"Aaagghh ..." Mas Aron menarik tanganku dengan kasar hingga aku berdiri di sisinya.
"Yuka, kamu mengenalnya? Siapa dia?..." Tanya Mas Hirka dengan nada ketus.
"Dia Bosku, Mas." Jawabku saat ada karyawan restoran yang berjalan melewati kami. Seperti kata Mas Aron, aku harus merahasiakan status pernikahan kami. Karyawan itu menatap heran ke arahku.
Mas Aron bungkam mendengar pengakuan dari diriku. Ekspresi wajahnya mengeras. Tangannya bahkan semakin kuat menggenggam pergelangan tanganku.
"Kerja apaan lu sampe mau di pegang-pegang gitu?..." Tanya Mas Hirka.
"Jadi tukang masak." Jawabku sembari meringis kesakitan karena Mas Aron mencengkram tanganku semakin kuat. Kakiku terseret karena Mas Aron menarik tanganku.
"Woy, kau mau membawa Yuka kemana?" Mas Hirka coba mengejarku. Namun, panggilan seorang pria menghentikan langkahnya.
"Woy, Hirka. Yuk cabut ..." Seorang pria berpenampilan seperti preman melambaikan tangan memanggil Mas Hirka. Mas Hirka terlihat kebingungan, akhirnya dia memilih mengejar temannya.
Mas Aron membawaku ke parkiran mobil, lalu mendorongku dengan kasar ke dalam mobil. Sepertinya Mas Aron salah paham padaku.
"Dasar wanita s****n ..."
"Mas aku bisa jelasin, dia itu!..." Mas Aron menyela penjelasanku.
"Dasar w************n. Sudah ku katakan, selama jadi istriku, kau harus menjaga sikap. Kalau kita sudah bercerai, terserah jika kau mau jadi p*****r ..."
PLAAAAKKK ...
Tangan ini begitu ringan menampar pipi Mas Aron hingga dengan keras hingga membekas memar merah. Kali ini dia sangat keterlaluan. Aku ini istrinya, tapi ia selalu bersikap semena-mena padaku. Hatiku benar-benar sakit mendengar hinaannya yang sangat menusuk. Aku tak lagi mampu menahan air mataku.
"BERANI KAU MENAMPARKU ... DASAR PELAC*R ... " Mas Aron meraung. Matanya berubah merah diliputi kabut amarah.
"Jaga ucapanmu, Mas. Pria itu adalah kakak kandungku." ucapku pada Mas Aron yang memegangi pipinya. Tatapan tajamnya mulai melunak. Entah dia merasa bersalah atau tidak, aku tak mengerti. Aku menghapus air mata yang membasahi pipi dan segera keluar dari mobil.
Aku melangkah menuju mushola, di dalam hati menangisi nasibku. Aku memiliki ibu mata duitan, dia tega memisahkan aku dengan pria yang sangat aku cintai dan malah menikahkan aku dengan pria kejam seperti Mas Aron. Aku juga memiliki adik yang sakit-sakitan, butuh uang banyak untuk membiayai pengobatannya. Kak Hirka, meski ia adalah anak pertama dari keluargaku, tapi ia tak pernah peduli dengan keluarganya. Dia adalah preman di kampungku dulu, suka mabuk dan judi. Sudah lama Mas Hirka pergi dari rumah, di acara pernikahanku pun dia tak hadir. Ternyata dia ada di Jakarta. Sekalinya muncul, malah mendatangkan masalah untukku.
***
"Yuka, kamu ada hubungan apa sama Pak Aron?..." Tanya Andin padaku ketika aku sedang membuang sisik ikan di wastafel. Andin sendiri bekerja di bagian pramusaji. Dia adalah karyawan yang tadi melihat Pak Aron menarik tanganku.
"Nggak ada hubungan apa-apa." Aku mengelak. Tanganku masih membersihkan ikan.
"Bohong! Tadi aku lihat kamu di bawa masuk ke dalam mobil. Kalau nggak ada hubungan apapun, mana mungkin Pak Aron sampai membawa kamu masuk ke dalam mobil." Andin menatapku penuh selidik. Aku panik, tapi sebisa mungkin bersikap tenang di hadapan Andin. Aku sendiri bingung mau menjawab apa, karena aku tak pandai berbohong.
"Tadi ada pria yang ganggu aku. Pak Aron cuma bantu nyembunyiin aku ke dalam mobil."
"Masa' cuma mau bantu, tapi malah bawa kamu masuk mobil!..." Andin menatapku penuh curiga.
"Nggak tahu, kalau kamu penasaran, tanya aja langsung sama orangnya."
"Mana berani aku interogasi Pak Aron, bisa-bisa aku di pecat."
Aku segera menutup kran air, membawa ikan yang sudah bersih lalu menyingkir dari sisi Andin. Tak mau Andin terus-menerus menginterogasi diriku.
"Diiih ... Malah kabur," desis Andin dan masih bisa ku dengar.
Tanpa terasa, 5 jam sudah berlalu. Aku pamit pulang pada karyawan yang shift malam. Aku berdiri di atas trotoar menunggu ojek online yang baru saja aku pesan.
Tiba-tiba seseorang muncul dari arah samping menjarah tas yang terselempang di bahuku.
"Mas balikin tasku." Aku berusaha mengambil tasku dari tangan Mas Hirka yang tengah menggeledah isinya.
"Aku mau pinjem duit kamu bentar. Nanti kalau aku menang judi, akan ku ganti lebih banyak." Mas Hirka menuang semua isi tasku di atas trotoar.
"Mas jangan ..." Aku menjerit ketika semua isi tasku berserakan di mana-mana. Aku buru-buru mengambil dompetku, tapi malah di dahului oleh Mas Hirka.
"Uangku pas-pasan, Mas. Jangan di ambil." Aku berusaha mengambil dompetku.
"Nggak usah perhitungan sama abang sendiri. Almarhum ayah nangis kalau lihat kita nggak akur, " sentak Mas Hirka yang posisinya membelakangiku.
"Aku butuh uang itu, Mas."
"Nah, ini masih sisa banyak. Dasar tukang bohong. Dosa lo bohongin abang kamu sendiri." Mas Hirka mengeluarkan semua uang dari dalam dompetku dan melambaikannya padaku.
"Mas, balikin. Itu uang tabunganku buat bayar hutang." Aku berusaha merampas uang di tangan Mas Hirka, tapi ia malah memasukkan semua uangku ke dalam saku celananya.
"Halah, nggak usah pelit-pelit sama abang sendiri. Kalau aku sukses, kamu juga bisa di untungkan." Mas Hirka mendorongku hingga terjerembab ke atas trotoar.
"Mas, kamu keterlaluan!" ucapku dengan geram.
"Kamu yang keterlaluan. Uangmu, uangku juga. Jangan lupa kita ini sodara." Mas Hirka berucap sambil melotot.
Mas Hirka kemudian pergi bersama uang yang sudah susah payah aku kumpulkan. Niatnya aku akan menyetorkan uang itu lewat mesin ATM di mini market terdekat, tapi sialnya uang itu malah di rampok oleh kakakku sendiri. Sudah 3 tahun berlalu, waktu selama itu tak mampu merubah tabiat buruknya. Hidupnya hanya untuk berfoya-foya. Sebagai kakak, harusnya dia melindungi, bukan menjahati. Aku yang tak berdaya, hanya bisa memungut sisa barang yang berserakan di mana-mana.
Aku mengerjap-ngerjapkan mata supaya air mataku urung jatuh. Padahal susah payah aku mengumpulkan pundi-pundi rupiah supaya bisa terbebas dari jerat pernikahanku. Namun, Mas Hirka malah merampas semua hasil jerih payahku. Kenapa dia harus kembali jika hanya menjadi beban dalam hidupku.
"Ini." sebuah tangan menjulurkan tasbih digital di hadapanku.
Aku mendongak, rupanya Pak Delon yang mengembalikan tasbih digital milikku. Ia bekerja di HRD di restoran tempatku bekerja. Dia adalah pria tampan dan mapan. Kabarnya banyak karyawan yang sangat mengidolakan dirinya. Itu wajar, karena Pak Delon adalah orang yang murah senyum dan ramah.
"Terima kasih, Pak."
"Kamu mau pulang?..." tanya Pak Delon.
"Iya, Pak." Aku mengangguk.
"Mau pulang bareng saya!... Kebetulan rumah kita searah," ucap Pak Delon, wajar ia tahu alamat rumahku, dia pasti sudah membaca CV lamaran kerjaku.
"Tidak, Pak. Terima kasih." Aku tidak mau berduaan di dalam mobil bersama pria yang tak halal bagiku. Terlebih Aku baru mengenal Pak Delon.
Aku memutuskan pulang dengan naik ojek. Begitu sampai di depan pagar, aku membuka helm dan menyuruh si tukang ojek menunggu karena aku tak membawa uang kes. Semuanya di bawa kabur oleh Mas Hirka.
"Pak, tunggu di sini sebentar, ya. Saya mau ambil uang sebentar di dalam."
"Iya, Neng. Nggak apa-apa." Tukang ojek itu mengangguk sambil meletakkan helm.
Aku berdiri di depan pintu, merasa ragu untuk masuk ke dalam rumah karena sudah menampar Mas Aron. Ku lihat di garasi, mobil Mas Aron sudah terparkir di sana. Itu artinya, suamiku sudah pulang.
Aku sangat lelah, hatiku juga sedang kacau. Aku tak mau mendengar hinaan Mas Aron lagi. Aku berjalan pelan supaya tak menimbulkan suara, aku masih enggan bertatap muka dengannya. Hatiku masih sakit tiap ingat hinaan yang keluar dari mulutnya. Aku berjalan melewati kamar Mas Aron, lalu naik ke atas tangga. Kamar Mas Aron berada tepat di samping tangga kamarku.
Sesampainya di kamar, aku mengambil uang dan buru-buru keluar. Kasihan kalau tukang ojek itu menunggu terlalu lama.
"Terima kasih, ya, Pak!" Ucapku setelah membayar ongkos ojek.
"Sama-sama, Neng."
Aku kembali masuk ke dalam rumah, berharap tak bertemu dengan Mas Aron. Langkahku terhenti saat pintu kamar Mas Aron terbuka. Aku terkejut! Bukan Mas Aron yang keluar dari kamar itu, melainkan seorang wanita cantik yang tengah mengeringkan rambutnya yang basah. Hatiku berdenyut nyeri melihat hal itu. Sampai kapan Mas Aron akan menyiksa batinku. Dia membawa wanita lain di rumah ini tanpa memikirkan perasaanku.