Rainy 02

1551 Words
"Serius yang..." Adira duduk di pinggir jendela. Memandang ke arah kolam renang yang berada di bawah kamarnya. "Jadi Bram sama Yana itu pernah pacaran gitu?" "Iya. Yana sendiri yang bilang. Mereka mantan.." "Kok kamu nggak tau?" tanya Fuji. Adira memindahkan ponselnya setelah memasang headset. Adira kemudian menceritakan semua yang Yana ceritakan tadi. Bahwa mereka pacaran saat di akhir kelas 2 SMP hingga kelas 1 SMA. Memang jenis pacaran yang masih labil. Pacaran ala remaja. Tapi Adira tak yakin apa itu hanya jenis pacaran biasa saat melihat ekspresi Yana. Seperti ada yang aneh. "Udah lama dong?" "Iya. Itu sebelum aku kenal Yana juga. Udah lebih 10 tahun berarti mereka putus.." ujar Adira setelah menghitung. "Ya nggak masalah dong. Malah bagus. Lebih gampang juga buat mereka. Udah kenal. Tinggal membangkitkan kenangan dan membina chemistry lagi.." Adira menghela napas. "Nggak semudah itu kali, Mas.." "Lah kenapa?" Adira terlihat berpikir. Tak tau bagaimana menjelaskan. "Gimana ya. Susah jelasinnya. Intinya gini, cewek itu pikirannya nggak sesederhana cowok. Tau lah kita itu suka mikirnya dua kali lipat dari yang cowok pikirkan." "Deww, ribet amat.." "Ya emang mas selama ini pacaran sama aku gimana?" "Ya nggak gimana-gimana.." Adira memutar bola matanya. Memang susah kalau bicara dengan pacarnya ini. Mungkin karena Fuji orang Jepang jadi dia punya pikiran lebih terbuka dari kebanyakan cowok Indonesia. Seperti dia yang lebih sabar dalam menghadapi beberapa sikap cewek yang tak bisa dimaklumi cowok Indonesia. Ya begitulah kira-kira. Mungkin itu juga alasan Adira selalu milih pacaran dengan orang luar. "Jadi gimana nih?" tanya Adira setelah kembali ke realita. "Ya gimana? Emang Yana bilang apa aja?" "Ya enggak ada sih. Dia cuma bilang kalau mereka itu mantan." "Reaksi Yana nya gimana?" "Gimana ya?" "Dia tertarik nggak?" Adira menggigit jarinya. "Hngg, gimana ya cara jelasinnya. Bram nya sendiri gimana? Tadi kenapa dia sikapnya kayak gitu? Kayak enggak kenal.." "Malu kali. Ya awkward lah udah lama nggak ketemu kan. Sekalinya ketemu malah di set buat dating." Adira manggut-manggut. "Aku mau tanya deh, Mas, sebenarnya kenapa si Bram mau dikenalin kayak gitu? Kayaknya mustahil aja cowok kayak dia mau dicomblangin gitu. Kayaknya dia bisa dengan gampang dapat cewek yang cantik, kaya, dan lebih segi apapun deh.." "Hmm..." Fuji bergumam. Adira menunggu. Namun semenit berlalu Fuji tak kunjung bicara. "Mas, ada yang aneh deh. Kamu nggak myembunyiin sesuatu kan?" Terdengar helaan napas. "Sebenarnya.." *** "Adira, ayo masuk.." "Hai Mas Zafa. Apa kabar? Ih lama nggak ketemu ya.." Zafa tersenyum. "Kamu jarang ke sini sih.." "Ih. Mas Zafa nya yang nggak di rumah.." Sekali lagi Zafa tersenyum. "Nyari Yana ya?" Adira mengangguk. Ponsel Zafa berbunyi. Ia melirik nama di layar. "Masuk aja. Dia di kamarnya.." "Oke mas.." Adira berlalu. Samar-samar ia mendengar Zafa bicara. "Kamu di mana?" Adira mengeruk pintu. Tanpa menunggu dia langsung masuk. Saat itu bertepatan dengan Yana yang baru keluar dari kamar mandi hanya memakai handuk. "Anjir, woy lo main masuk. Gue kira siapa..!!" Yana menjerit dan memegangi handuknya kuat. "Ih biasa aja.." Adira duduk dengan cuek di kasur. "Spot jantung. Gue kira cowok. Kan gue malu.." "Ya harusnya lo biasa. Ntar kalau lo nikah gimana? Tiap hari suami lo bakalan liat.." Yana melempar majalah di atas meja ke Adira. Karena tak siap majalah itu berhasil mengenai kepala Adira. Gadis itu menjerit protes. Yana sudah berlari ke walk in closet. "Yan, mas Zafa tumben di rumah." "Nggak tau tuh. Dia balik tadi malam jam 12.." Tak lama Yana keluar sudah dengan pakaian lengkap. "Btw nyokap lo nggak apa-apa Mas Zafa kayak gitu? Pulangnya jarang.." Yana mengendikkan bahu. Ia mulai mengoles pelembab ke wajahnya. "Kalau abang gue kayak gitu nggak tau deh emak gue. Udah kejer dia dari dulu. Mas Bio nggak pulang sehari aja dia udah kayak kesetanan.." "Ya Mas Bio kan emang tinggal di rumah lo. Mas Zafa kan tinggal sendiri di Bogor.." Adira manggut-manggut. "Lagian ngapain ngobrolin Mas Zafa sih? Lo ngapain ke sini? Tadi kam janjinya ketemu di kafe biasa.." "Ya enggak.." Adira membuka majalah yang tadi dilempar padanya. "Lo kok aneh gitu sih?" tanya Yana memyadari sikap tak biasa sahabatnya. "Aneh? Nggak ah. Biasa aja.." Yana mencebikkan bibirnya. Lalu cuek, kembali fokus menghadap kaca. "Yan.." "Hng?" "Ntar Mas Fuji gabung. Gapapa kan?" "Ya nggak apa-apalah. Emang kapan gue larang lo bawa Mas Fuji?" Adira makin salah tingkah. "Hm, ada Bram juga.." Gerakan Yana terhenti. Ia melirik Adira melewati kaca. "Ini rencana lo sama Mas Fuji ya?" Adira tersenyum malu. "Hehe, tapi mau yah. Ya kan gapapa, Yan. Anggap aja lo jalin silaturahmi sama mantan. Kan gak ada salah juga. Lo juga putusnya baik-baik kan?" Yana tak memberi jawaban. Adira nyaris patah semangat melihat respon Yana. "Oke deh. Bangun silaturahmi, kan?" Senyum Adira merekah. "Serius?" Yana tersenyum tipis. Ia mengoles lipstik ke bibirnya. "Kita lihat gimana dia mau jalin silaturahmi.." *** Yana tengah asyik berbalas-balas komentar di instagramnya. Dia tadi memposting foto saat ia liburan ke Perth. Tak lupa caption "miss the moment" menyertai. Beberapa teman kantornya langsung membalas. Ia kemudian sudah sibuk berkutat dengan hal itu. Missluna samaaa ? butuh liburan Def21 ih kok sama gitu inget Perth. Jangan2 kita jodoh Tyo.oks inget Perth apa mantan? *uhukk Tyo.oks yang batal nikah itu yaa?? Yana mengumpat. "Anjir nih si Tyo. Minta dibacok.." Yanadeyy itu mulut over lotion ya? Lemes banget @Tyo.oks ? Yanadeyy kodein bos minta cuti ? @Missluna Yanadeyy hati2disambit golok tetangga sebelah @def21 "Kayaknya mereka kena macet deh.." Adira masih sibuk sendiri. Yana malah terlihat cuek. "Emang b******k si Tyo," umpat Yana lagi sembari melempar ponselny ke meja. Ia menyambar ice Americanonya dan langsung menyeruputnya kasar. Adira masih sibuk berkutat dengan ponselnya. Mungkin berkirim chat dengan Fuji. Yana memilih tak ambil pusing. "Itu bukannya Arinka?" "Mana?" Tanya Adira. "Tuh.." Adira mengikuti arah telunjuk Yana. "Njir. Dia ganti pacar lagi? Erat banget itu lengan di peluk." Yana terkekeh. "Kayaknya itu bukan anak kantor gue deh.." "Kayaknya brondong. Dia dapat di mana tuh anak perjaka orang? Jangan-jangan anak kuliah depan rumahnya.." Yana benar-benar ngakak. "Apa nih? Seru banget kayaknya.." Tak sadar ternyata Fuji sudah datang. Dan bersama Bramanaka tentunya. Yana menelan ludahnya dan langsung memperbaiki posisi duduknya. Bram hari ini tampil benar-benar casual. Celana jins longgar semata kaki dipadu baju kaus polos warna hitam dan jaket jeans. Simple but too perfect di badannya. Bram membuka jaketnya dan meletakkan di sofa. Untung dia duduk di single sofa. Yana bersyukur karena tak harus duduk bersebelahan dengan Bram. Bram dan Fuji beranjak untuk memesan. Adira langsung mendekat ke arah Yana. "Njir kok dia hot gitu sih? Jangan-jangan dulu dia culun ya makanya kalian putus?" Yana bersiap menjitak kepala Adira. "k*****t. Lo kira gue se k*****t itu apa. Nggak. Dulu juga dia nggak jelek-jelek amat." "Nyesel nggak putus dulu?" Yana rasanya ingin menghadiahi Adira dengan semua kata mutiara yang dia punya. "Please, Ra. It's almost 12 years. Kayak kalau gue nikah pas umur 20 anak gue udah 3 lo tau nggak.." "Nah itu dia. Gimana mau punya anak kalau lo aja belum nikah. Makanya nikah biar punya anak. Nah, nih si Bram udah ada.." "Anjir!!" Tawa Adira meledak. "Ngetawain apa sih?" Fuji memandang Adira dan Yana bergantian. Adira menggeleng sembari memegangi perut saking puasnya menggoda Yana. Yana hanya bisa terdiam. Duduk berpangku tangan dengan wajah keki. "Jadi kalian nongkrong di sini kalo malam minggu?" tanya Fuji. "Aku sih jarang. Yana tuh. Kan dia yang jomblo.." Sungguh Yana ingin menyumpal mulut Adira. "Sendiri gitu, Yan?" Lah si Fuji ikut-ikutan menanggapi ucapan Adira. "Enggak, Mas. Rame kok. Kadang tukang gojek juga ada di sini. Kita kan punya club. Mas Fuji gatau sih." Fuji benar-benar tertawa. Adira pun tertawa. Hanya Bram yang bereaksi biasa. "Jangan sering-sering ngopi yah. Nggak baik buat kesehatan.." pesan Fuji. "Iya kan, Bram?" Bram mengangguk. Yana melirik sekilas. Rasanya ia ingin berkomentar. Mengatakan kalau Bram tak ubahnya seperti robot. Bicara kalau sudah ditanya. Tiba-tiba dering ponsel terdengar. Yana melirik ponselnya di atas meja. "Hallo, Mas.." ia langsung menjawab saat nama Zafa tertera di sana. "Belum tau. Ama sama Apa lagi ke Bekasi. Katanya ada undangan nikahan siapa gitu? Tapi lupa kasih tau. Ama titip pesan buat Mas. Soalnya Mas tadi belum bangun.." Yana mengangguk beberapa kali. "Kenapa?" "Mas Zafa. Katanya dia mau keluar tapi nggak ada orang di rumah.." "Ohh..." "Kok kalian kayak orang musuhan gitu sih?" Adira si k*****t kembali melempar serangan. Yana langsung melotot. Tapi Adira malah mengendikkan bahu cuek. "Yana kerja di mana sekarang?" itu Bram yang bertanya. Iya. Akhirnya cowok itu bertanya juga. "Oh, hm, di Zefanel and Co.." "Wow. Jabatannya apa?" "Creative manager.." Bram manggut-manggut. "Karir cerah, jodoh doang yang enggak cerah." Lagi-lagi mulut k*****t Adira dengan kurang ajarnya menyuarakan isi kepalanya. Seumur hidup ini kali pertama Yana ingin mengirim Adira ke planet mana saja selain bumi. "Apa karena terlalu sibuk dengan karir kali ya?" Yana menoleh. Tak menyangka Bram akan mengatakan itu. Disertai senyuman pula. "Wah bisa jadi kali ya.." Fuji ikut menimpali. Biasanya Yana adalah orang yang realistis. Tapi ini kali pertama dia ingin kalau ilmu teleportasi itu benar-benar ada. Obrolan terus berlanjut dengan Yana menjadi bulan-bulanan. Tapi tidak benar bulan-bulanan. Yang jelas mereka lebih banyak mengobrol dan lebih santai. Tidak terlalu canggung seperti sebelumnya. Bram pun sudah ikut berbaur dengan baik. Di tengah obrolan itu Yana memandang Bram. Entah ia sadar atau tidak.Seulas senyuman terukir di sudut bibirnya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD