakal jadi orang pertama yang ketawain kamu saat itu." "Iya, iya. Udah. Kok, malah ke situ-situ obrolannya? Poin dari berakhirnya kita mangkal di sini, kan, kamu. Gimana? Udah legaan? Plong?" Kan, sudah cerita. Kan, sudah dijajanin es krim berikut makanan manis pembangkit mood baik. Dihelanya napas panjang, Alisya lalu mengangguk. "Makasih." Hal yang membuat alis Angkasa naik sebelah sambil berucap, "Makasih doang?" Hei! Alisya langsung mangap hendak-- "Senyumnya mana?" Batal protes, batal nyemprot omelan, dan auto mingkem sambil mendengkus. "Apaan, sih," gerutu Ica, pelan. Yang Angkasa tertawakan, pelan juga. Di samping itu, tangannya terjulur, dia mengusap rambut Alisya--eh, tidak. Lebih tepatnya, mengacak-acak tatanan rambut yang semula rapi itu. "Aca!" Ya, kan? Angkasa bukan tempat curhat yang baik, tetapi dia sukses membuat perasaan sakit hati Alisya atas Bumi beralih pada rasa dongkol mahadahsyat kepada gerangan. Setidaknya, untuk hari itu ... Alisya lupa kalau tadi dia pernah menangis hingga menghabiskan banyak helai tisu, karena setelahnya dia terbahak di boncengan motor yang Angkasa kemudikan. Kembaran Bumi dan Mars itu melontarkan gurauan, perihal lirik lagu yang dia ganti dan nyanyikan sepanjang jalan ke rumah Ica. "Tak pernahkah kau sadari .... Akulah yang kau bebani~" Kira-kira begitu, lagu Judika, dan baru segitu saja Alisya sudah tertawa. Entah di mana letak lucunya, tetapi dia mengapresiasi usaha Angkasa dalam penghiburannya dengan tawa ini. "Udah, Ca. Udah. Fokus aja nyetir. Aku udah nggak nangis lagi, kok!" "APA, CA? PENGIN PIPIS?!" Dahlah. Hingga tibanya hari esok, yang semula Alisya ragu mau berangkat sekolah karena takut bin malu ketemu Bumi, tetapi tidak lagi. Ya, walau curhat kepada Angkasa tidak menemukam solusi, tetapi Ica rasa dia sudah lebih legowo. So, berangkatlah dia ke sekolah. Duduk manis di bangku yang mana di sebelahnya adalah Laras, pacar Bumi. Kebayang? Mars lalu datang, tahu-tahu membawakan bekal masakan Mama Venus, Alisya lantas berterima kasih. Setelahnya, saat Mars pergi, Laras nyeletuk, "Cocok, kok, Ca." Tahu? "Iya, cocok. Itu, lho ... kamu sama Mars." Laras bilang begitu. Well .... "Makasih." Alisya senyumi. Pun, Laras senyum juga. *** "Kenapa, sih, cewek hobi banget nyari penyakit?" Sambil duduk di depan manusia yang disebut cewek itu, Angkasa pun meletakkan mangkuk baksonya. Jajan di kantin, itu jam istirahat sekolah. Well, Alisya praktis mengalihkan pandangannya pada makhluk Tuhan yang paling tampan di Nusa Bangsa--berdasarkan cuitan para siswi lain tentang sosok Angkasa. "Maksudnya?" "Itu kamu lagi liatin Bumi pacaran, kan? Terus sakit hati lagi." Alisya berdecak. Memang betul di depan sana dengan radius sekian meter, terdapat Bumi duduk berdua dengan pacarnya. Maklum, murid yang punya pacar di sekolah, ya, kencannya itu pas jam istirahat begini. Minimal jajan bareng di kantin. Kayak Bumi dan Laras. "Nggak sengaja aja keliatan." "Alah," tukas Angkasa. "Serius." "Iya, si paling serius." Angkasa mengambil sendok dan garpu, lalu makan. By the way .... "Aku, tuh, janjian makan bareng di sini sama Mars, Ca. Heran, deh. Nggak percaya banget kalo aku nggak lagi nyari-nyari penyakit, kebetulan aja Bumi sama Laras lagi di kantin juga." "Oke. Terus di mana Marsnya?" "Nah, itu dia. Mana kembaran kamu? Kalian kembaran, kok, makannya misah-misah?" Gantian, Angkasa yang mencebik. "Biasanya emang bareng, tapi nggak selalu mesti bareng juga, kan? Kami punya agenda masing-masing, salah satunya Bumi. Dan Mars juga kayaknya cuma ngajakin kamu doang, Ca." Ya, ya, ya. Hari ini. "Mars belum keluar kelas kayaknya. Tadi lewat di lorong bahasa, muridnya masih rajin belajar," imbuh Angkasa, santai. Alisya ber-oh ria. Memang benar, Mars anak bahasa. Beda jurusan dengan Alisya yang MIPA, lalu Angkasa IPS. Dan Alisya masuk MIPA adalah karena ada Bumi di sana. Bodoh, ya? Sekarang dia jadi merasa salah ambil jurusan, bersaing di kelas MIPA lumayan sengit juga, banyak murid ambis dan prestasional. Meski demikian, itu kondisi MIPA di sekolah Nusa Bangsa. Entah kalau di sekolah lain bagaimana. "Ngomong-ngomong, mereka pacaran karena beneran saling suka, ya?" "Ya, kalo nggak saling suka, ngapain pacaran? Apalagi ini Bumi," timpal Angkasa. "Eh, sorry." Melihat raut kecut di wajah Alisya. "Jangan nangis di sini, Ca." Alisya mencebik. "Siapa juga yang mau nangis?" "Itu mukanya--" "Gak. Biasa aja." Lalu dia menyuap makanan pemberian Mars, bekal dari Mama Venus, tak lupa sambil seruput kuah bakso. Sengaja beli kuah bakso supaya bisa duduk dengan nyaman di kantin saat dia bawa makanan dari luar. "Kayak kenal sama menunya," celetuk Angkasa, menatap bekal Alisya. "Iya, dari Mars. Mama kamu yang masak." "Oh." Angkasa meneguk es teh, terus begitu. Percaya nggak percaya, sejak tadi mereka jadi pusat perhatian. Jangan lupa, Angkasa walau masih kelas 10 sudah menjadi siswa pentolan. "Eh, ternyata ada chat dari Mars." Angkasa mendengarkan. "Katanya dia nggak bisa dateng, ada jam kelas yang dituker sama jam istirahat." "Pantesan." Angkasa tadi juga jalan di lorong kelas Bahasa niatnya mau ngajak Mars ke kantin, selepas dia mengajak Bumi yang katanya untuk hari itu tidak bisa, sudah janji lebih dulu mau ke kantin bareng Laras. Begitu Angkasa tiba di kantin, dia yang mendapat lambaian tangan dari kawanan basketnya, urung pergi ke kerumunan itu sebab ada sosok Alisya yang tidak sengaja tertangkap ekor mata. Angkasa pun jalan ke sana, lalu duduk tepat di depan Alisya. Nggak tahu saja dia kalau geng basket sampai membicarakan tingkahnya, senyum-senyum, bahkan sampai ada yang taruhan. Next, Angkasa bakal jadian sama itu cewek. Begitulah cuitan mereka. Di samping itu, ada lagi satu .... Bumi. Tatapannya tidak lurus hanya kepada Laras, tetapi juga memandang ke arah lain. Tahu, ke arah mana dia memandang? Dengan raut datar dan tatapan tanpa emosinya, Bumi terdiam. "Makasih untuk satu tahun sekian bulannya, ya, Mbum. Seneng, deh. Kamu dan aku masih rutin makan bareng di tiap tanggal jadian, nggak peduli bulan apa ...." Laras tersenyum. Barulah saat itu tatapan Bumi kembali padanya, mengangguk di situ. "Eh, kamu jadi mau ikut olimpiade Fisika?" "Jadi," sahut Bumi. "Aku juga. Semangat, ya, untuk kita. Pejuang olimpiade!" Laras haha-hehe. "Pulang nanti cari buku, yuk?" "Oke." Sedangkan, Alisya dan Angkasa .... "Sumpah, ya, Aca. Aku nggak bohong. Mama kamu bilang gitu. Katanya, kalau nggak Bumi, Mars, ya ... kamu. Disuruh milih salah satu, beliau serius pengin jadiin aku anak mantu." "Terus, kamu jawab apa?" "Ya, aku pikirin dulu." Sambil mengedikkan bahu. "Kenapa mesti dipikirin dulu?" "Lha, ya, kalo nggak mikir dulu, bisa-bisa aku jawab mau dan langsung milih Bumi." "Maksud aku, kenapa nggak kamu tolak langsung?" kata Angkasa, lalu mesem jail. "Jangan-jangan kamu ...." Digantung. "Apa?" Alisya seketika mikir ke mana-mana. Nggak paham maksud Angkasa. Lagi pula ... apa, sih? "Eh, aku mikir nggak buat mempertimbangkan kamu, lho, Aca. Mars! Aku mempertimbangkan antara dia dan Bumi. Kamu--" "Ssst!" Dijulurkannya jari telunjuk Angkasa, tepat nempel di bibir Alisya. Di depan umum. Oh, wow .... Laras sampai mendengarnya. Bumi. Ada kata Bumi di sana. Dan ... mempertimbangkan. Maksudnya? Bumi dan Laras tidak lagi bertatapan, bahkan nyaris semua mata yang ada di kantin alih menatap Alisya, khususnya Bumi. Dalam diam dan hanya dia bersama Tuhan yang tahu, tentang apa arti dari tatapannya kali itu. Ngomong-ngomong, tidak terasa, ya? Saat itu mereka sudah mau beranjak naik ke kelas 11, lalu waktu berlalu dan membawa mereka pada usia 18 tahun, duduk di bangku SMA kelas 3, dan begitu hari kelulusan tiba ... adalah saat di mana Alisya mendengar .... "Saya terima nikah dan kawinnya Alisya ...." Kalian juga mungkin jadi ikut mendengar. "... binti Leo ...." Tentang tutur yang diucap hari itu. "... dengan maskawin sepuluh gram emas dibayar, tunai!" Pada sebuah akad pernikahan siri yang dilaksana, sebab terhalang usia, tetapi orang tua ingin bersegera, dengan dua mempelai yang sama-sama 'setuju tidak setuju dan berujung pasrah saja'. Katanya, bukan tanpa alasan kisah ini jadi demikian. Namun, bagaimana, ya? "Sah?" "Sah! Sah!" Yang telah terjadi. Alisya meraih tangan dari sosok yang sudah resmi menjadi suami. Hell. Suami. Dengan sorot mata Bumi yang sulit dimengerti, juga tatapan Mars yang patah hati. "Semoga ini cuma mimpi."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD