Bab 1

2387 Words
Bab 1 Tak usah menjadi orang lain saat kau ingin dihargai, mereka yang tak menghargai dirimu itu adalah orang yang tak memiliki harga diri. Seperti dirimu, jika kau tak menghargainya maka kau tak jauh berbeda dengannya. ~~~  Jingga Satu, Hidup baru! Suasana didalam rumah yang bernuansa putih itu terlihat sangat tenang dan hening, terlihat seorang gadis yang menggerai rambut hitam sepinggang nya tengah membaca sebuah buku dengan sampul berwarna coklat. Hari ke 245, Lo gak bosen tidur Mulu?, Gue mau cerita nih. Kalo Lo udah sadar, jangan lupa baca ya.. Hari ini, hari Jum'at. Lo pasti seneng banget kan hari Jum'at?. Hari ini juga hari Andi sama Reza gak berangkat sekolah. Kata Yudi, mereka sakit karena kelelahan. Ya, Andi sama Reza masih kekeh pengen nungguin elo tiap malem. Mungkin, Andi masih merasa bersalah. Juan juga tiap hari Videocall  katanya pengen liat perkembangan elo. Banyak yang nunggu Lo sadar, Lo gak kasian sama mereka yang nunggu? Lo tau kan? Nunggu itu gak enak, apalagi yang ditunggu malah enak-enakan tidur. Ayah, bang Andre sama bang Bagas udah berangkat kemarin malam. Mereka udah ngambil cuti banyak banget, Lo gak mau kasih kabar gembira buat mereka?. Bang Rasya udah diterima di Universitas Indonesia jurusan Kedokteran, dia pengen banget katanya jadi dokter biar bisa ngobatin elo. Tapi sayangnya, dia sibuk. Jadi gak sesering dulu nengokin elo. Sedangkan gue? Gue masih sama, nulis di buku ini. Berharap Lo bisa bangun dan baca tulisan gue. Sorry kalo kata-kata gue gak manis, Lo tau kan? Gue cowok kaku yang gak bisa ngomong manis. Udah ya, udah jam 01 malem. Selamat malam panda~. Jingga tersenyum tipis membaca tulisan Ari yang terlihat sangat rapih didalam buku yang ada dipangkuan nya. Sudah dua bulan Jingga keluar dari rumah sakit dan melewati masa rehabilitasi yang menurut Jingga sangatlah berat. Ia harus belajar jalan setidaknya selama satu bulan setengah agar bisa berjalan lancar lagi. Ia juga harus berfikir keras agar ingatannya kembali seperti dulu. Meski kakinya itu telah pandai berjalan, namun ingatan Jingga masih belum sepenuhnya ingat. Ia masih bertanya-tanya siapa sebenarnya Juan, meski ia sudah melihat foto cowok itu, namun tetap saja. Ia hanya melihat potongan ingatan yang menurut Jingga sangat membuat nya sakit kepala. Gadis itu menutup buku itu, setelah mendengar derap langkah dari seseorang yang datang dari balik pintu rumahnya "Ikut gue yuk" ucap Ari, cowok yang memakai kaus oblong berwarna hitam dengan celana jeans panjang itu langsung duduk di samping Jingga lalu mengambil makanan ringan yang ada di atas meja. Jingga menengok kearah Ari "Udah malem, mau kemana?" Tanya Jingga. "Gila Lo, jam setengah 8 udah malem? Kalo jam 1 Udah subuh dong" kekeh Ari. Jingga berdecak "Nyebelin!" Ketus Jingga. Ari, cowok itu mengacak pucuk rambut Jingga "Sorry, sorry. Jadi ikut gak?" "Jingga kan tadi nanya mau kemana?" "Cafe, gue mau manggung" "Gak ah, bosen. Lagian bang Rasya juga belum pulang. Nanti kalo Jingga pergi terus bang Rasya pulang gak ada Jingga di rumah, Jingga dimarahin" ucap Jingga jujur. "Bang Rasya ada kelas malem, palingan pulang jam 11-san, gue bakalan pulangin elo sebelum jam 10. Mau gak?" "Es krim sepuasnya?" Ucap Jingga sebari mengulurkan tangannya. Ari menerima tangan Jingga "Deal" ucapnya. "Ayok, nanti keburu malem" sahut Jingga semangat sebari bangkit dari duduknya. "Gue ambil Gitar dulu, Lo masuk mobil aja. Gue nyusul" ucap Ari lalu berjalan keluar dari rumah bernuansa putih itu. *** "Ari, besok Jingga udah bisa masuk sekolah. Pasti gak seseru dan se asik dulu" ucap Jingga tersenyum dengan mata yang ia hadapkan ke jendela luar mobil. "Lah, pasti seru dong. Lo bisa kenalan sama temen-temen baru nanti. Lo juga bisa dapet ijazah kalo udah lulus" ucap Ari, dengan mata tetap fokus memandangi jalan di depan sana yang tak terlalu ramai, mungkin karena malam Senin. "Semoga aja ada yang mau temanan sama Jingga, kenapa sih bang Rasya pindahin Jingga ke sekolah lain. Padahal kan Jingga udah kenal banyak temen di sekolah yang dulu" kesal Jingga. "Bang Rasya ngelakuin itu juga buat kebaikan elo, Lo harus bersyukur karena bang Rasya sayang banget sama elo" kata Ari "Dan gue" lanjut nya lirih. Jingga menengokan kepalanya "Ari kenapa?" Sungguh, Ari sedikit terkejut karena Jingga bisa mendengar ucapannya tadi. Cowok itu mengigit bibirnya lalu meringis "Udah sampe" ucapnya mengalihkan pembicaraan. Jingga mengedarkan pandangannya "Kok rame banget sih?" "Soalnya malem ini gue yang tampil" ucap Ari dengan PD nya. Jingga memutar bola matanya malas, lalu membuka pintu mobil untuk turun terlebih dahulu dibandingkan Ari yang tengah mengambil gitar akustiknya yang ia letakkan di tempat duduk belakang. Bibir gadis itu tersenyum kecil tak sadar jika sedari ia turun sudah ada yang tertarik untuk memandanginya tanpa mau melepaskan pandangannya dari Jingga. "Ari mau tampil sama siapa aja?" Tanya Jingga setelah Ari berjalan beriringan dengannya. "Sendirian" "Gak malu?" "Kenapa? Lo mau duet sama gue? Ayok" Jingga berdecak "Ari mau malu-maluin Jingga? Suara Jingga kan gak bagus, Jingga mau liatin Ari sambil makan es-krim aja" ucap Jingga. "Oke, gue cariin meja dulu" Ari langsung berjalan memasuki cafe dengan Jingga yang masih diluar untuk menunggu. Dibandingkan masuk dan berdiri tak tau malu didalam, mending di luar. Lagi-lagi Jingga tak sadar jika sedari tadi, cowok yang memakai celemek dan sarung tangan plastik itu masih memperhatikan nya terang-terangan dengan senyum tipis di bibirnya. "Bener kata orang, Lo manis" ucap nya lirih lalu berjalan memasuki pintu belakang cefe. "Yok masuk, udah dapet meja paling deket sama panggung" ucap Ari menggenggam tangan Jingga untuk memasuki cafe. Banyak pengunjung malam ini membuat Jingga tak terlalu nyaman, karena memang gadis itu tak terlalu suka dengan keramaian. Terlebih lagi banyaknya kaum hawa yang menjerit ketika Ari berjalan melewati mereka sebari menggendeng tangan Jingga erat. "Duduk di sini, kalo mau pesan tinggal angkat tangan kanan. Nanti juga ada pelayan, pesen apa aja gue yang bayar" ucap Ari sebari mempersilahkan Jingga duduk. Gadis itu menurut dan mengangguk paham. Ari berjalan menuju arah panggung, Jingga langsung mengangkat tangannya. Benar kata Ari, seorang pelayan dengan baju hitam putih langsung datang menghampiri Jingga "Mau pesan apa?" Ucapnya ramah. Jingga tersenyum puas "Semua jenis es-krim kecuali rasa alpukat" ucap Jingga. Pelayan itu mangagguk paham lalu pergi, Jingga memandang Ari yang tengah bersiap-siap hendak bernyanyi. "Selamat malam semuanya, apa kabar?" Ucap Ari menyapa pangunjung Cafe. Banyak yang bersorak riang ketika mendengar suara Ari, Jingga baru tau Jika Ari begitu populer baru-baru ini. Gadis itu juga baru sadar bahwa pengunjung cafe didominasi oleh remaja perempuan, mungkin mereka sengaja berkunjung ke cafe untuk melihat penampilan Ari. "Malam ini saya bakalan menyanyikan satu lagu klasik, khusus buat seseorang, judulnya pedih dari Last Child. Lalu lagu setelahnya sesuai permintaan kalian" ucap Ari. Jingga mendengar ucapan Ari, lalu mengedarkan pandangannya mencari siapa seseorang yang dimaksud Ari. Tak mau ambil pusing, gadis itu mengangkat bahunya lalu kembali memandang Ari yang mulai memetik gitar. Pedih-Last Child Engkau yang sedang patah hati, Baru satu bait Ari menyanyikan lagu itu, suara riuh dan tepukan tangan menggema di seluruh ruangan yang memang cukup luas itu. Jingga juga tersenyum, ternyata suara Ari cukup merdu untuk di dengar. Beberapa detik setelahnya, pesanan Jingga tiba. Gadis itu tersenyum gembira lalu mengucapkan terima kasih kepada pelayan yang sudah mengantarkan pesanannya. Gadis itu mengangkat satu es-krim rasa coklat yang diberi wadah mangkuk kecil yang menurut Jingga sangatlah imut. Apalagi bentuk es-krim nya terlihat seperti wajah beruang yang sangat lucu. Gadis itu mulai memakan es-krim nya sebari melihat penampilan Ari yang sepertinya memperhatikan seseorang. Tapi Jingga tak peduli. Menangis lah dan jangan ragu ungkapkan, Betapa pedih hati yang tersakiti, Racun yang membunuhmu secara perlahan, Jingga masih melahap es-krim nya sebari mendengar alunan lagu yang dinyanyikan Ari. Jingga suka suara Ari, karna membuat nya sedikit tenang. Engkau yang saat ini pilu, Betapa menanggung beban kepedihan, Tumpahkan sakit itu jalan tangismu, Yang menusuk relung hati yang paling dalam, Hanya diri sendiri, Yang tak mungkin orang lain akan mengerti, Engkau yang hatinya terluka, Peluk nafas tersapu derita, Sendiri saat keringnya air mata, Tak mampu menahan pedih yang tak ada habisnya, Hanya diri sendiri, Yang tak mungkin orang lain akan mengerti, Disini ku temani kau dalam tangismu, Bila air mata dapat cairkan hati, Kan ku cabut duri pedih dalam hatimu, Agar ku lihat senyumu di  tidurmu amalan ini, Anggaplah semua ini, Satu langkah dewasakan diri, "Jingga? Ngapain Lo disini?" Hampir saja Jingga melempar es-krim nya karena terkejut akan pertanyaan tiba-tiba oleh seorang cowok yang tanpa permisi duduk di bangku samping Jingga. Gadis itu menengok "Andi! Ngagetin tau gak!" Ketus Jingga. Andi, cowok itu meringis lalu menggaruk tengkuknya "Maaf, gak sengaja. Abisnya gue juga kaget, Lo kok bisa sampe kesini?" "Tuh, ikut Ari" ucap Jingga sebari matanya mengarahkan kearah cowok yang tengah bernyanyi diatas panggung didepannya. "Oh kirain kesini sendirian, BTW boleh dong gue minta es-krim nya" ucap Andi tanpa malu. Jingga memanyunkan bibirnya "Gak modal banget, ke cafe tapi cuma minta" "Pelit amat Lo!" "Jingga gak pelit ya! Kalo mau tinggal ambil. Tapi jangan yang rasa coklat" ucap Jingga, Andi mengangguk lalu mengambil satu mangkuk es-krim rasa strawberry, melahapnya sebari mendengar alunan lagu dan petikan gitar dariAri yang sebentar lagi akan menyelesaikan satu lagunya. "Suara Ari bagus ya?" Ucap seorang cowok yang Jingga kenal. Cowok itu duduk di sisi kanan Jingga setelah mengambil bangku yang tak jauh darinya. Dia Reza. Tadinya Jingga heran, kenapa Andi sendirian, tapi ternyata Reza juga ikut. "Iya, gak kaya Reza sama Andi" Sontak, mereka berdua menengokan kepalanya kearah Jingga dengan tatapan tajam. "Kenapa? Tersinggung? Jingga bener kan?" Kata Jingga tanpa merasa bersalah "Oh iya, Jingga mau nanya boleh?" "Boleh" ucap Andi dan Reza kompak. "Hem,, sejak kapan Ari nyanyi?" "Sejak Lo koma" ucap Reza jujur. "Udah lama dong?" "Iya lah, Lo juga tidurnya lama" ucap Andi. Jingga nyengir "Hehe,, abisnya Jingga capek banget. Jadi tidurnya lama deh. Oh iya, kenapa Ari nyanyi?" "Biar Lo gak sepi katanya" sahut Andi terang-terangan. "Kok Jingga?" "Iya lah, Lo kan koma. Biar gak sepi aja gitu di kamar rumah sakit yang kedap suara" ucap Reza menjelaskan. Jingga mengangguk "Oh iya, kalian udah kuliah kan? Jurusan apa?" "Gue Sastra, biar jadi Sastrawan" ucap Andi menarik turunkan alisnya. "Kalo Reza?" "Gue di Politeknik jurusan Teknik , biar bisa buat pesawat" ucap Reza. "Oh, kirain jurusan kedokteran kaya Bang Rasya" ucap Jingga. "Ju-" "Eh, Ari kemana?" Ucap Reza memotong ucapan Andi yang belum terselesaikan. Benar, Ari sudah tak berada di atas panggung. Jingga juga sedikit terkejut akan hal itu, apakah ia terlalu asik berbincang hingga tak memperhatikan Ari yang bahkan sudah tak bernyanyi lagi. "Gue disini" Andi, Reza dan juga Jingga kaget, Ari berada di belakang Jingga dengan gitar yang digendongnya. "Balik, bang Rasya udah dijalan" ucap Ari. "Tapikan Es-krim nya belum habis, sayang" ucap Jingga memajukan bibirnya. "Biar gue sama Reza aja yang habisin, Lo balik aja. Daripada nanti Bang Rasya marah" ucap Andi. Jingga berdecak "Itu sih Andi yang pengen!" Kesal Jingga. "Yuk" ucap Ari lembut. Jingga mangagguk lalu berdiri disamping Ari. Jingga terlihat pendek, karena hanya sebatas pundak cowok disampingnya itu. "Ari yang bayar kan?" Tanya Jingga mendongakkan wajahnya. "Iya, ayo" Jingga menurut saja, tangannya digenggam oleh Ari menuju pintu keluar cafe. Lalu berhenti dimeja kasir "Berapa totalnya?" Tanya Ari sebari mengeluarkan dompetnya. "Meja nomor berapa?" "3" "Totalnya Rp.147.000,00 mas"  ucap sang kasir. Ari memberikan dua lembar uang senilai seratus ribu dan lima puluh ribu dari dompetnya "Kembaliannya ambil aja" ucap Ari lalu berjalan kembali sebari menggendeng tangan Jingga menuju dimana mobilnya terparkir. Tadi, didalam cafe saat hendak keluar, banyak yang mengajak Ari berfoto. Tapi cowok itu hanya berfoto dengan beberapa kaum hawa saja. Lalu mengatakan bahwa ia tengah terburu-buru harus pulang kerumah. Untung saja, para penggemar dirinya paham akan hal itu dan membiarkan Ari dan Jingga pergi. ****** "Kok udah ditutup? Jingga kepagian atau terlambat?" Tanya seorang gadis pada dirinya sendiri, sebari memegangi sepedanya menggunakan kedua tangan mungil dengan satu cincin cantik melingkar di jari nya. "Udah jam tujuh lewat dua menit, artinya Lo udah terlambat" Hampir saja Jingga, gadis itu hendak melepaskan genggamannya pada stang sepedanya saat seorang cowok yang tiba-tiba menyahutinya tepat ditelinga gadis mungil itu. "Kamu muncul dari mana? Untung aja Jingga gak punya penyakit jantung" ucap Jingga sebari mengelus dadanya menggunakan satu tangan. Cowok itu mengulurkan tangannya, membuat Jingga mengedipkan beberapa kali matanya lantaran bingung "Alvaro" ucapnya. Jingga tersenyum menampakkan kedua lesungnya "Jingga" ucap Jingga sebari menerima uluran tangan itu. Tak lama, Jingga melepaskan genggamannya "Ya udah, Jingga masuk dulu ya" ucap Jingga lalu langsung berjalan santai sebari menuntun sepedanya. Langkah mungil Jingga terhenti, cowok itu menahan boncengan sepeda Jingga hingga gadis itu berhenti "Kenapa?" Tanya Jingga. "Lo beneran berani lewat gerbang itu?" Ucap Alvaro. Ya, tak jauh dari dimana Jingga berdiri memang ada sebuah gerbang besi setinggi tiga meter. Alis Jingga mengkerut "Terus mau kemana lagi? Lagian kalo telat ya udah telat, terima konsekuensinya aja. Jingga gak mau nantinya malah tambah repot. Lagian kalo dihukum ya tinggal jalanin" ucap Jingga. Tangan Alvaro terlepas begitu saja "Lo yakin? Upacara belum selesai, Lo pasti di pajang" Gadis itu tersenyum "Enggak, lagian kalo Jingga masuk lewat belakang malah nanti kalo ketahuan bakalan tambah rumit masalahnya. Jingga gak mau" "Ya udah sih kalo gak mau, gue cabut" ucap Alvaro lalu langsung berlari kecil menuju gerbang belakang. Sedangkan Jingga menuntun sepedanya mendekat kearah gerbang utama. Gadis itu menggaruk pucuk kepalanya yang tak gatal "Stttt,, pak satpam" ucap Jingga sedikit berbisik. Seorang satpam yang tengah menyeruput kopinya langsung menengok kearah Jingga dengan tatapan membunuh. Lalu menaruh kembali cangkirnya dan berdiri. Setelahnya, satpam dengan name-tag Kasmuri itu berjalan mendekat kearah Jingga berada. "Maaf pak Jingga terlambat. Abisnya tad-" "Kamu kira ini sekolah bapak kamu? Hah!" Ucapnya dengan nada tegas. Jingga memanyunkan bibirnya sebal "Ih, main dipotong aja! Jingga kan belum selesai ngomong" "Alah, palingan kamu mau cari-cari alasan kan?" "Mana ada? Jangan su'uzon pak. Orang Jingga udah punya alasan" "Cerewet kamu! Cepat masuk!" Ucap satpam itu. Jingga tersenyum manis menampilkan lesungnya "Ngapain senyum-senyum?" Jingga berjalan setelah gerbang terbuka, gadis itu tetap saja tersenyum sendiri menuntun sepedanya "Bapak baik, gak kaya covernya" "Kata siapa saya baik? Kamu kira cuma karena saya bukain gerbang dan mempersilahkan kamu masuk, saya baik gitu?" Jingga mengangguk "He.em, biasanya kan satpam sekolah jarang yang ngasih murid telat kayak Jingga masuk dengan gampang" "E e e e, kata siapa gampang? Saya bakalan antar kamu ke BK, jangan menilai orang dari satu tidakan!" Ucapnya, Jingga menghentakkan kakinya sebal "Saya kira bapak ben-" "Ayo ikut saya! Cepat!" ~~~ Gimana part pertama nya? Kurang greget ato gimana? Vote dan comment yaa... See you next part Salman Sellaselly12
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD