Anna tidak tahu apa yang membawanya ke tempat ini. Namun, matanya hanya melihat pada satu titik. Pintu keluar lapas yang sampai sekarang belum terbuka. Anna memakai kacamata hitamnya dan menyembunyikan dirinya di samping mobil hitamnya. Beberapa wartawan berdiri di depan gerbang lapas, agak jauh darinya. Menunggu orang yang sama dengan Anna. Anna tak berani mendekat, tidak ingin ada orang yang menyadari keberadaannya di tempat ini.
Hanya sekali saja.
Sekali saja. Anna ingin melihat laki-laki itu. Delapan tahun sudah berlalu dan Anna bahkan tidak pernah menemuinya. Anna hanya perlu melihat laki-laki itu baik-baik saja, maka itu sudah cukup. Anna hanya menginginkan hal itu dan karena itulah ia berani datang ke tempat ini.
Jemari Anna bergetar ketika seorang laki-laki keluar dari pintu lebar itu. Meskipun Anna melihatnya dari kejauhan, tapi ia masih bisa mengenalinya. Laki-laki itu bertambah tinggi, badannya tak lagi kurus, Anna bisa melihat lengan kekarnya menyembul dari kaos tipis yang ia gunakan. Kaos itu tampak kekecilan di tumbuhnya yang kekar. Itu adalah kaos yang sama dengan yang dipakainya delapan tahun yang lalu. Bedanya tak ada lagi bercak darah di kaos itu. Anna tidak tahu kenapa mereka tidak memberikan pakaian yang layak untuk laki-laki itu.
Tanpa sadar Anna melangkahkan kakinya, tetapi segera berhenti ketika menatap mata laki-laki. Jantung Anna serasa berhenti berdetak. Anna segera melangkah mundur. Kembali bernapas ketika menyadari laki-laki itu tidak melihatnya. Renan sudah keluar dari penjara.
Renan.
Memikirkan nama itu saja membuat Anna kacau.
Renan tampak terkejut dengan banyak wartawan yang memotret dirinya. Laki-laki itu menurunkan topinya, membuat wajahnya semakin tak terlihat. Anna ingin sekali saja melihat wajahnya lebih lama, tapi Renan sudah berjalan menjauhi tempat itu, diikuti oleh beberapa wartawan yang sepertinya tidak menyerah. Lalu sebuah mobil berhenti tepat di depan Renan. Seorang laki-laki tinggi kurus menarik tangan Renan masuk ke dalam mobil. Laki-laki itu hilang dari penglihatan Anna.
Seharusnya Anna pergi setelah melihat Renan baik-baik saja. Tapi perempuan itu mengikuti mobil sedan hitam yang lusuh itu hingga mereka berhenti di sebuah warung tak jauh dari lapas. Warung kecil itu sangat ramai oleh beberapa petugas lapas yang sedang makan. Dari kaca mobilnya, Anna bisa melihat Renan dan laki-laki kurus itu duduk di samping dinding kaca. Mereka tampak berbicara sebentar. Mereka tampak akrab, membuat Anna mengerutkan keningnya mengetahui Renan bisa dekat dengan orang lain selain dirinya.
Anna mengambil selembar kain hitam lalu mengikatnya di kepalanya menjadi sebuah tudung. Perempuan itu menaikkan kacamata hitam lebarnya. Lalu turun dan masuk ke warung kecil itu. Ia berharap tidak menarik perhatian dengan pakaian yang ia gunakan saat ini. Beberapa orang melihatnya dengan penasaran, tapi Anna hanya berjalan lurus dan duduk di meja di belakang Renan.
Wanita tua dengan rambut yang sudah memutih mendekatinya untuk menanyakan pesanan Anna. Tapi Anna hanya menggeleng pelan sambil meletakkan jari telunjuknya di depan bibirnya, menyuruh wanita tua itu menutup mulutnya. Wanita itu pergi dengan gumaman yang tidak jelas, meninggalkan Anna yang fokus pada dua laki-laki di belakangnya.
"Apa yang akan kau lakukan sekarang?" tanya laki-laki berbadan kurus di depan Renan.
"Aku akan mengunjungi ayahku," jawab Renan pendek lalu melanjutkan makan dengan lahap.
Anna mematung mendengar suara laki-laki itu setelah delapan tahun. Ada yang berubah dari suara Renan. Begitu rendah dan dingin, seperti angin di musim dingin yang membuat Anna seketika merapatkan mantel panjang yang ia gunakan. Suara Renan begitu dingin, lebih dingin daripada suara laki-laki berumur delapan belas tahun yang ia kenal dulu.
"Kau masih menganggapnya sebagai ayahmu? Apa kau masih waras, Ren?"
Laki-laki itu diam cukup lama sebelum mengeluarkan suara lagi, "Dia satu-satunya keluargaku."
"Bukankah kau mempunyai ibu dan kakak tiri? Temuilah mereka terlebih dahulu, mereka pasti akan memberikan tempat tinggal. Bukankah harta ayahmu diambil alih oleh mereka?"
Cukup lama sebelum Renan kembali membuka suara, "Aku tidak ingin bertemu mereka lagi."
Anna berdiri, mengambil tasnya dan keluar dari tempat kumuh itu dengan cepat.
Apa yang ia lakukan sekarang? Seharusnya ia tidak datang ke tempat ini.
Anna sudah melupakan semuanya. Tidak ada yang tersisa dari masa lalunya. Delapan tahun ini ia berusaha mati-matian untuk menjadi orang baru. Sekarang dia memiliki apa yang ia impikan dulu. Tidak ada lagi orang yang memandang rendah padanya dan menghinanya. Lalu kenapa sekarang Anna ingin melihat laki-laki itu lagi?
Wanita tua pemilik warung itu memanggilnya beberapa kali karena keluar tanpa memesan apapun, tapi Anna tidak menghiraukannya. Perempuan itu memasuki mobilnya dan melepas tudung kepalanya dengan kasar. Tangannya masih bergetar dan matanya memanas. Ratusan kali Anna datang ke tempat ini, tapi ia tidak mempunyai keberanian untuk muncul di depan laki-laki itu. Ratusan kali ia berdiri di depan gerbang itu, tapi ia tak pernah melangkah masuk. Karena Anna tahu jika ia bertemu dengan Renan, hidupnya akan kembali terguncang dan Anna tidak ingin itu terjadi.
Anna bertekad tidak ingin melihat Renan lagi. Hanya saja, dirinya tak bisa pergi dari tempat itu. Hanya hari ini. Anna ingin melihat laki-laki itu lebih lama hari ini.
Laki-laki itu keluar dari warung kecil itu dan masuk ke mobil bersama temannya. Anna mengikutinya dari belakang. Perjalanan cukup jauh, mereka menuju pusat kota. Anna mengira Renan akan ke rumah lamanya, tapi mobil itu berhenti di sebuah restoran kecil di dekat hotel. Laki-laki kurus yang tidak Anna ketahui namanya itu memberikan kunci mobil kepada seseorang yang menyapu halaman di depan restoran. Anna menduga orang tersebut adalah pemilik mobil. Renan dan temannya keluar dari mobil dan mereka berjalan ke gang kumuh di samping restoran.
Anna memarkirkan mobilnya di dekat restoran dan memakai tudung kepalanya kembali. Dengan langkah ringkih, Anna masuk ke gang kecil itu. Anna menyembunyikan dirinya ketika melihat Renan dan temannya berbicara dengan wanita paruh baya di depan rumah susun kecil di gang itu. Bangunan itu bahkan tidak layak untuk ditinggali.
"Kau pikir aku tak tahu siapa temanmu ini?" bentak seorang wanita paruh baya bertubuh besar.
Laki-laki di samping Renan menatap wanita itu dengan tatapan memohon, "Kami janji tidak akan membuat masalah di tempat ini."
"Kau tak melihat berita keluarnya laki-laki ini dari penjara sudah tayang di semua saluran televisi pagi ini? Wajahnya sudah diketahui banyak orang." Wanita tua itu menyilangkan tangannya dengan garang. "Kau pikir aku akan menerima seorang anak pembunuh berantai di rumah ini? Tanpanya saja bangunan ini sudah sepi. Kau pikir siapa yang ingin satu rumah dengan seorang pembunuh?"
"Kau berbicara keterlaluan kepada temanku. Kami membayar sewa di rumah ini. Kau pikir temanku tidak mampu membayar?" kata teman Renan.
Wanita tua itu memandang rendah mereka, "Kalaupun kau membayar sepuluh juta pun, aku tidak akan mengizinkan kalian tinggal di rumah ini. Lagian, kau saja selalu telat membayar sewa. Tanpa membawa temanmu ini, aku sudah berniat mengusirmu, Junero."
Renan dengan nada rendah berkata kepada laki-laki di sampingnya, "Kau tidak perlu mengajakku tinggal bersama. Aku bisa mencari tempat tinggal sendiri."
"Kau ingin kembali ke rumah ayahmu itu?"
"Aku bisa tinggal di sana."
"Tidak boleh. Kau berkata rumah itu adalah mimpi burukmu." Junero mengalihkan pandangannya ke pemilik rumah lagi. "Baiklah. Aku akan pergi dari rumah sialan ini! Tapi minta maaf dulu kepada Renan! Kau berbicara tidak sopan kepadanya."
"Bagian mana yang tidak sopan? Apa yang aku katakan semuanya fakta. Kalian jangan sok menjadi orang baik di sini. Kau pikir aku tak tahu kau juga mantan narapidana?" tanya wanita pemilik rumah itu kepada Junero.
"Meskipun kami seorang narapidana, itu tidak membenarkan sikap kasarmu kepada kami," balas Junero.
Wanita tua itu tertawa lalu meludah di depan Junero, "Kau sangat bermuka tebal. Kau tahu semua orang di rumah ini menyuruhku untuk mengusirmu? Mereka takut kehilangan barang mereka karena tinggal satu atap dengan seorang pencuri. Tapi aku masih menerimamu sampai sekarang. Sekarang pergi dari hadapanku!"
Junero menarik tangan Renan masuk ke rumah kumuh itu. Meninggalkan wanita paruh baya itu dengan ekspresi menahan marah. Beberapa menit kemudian, mereka turun membawa dua tas besar yang berisi pakaian Junero. Anna mundur ke belakang tembok ketika Renan menghadap ke arahnya.
"Lihat saja, apakah ada orang yang akan menerima kalian!"
Junero menatap wanita tua itu tak kalah tajam, "Lihat saja, apakah ada orang yang mau tinggal di bangunan roboh ini selain kami!"
"Berdiri di dekat kalian saja membuatku merinding!" Wanita tua itu menatap Renan yang masih diam tak berekpresi. "Bagaimana manusia bisa memiliki keinginan untuk membunuh manusia lain? Kau bahkan tidak pantas disebut manusia!"
"Kalau kau tidak berhenti berbicara, aku yang akan membunuhmu di sini, Wanita Sialan!"
Wanita paruh baya itu berbalik dan duduk di kursi goyang di teras rumah, "Lihatlah, seseorang tidak akan masuk penjara jika dididik dengan baik. Apa orang tuamu menyuruhmu bersikap tidak sopan kepada orang tua?"
Junero tersenyum miring sambil menggenggam tangan Renan, "Aku tidak memiliki orang tua. Jadi aku tidak paham apa yang kau katakan. Aku tidak akan menghargai orang yang tidak bisa menghargai orang lain."
Pemilik rumah itu berdiri dengan kesal, "Pergilah dari hadapanku, Sialan!"
Anna berbalik menghadap tembok ketika Renan dan Junero melewatinya. Mereka berjalan beriringan di gang sempit itu. Anna melihat Renan dari belakang hingga laki-laki itu tidak terlihat lagi. Renan lebih tinggi beberapa sentimeter dari Junero. Tubuhnya juga lebih besar. Perpaduan antara tubuh dan tatapan dinginnya membuat siapapun yang melihatnya memilih menjauh. Persis seperti delapan tahun yang lalu.
"Psikopat itu membuatku merinding. Bagaimana bisa seseorang memiliki mata sedingin itu? Kini aku yakin dia kaki kanan ayahnya."
Suara wanita paruh baya itu masih Anna dengar. Anna keluar dari tembok yang memisahkan mereka lalu menghampiri wanita itu dengan langkah besar. Hati Anna ikut terkoyak sakit melihat Renan diperlakukan seperti itu. Tapi Anna tidak memiliki hak untuk merasakan itu. Anna-lah yang membuat Renan menerima panggilan sebagai pembunuh. Anna-lah yang membuat orang-orang memandang Renan dengan ketakutan dan penghinaan seperti itu. Lalu kenapa sekarang ia marah pada kesalahannya sendiri?
"Anda tadi bertanya, bukan? Kenapa manusia bisa membunuh manusia lain?"
Wanita pemilik bangunan itu tampak kaget melihat Anna di depannya. "Anda siapa?"
"Kalau Anda sangat membenci orang hingga membawa Anda pada keputusasaan, maka membunuh orang itu akan terasa sangat mudah. Itulah yang saya rasakan pada Anda sekarang."