Satu

1932 Words
Senin (15.52), 22 Maret 2021 ----------------- Sudah empat hari ini Ellen selalu sarapan di Warm House. Salah satu restoran yang menyajikan menu sarapan lezat yang memanjakan lidah. Nama restoran ini sama sekali tidak sesuai kenyataan. Faktanya Warm House selalu sejuk, bahkan di pagi hari yang dingin seperti sekarang. Tapi Ellen sama sekali tidak mengeluh karena restoran ini memiliki pemandangan indah di pagi hari. Dan pemandangan indah itu baru saja melewati ambang pintu di jam yang sama seperti biasanya lalu menunggu antrian untuk memesan makanan. Ellen menegakkan tubuh sambil pura-pura serius membaca buku yang dibawanya. Tapi sesekali matanya beralih, melirik kaki yang tertutup sepatu boot, lalu naik menelusuri paha kekar berbalut celana jins belel. Tanpa sadar Ellen menggigit bibir saat matanya beralih ke b****g kencang, pinggang ramping, terus ke lengannya yang terbuka karena hanya mengenakan kaus tanpa lengan seperti biasanya. Bahkan kepala yang hanya ditumbuhi rambut pendek—sangat pendek hingga nyaris botak—terlihat sangat memikat di mata Ellen. Ellen berdehem seraya menggeleng pelan untuk menjernihkan otaknya yang seketika berubah jadi kotor lalu kembali beralih pada buku di hadapannya yang sedikit pun tak ia mengerti isinya. Entah mengapa otak Ellen selalu menghadirkan bayangan liar tiap kali melihat sosok lelaki itu. Bahkan pada saat pertama kali melihatnya seminggu yang lalu di lampu merah. Sejak itu, niat Ellen untuk menghibur diri dengan menelusuri kota kecil ini berubah. Tiap saat dihabiskannya dengan mencari tahu tentang lelaki bermata biru itu. Dari hal yang umum diketahui semua orang hingga hal kecil seperti kebiasaannya sarapan di Warm House tiap jam delapan pagi. Dennis Anthony. Nama yang umum digunakan. Tapi tidak pernah menarik perhatian Ellen lebih dari sekarang. Semua tentang Dennis sangat menarik hati Ellen. Terutama mata birunya yang indah sekaligus dingin membekukan. Mengusik rasa ingin tahu Ellen untuk menjelajah kedalamannya. Ellen tak lagi memperhatikan Dennis. Namun seolah dirinya memiliki mata di seluruh kepala yang hanya tertuju pada Dennis, Ellen tahu bahwa lelaki itu kini telah memesan lalu membawa nampan makanannya ke meja di salah satu sudut. Masih di tempat biasa, berseberangan dengan tempat Ellen berada. Namun posisi mereka berhadapan, membuat Ellen semakin tak berani mendongak dan membuat dirinya dipergoki Dennis dengan tatapan memuja. Cukup lama memaksa matanya terus mengarah pada buku dan sesekali berpura-pura mengecek ponsel, akhirnya Dennis selesai makan lalu keluar Warm House. Saat itulah Ellen bisa bernafas lega lalu mendongak untuk mengagumi bagian belakang tubuh nan gagah itu. Hhhh… Ellen menghela nafas panjang setengah frustasi. Sampai kapan dirinya akan terus seperti ini? Apa sepanjang liburannya? Dia merasa kembali menjadi remaja yang suka mengamati diam-diam anak lelaki populer di sekolah. Walaupun bisa dibilang Ellen juga populer semasa sekolah karena orang tuanya adalah orang paling kaya di kota kecil ini, tapi Ellen bukanlah anak gadis yang suka menonjolkan diri. Bahkan sampai sekarang. Dia lebih suka mengamati dari jauh. Itu sebabnya Ellen tidak pernah memiliki kekasih. Sepeninggal Dennis, Ellen merapikan barang-barangnya lalu memasukkannya ke dalam tas. Dia keluar dari Warm House disambut langit mendung yang tampak akan segera menumpahkan rimtik hujannya. Memang hujan lebih sering turun di sini daripada cahaya matahari yang bersinar. Tapi rasa dinginnya menenangkan dan mengembalikan memori masa kecil saat mandi hujan adalah salah satu kegemaran Ellen. Kegiatan yang akan membuat sang Ayah tertawa geli sementara sang Ibu mengomel panjang memberikan ceramah tentang kuman, cacing, dan segala macam penyakit yang bisa timbul akibat terguyur hujan. Ellen bukan anak tunggal. Dia memiliki adik lelaki yang kini sudah kuliah semester dua. Tapi lucunya, Ellen yang paling manja. Bahkan dia tidak merasa malu merengek pada sang adik agar keinginannya terpenuhi. Jadi wajar kalau keinginannya memilih perguruan tinggi yang jauh dari keluarga membuat semua orang cemas. Mereka ragu apa Ellen si anak manja bisa mengurus diri sendiri di tempat jauh dan bukannya langsung menangis pulang di hari pertama. Tapi ternyata Ellen sanggup dan kini pulang dengan hati puas karena tinggal beberapa langkah lagi untuk mewujudkan mimpinya menjadi koki ternama. Ya, itu impian Ellen. Menjadi koki handal. Dia juga ingin memiliki kelas memasak sendiri. Hatinya selalu mengembang bangga dan penuh semangat tiap kali membayangkan akan memiliki banyak murid di kelasnya dan semua orang selalu menunggu resep baru darinya. Masa depan Ellen tampak amat cerah karena bakat memasaknya memang sudah terlihat sejak masih kuliah. Perguruan tinggi yang dipilihnya juga terkenal karena telah melahirkan banyak koki-koki berbakat. Lulus kuliah, Ellen langsung diterima menjadi koki di salah satu restoran ternama. Setelah dua tahun berlalu, Ellen mendapat kesempatan untuk tampil di salah satu acara memasak di stasiun tv internasional. Ini kesempatan langka dan tidak akan Ellen lewatkan. Meski itu berarti dirinya akan sangat sibuk untuk beberapa bulan ke depan karena acara ini selalu melibatkan menu makanan di berbagai tempat, bahkan keluar negeri. Itu sebabnya Ellen mendapat satu bulan penuh untuk bersantai sejenak. Ya, tentu saja. Satu bulan penuh untuk bersantai. Bukannya dipenuhi sosok lelaki teramat jantan yang membuat jantung Ellen menggila hanya karena memandang dari kejauhan. *** KRAKK! Suara kayu terbelah mengiringi ayunan kapak yang dilakukan Dennis. Seumur hidup dirinya tidak pernah bekerja kasar seperti ini. Itu sebabnya Dennis butuh waktu lama hingga terbiasa membelah kayu untuk dijadikan kayu bakar lalu dijual ke pasar. Kota kecil tempat Dennis tinggal dekat daerah pegunungan. Wajar saja jika hujan lebih sering turun dan udaranya amat sejuk. Bahkan sering kali sangat dingin meski tidak sedingin musim salju. Kayu bakar menjadi salah satu kebutuhan terutama saat aliran listrik mati dan penghangat ruangan tidak berfungsi. Hal itu semakin sering terjadi karena sekarang cuaca ekstrem tengah melanda daerah ini. Setahu Dennis, penjual kayu bakar di kota ini hanya empat orang termasuk dirinya. Tiga lainnya tidak bekerja sendirian karena menjelajah gunung mencari kayu untuk ditebang saat cuaca tak menentu sangat berbahaya. Namun Dennis sama sekali tak memedulikan tingkat bahaya saat tak ada lagi yang ingin dia gapai dalam hidup. Bisa dibilang, kini Dennis hanya menikmati waktu sendiri. Mungkin sampai ajal datang menjemput. Tidak ada gairah hidup. Kalimat itu sangat tepat untuk menggambarkan kondisi Dennis. Dia menjalani hari demi hari hanya agar bisa makan dan minum serta mengisi waktu. Dia bahkan sama sekali tidak berniat bersosialisasi. Dennis memilih tinggal di kaki bukit berada tepat di sisi pegunungan yang tidak ditinggali penduduk lain. Jaraknya dari jantung kota sekitar sepuluh kilometer. Tapi setiap pagi dia selalu mengendarai mobil pick up rongsokan pemberian Henry untuk menjual kayu bakar lalu mencari sarapan dan mengisi persediaan makan siang dan makan malam. Sekembalinya dari pusat kota, waktu dihabiskan Dennis untuk menyusuri pegunungan dan memilih kayu yang siap ditebang. Atau sekedar memunguti ranting yang sudah mengering. Ah, sebenarnya kata menebang kurang tepat untuk menggambarkan yang dilakukan Dennis. Dia hanya memotong dahan pohon lalu membawanya ke rumah untuk ia kapak menjadi belahan kayu yang lebih kecil agar mudah dikeringkan. Dennis melakukan semua itu hanya mengandalkan insting. Memastikan kegiatannya tidak merusak hutan dan mengira-ngira kayu seperti apa yang bisa dijual. Sebenarnya sama sekali tidak sulit. Yang membuat pekerjaan ini sulit karena orang yang menjalaninya memikirkan upah kecil yang tidak sepadan dengan kerja kerasnya. Mungkin karena ada keluarga yang harus dinafkahi dan faktor lainnya. Sementara Dennis hanya hidup untuk dirinya sendiri. KRAAK! Suara patahan kembali terdengar. Selesai membelah kayu terakhir yang dikumpulkannya hari ini, Dennis mengeluarkan sapu tangan di saku belakang celana jins belelnya lalu menyeka keringat. “Dua hari ini lumayan terang. Pantas kau berhasil mengumpulkan banyak kayu bakar.” Suara yang amat familiar itu membuat Dennis menoleh. Dia tersenyum kecil sambil meneguk air langsung dari botolnya. “Tapi kayu-kayu ini jadi tidak berguna di cuaca cerah seperti sekarang.” Lelaki yang baru datang mengusap rambut berubannya seraya terkekeh. Lalu tanpa permisi dia masuk ke teras rumah Dennis dan duduk di salah satu dari dua kursi kayu yang mengapit meja kecil di tengahnya. Lelaki itulah yang bernama Henry. Dulunya dia salah satu polisi di penjara tempat Dennis terkurung selama tiga tahun. Mungkin karena sikap Henry yang sabar dan seperti seorang ayah, membuat Dennis akhirnya luluh dan membiarkan lelaki itu menjadi temannya. Keluarnya Dennis dari penjara bersamaan dengan masa pensiun Henry sebagai polisi. Kota kecil ini adalah kampung halaman istri Henry. Dia memilih pulang ke sini atas permintaan sang istri. Apalagi dua anak mereka sama-sama sudah berkeluarga hingga tak membuat Henry cemas jauh dari mereka. Saat Henry menceritakan pada Dennis ke mana dirinya akan menghabiskan waktu setelah pensiun, tak disangka Dennis meminta agar diizinkan ikut serta. Dia bahkan tak membuang waktu untuk pulang ke rumah. Untuk bagian itu, sebenarnya Henry kurang setuju atas keputusan Dennis yang menolak menemui keluarganya. Tapi dia tidak mengatakan apapun. Dennis bukan anak kecil yang perlu diatur-atur. Lagipula siapa yang tahu apa yang baik untuk dirinya selain orang itu sendiri? “Aku tidak mendengar suara mobilmu,” gumam Dennis seraya duduk di kursi yang lain. Botol minumannya ia letakkan di meja antara mereka. “Kau mau minum? Aku masih punya whisky.” Henry berdecak. “Ternyata kau masih punya banyak uang untuk membeli minuman keras.” “Tidak banyak yang kubeli. Tapi aku mendapat uang tiap hari. Jadi uangku menumpuk. Yah, setidaknya sampai mereka kelebihan kayu bakar dan tidak sanggup membeli lagi.” Henry hanya menggeleng pelan sambil tersenyum geli. “Apa kegiatanmu hari ini?” “Tidak ada yang berubah,” sahut Dennis tak acuh seraya menyandarkan punggung di kursi kayunya. “Cobalah berkencan.” “Tiap akhir pekan aku masih rutin mendatangi rumah bordil.” “Ckckck, kau ini. Maksudku benar-benar berkencan. Bukan hanya sekedar mendatangi seorang perempuan, buka celana, lalu pergi.” “Hei, aku tidak melakukan itu. Mana mungkin setelah buka celana aku langsung pergi?” Lalu Dennis menyeringai geli melihat raut kesal Henry. “Baiklah… baiklah… aku mengerti maksudmu.” “Kalau begitu lakukan!” “Tidak berminat.” Dennis mengibaskan tangan. “Percuma kau terus berceramah tentang hal itu. Apa tidak ada pembicaraan yang lebih menarik? Misalnya di mana aku bisa berjudi untuk melipatgandakan uangku dengan cepat?” “Atau menghabiskan uangmu dengan cepat,” gerutu Henry. “Aku sudah cukup kesal karena terpaksa membiarkan rumah b****l itu terus berdiri kokoh. Jangan menambah masalah dengan ide tentang tempat berjudi.” Mata Dennis berkilat geli. Henry termasuk polisi baik yang tidak bisa menoleransi pelanggaran hukum. Rumah b****l termasuk yang tidak bisa ia toleransi namun kali ini Henry terpaksa hanya diam. Dia sama sekali tidak memiliki wewenang untuk menghancurkan tempat itu dan tampaknya kepala polisi di sini sudah disogok pemilik rumah b****l. “Pikirkan segi positifnya. Orang-orang sepertiku jadi punya tempat pembuangan dengan adanya rumah b****l itu.” Plak! “Hei!” Dennis mengaduh sambil menggosok belakang kepalanya yang baru saja dipukul Henry. “Kau pikir wanita-wanita itu tempat sampah?” Dennis hanya angkat bahu tanpa menanggapi. “Apa tidak ada gadis sini yang menarik perhatianmu?” tanya Henry kemudian. “Sama sekali tidak. Kalaupun ada, gadis itu pasti langsung kabur begitu aku menyapa.” “Bagaimana kau tahu jika belum mencoba?” “Aku tidak tertarik mencoba.” Henry mengerutkan kening, memikirkan wanita di kota itu yang mungkin bisa menarik perhatian Dennis. “Bagaimana kalau Ellen? Kata istriku dia sudah dikenal sebagai gadis tercantik di kota ini sejak kecil.” Dennis tersenyum sinis. “Lucu sekali ada gadis tercantik yang belum punya pasangan dan mau denganku.” “Dia baru pulang setelah enam tahun menempuh pendidikan dan bekerja. Dia akan di sini selama beberapa minggu lagi. Mungkin kau bisa memikatnya.” “Wow, sepertinya kau tahu banyak tentang wanita ini. Apa mungkin kau yang tertarik padanya?” “Makanya jangan terus-menerus di dalam rumah. Pergi keluar dan bergosip. Para lelaki lajang di sini sedang berlomba-lomba menarik perhatian Ellen. Sudah cantik, anak orang kaya, dan koki berbakat. Lelaki mana yang tidak mau padanya?” “Aku tidak.” Akhirnya Henry hanya bisa mendesah pasrah mendengar jawaban tegas Dennis. ---------------------- ♥ Aya Emily ♥
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD