Bab 2

974 Words
Kinan merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Tubuhnya sangat lelah karena ber-aktivitas satu hari penuh di luar. Apalagi dengan atasan super menjengkelkan seperti Arveno Adijaya. Suara dering ponsel menyadarkan Kinan yang hampir saja memejamkan matanya. Gadis cantik itu meraba tas tangannya, mengeluarkan ponsel dari dalam tas dan tanpa melihat ID caller, Kinan segera menggeser tombol hijau dan mengangkat panggilan tersebut. "Kinan, ayah minta tolong ya kirim uang ke ayah. Si Vina mau merayakan ulang tahunnya yang ke 25. Ayah harap kamu bisa kirim sesegera mungkin. Soalnya ulang tahun Vina dirayakan minggu ini." Tut. Tanpa berkata apa-apa, Kinan langsung mematikan sambungan telepon. Lalu, membuka aplikasi M-banking untuk mengirim uang sebanyak 5 juta ke rekening ayahnya. Usai melakukan hal yang diinginkan sang ayah, Kinan melempar ponselnya ke sisi tempat tidur. Matanya menerawang menatap langit kamar hingga tanpa sadar tetes demi tetes air mata jatuh mengalir di pipinya. "Dasar benalu," cibirnya seraya terkekeh miris. Tak ingin berlarut dalam kesedihan, Kinan bangkit dari posisi rebahannya. Tangannya bergerak mengambil handuk yang tergantung di samping lemari dan bergegas masuk ke dalam kamar mandi yang masih menyatu dengan kamar miliknya. Satu jam kemudian, Kinan keluar dari rumah yang cicilannya lunas tiga bulan lagi. Rumah yang ia beli murni hasil keringat dan kerja kerasnya selama hampir lima tahun lebih. Turun ke lantai dasar, Kinan menuju carpot tempat ia memarkir mobil miliknya yang sudah lunas cicilan dua tahun yang lalu. Meski gaya hidupnya sedikit hedon, tapi Kinan tahu batasannya. Ia membeli rumah karena tahu tidak ada rumah yang nyaman tempatnya pulang selain rumahnya sendiri. Dirinya juga butuh kendaraan untuk pergi kesana-kemari dan menunjang kinerjanya. Tidak mungkin 'kan jabatannya sebagai sekretaris direktur utama yang kerjaanya tak sesuai deadline mengingat atasannya adalah Arveno, masih mengendarai motor ketika ingin bepergian. Apa kata para klien dan pegawai perusahaan jika tahu Kinan masih menggunakan motor sebagai kendaraannya. Gajinya dalam satu bulan cukup besar terlebih ia sering mendapatkan bonus dari atasan tercinta. Tapi, meski ia memiliki karier yang bagus, kendaraan, dan rumah, serta satu toko baju dan konter, tetap saja ia tak jua memiliki kekasih tetap. Hubungan yang terjalin dengan pacar-pacar sebelumnya tidak pernah bertahan lebih dari dua bulan. Ada pria yang melakukan pendekatan dengannya, baru dua minggu si pria sudah menghilang saja. Sepertinya seorang Kinanti Damaswara harus mandi kembang sebelas rupa biar jin yang menempel di tubuhnya segera pergi. "Gue mau beli apa ya tadi?" Saat ini Kinan tengah berdiri di depan rak yang berisi mie instan dan mengambil beberapa bungkus. Tidak sampai di situ saja, Kinan juga mengambil beberapa camilan, sayuran, beras, es krim, selai, roti tawar, dan masih banyak lagi hingga troly yang ia dorong penuh dengan barang belanjaan. Tinggal di kota besar seperti sekarang ini mengajarkan Kinan jika berhemat itu perlu. Jika apa-apa serba membeli, kapan seorang Kinanti Damaswara akan kaya? Begitulah moto hidup dara cantik berusia 27 tahun itu. "Kamu di sini juga?" tegur sebuah suara mengejutkan Kinanti. Kinanti menoleh dan menemukan sosok Arveno yang saat ini tengah memegang keranjang kuning. Bola mata Kinan melirik keranjang di tangan pak bosnya yang sudah berisi sampo dan perlengkapan lainnya. "Ada yang kurang itu, Bos," tuturnya tanpa menyahut ucapan Arveno sebelumnya. Arveno ikut melirik keranjang miliknya, kemudian beralih menatap Kinan dengan tatapan datarnya. "Enggak ada," gumamnya seraya menggeleng pelan. "Ada." Kinan mendekat ke arah telinga Arveno dan berbisik lirih di telinga pria itu dengan cara berjinjit. "Pembalutnya ketinggalan. Bos 'kan sering tuh PMS," ujarnya seraya menatap Arveno serius. Arveno mendelik sebentar. Kemudian pria itu melirik ke sekitar, lalu mulai mendekatkan bibirnya di telinga Kinan. Arveno berbisik, "gaji kamu saya potong 20 persen." Kinan membeku dengan bola mata terbelalak. Gadis itu berniat protes pada bos yang juga merangkap sebagai sahabatnya itu. Namun, pria berwajah dingin yang tidak bisa diajak bercanda itu sudah menghilang dari pandangannya. "Oh, Sutowo beruang kutub!" teriak Kinan mengejutkan pengunjung yang lain. Sadar akan apa yang sudah ia lakukan, Kinan segera menjauh dari lokasi dengan mendorong troly miliknya. Gara-gara bosnya itu, Kinan jadi dipandang aneh oleh sebagian pengunjung toko. Keesokan paginya, Kinan melangkah masuk ke dalam kantor. Menyapa satpam dan resepsionis yang sudah duduk di balik meja, kemudian melangkah masuk ke dalam lift yang akan membawanya ke lantai di mana ruang direktur utama berada, yang juga merupakan ruangan tempatnya bekerja. Setelah keluar dari pintu lift, Kinan melangkah menuju meja kerjanya. Dara cantik yang mengenakan blous merah setengah lengan dan rok span hitam sebatas lutut itu meletakkan tasnya di atas meja. Setelah meletakkan tasnya, Kinan kembali masuk lift menuju lantai dua di mana letak pantry berada. Pagi ini ia akan menyiapkan kopi s**u yang paling enak untuk atasannya. Kinan harus bersikap baik pada atasannya agar sang atasan sedikit luluh dan tidak membiarkan gajinya di potong. Kinan tak rela. "Selamat pagi, Bosku tercinta. Secangkir kopi s**u terenak yang Kinanti buat khusus untuk Boskuh." Kinan melangkah masuk sambil meletakkan satu cangkir kopi s**u buatannya. Dengan senyum manis, Kinan berkata, "semoga hari bos menyenangkan." "Ada apa?" Sebelah alis Arveno terangkat seraya menatap wajah Kinan dengan tatapan datar. Tidak ada riak yang terlihat dari ekspresinya karena memang wanita di depannya ini akan bersikap manis seperti sekarang jika ia sudah mengeluarkan ultimatum untuk memotong gajinya. "Enggak ada, Bos." Kinan menggeleng pelan. "Bos, mau sarapan apa? Nanti saya pesankan," katanya tanpa menghilangkan senyum manisnya. "Enggak perlu." Arveno menggeleng pelan. "Kamu bisa keluar." "Oke, Bos. Saya keluar ya. Dadah." Kinan melambaikan tangannya seraya menatap Arveno dengan ekspresi penjilat. "Ah, iya." Kinan menghentikan langkahnya ketika mendengar suara Arveno. "Ada lagi, Bos?" tanya wanita itu bersemangat. Ia berharap Arveno akan mengatakan jika dirinya tidak akan memotong gaji Kinan bulan ini. Tapi, harapannya pupus ketika Arveno justru berkata, "saya mau makan siang dengan klien. Saya mau kamu ikut." Bahu yang semula terangkat kini melemas kembali. "Iya, Bos." Dengan bahu terkulai, Kinan keluar dari ruangan atasannya. Tapi, tak apa. Kinan akan berusaha lagi agar Arveno tidak memotong gajinya. Semangat, Kinan! Serunya dalam hati untuk menyemangati dirinya sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD