2. Kehidupan baru

1080 Words
Aku sedang sibuk menyiapkan beberapa souvenir pernikahan yang baru tadi pagi diantar oleh salah satu supplier. Mengecek satu per satu dan memastikan tak ada yang cacat produksi atau tak layak pakai. Setelah semua beres, dengan berhati-hati aku mulai menatanya ke dalam sebuah kardus berukuran besar. Sore ini, semua souvenir ini akan kami bawa ke salah satu gedung pertemuan yang akan dipakai sebagai tempat diadakannya resepsi pernikahan salah satu klien wedding organizer, tempatku bernaung selama dua tahun terakhir ini. Ya. Aku sekarang memang bekerja di sebuah Wedding Organizer milik salah seorang temanku saat kuliah dulu. Rani namanya, lebih tepatnya Maharani. Dia adalah teman baikku saat kami berdua mengenyam study di salah satu universitas ternama di kota di mana aku tinggal saat ini. Aku memang tinggal terpisah dari kedua orangtuaku. Tepatnya saat aku mulai menjadi seorang mahasiswa, dan memilih tinggal di sebuah tempat kos yang dekat dari kampus. Sementara rumahku sendiri berjarak beberapa kilometer atau memerlukan waktu sekitar tiga jam dari tempat kosku. Dan semenjak aku lulus kuliah, memilih membuka sebuah usaha bersama teman-temanku. Hanya usaha kecil-kecilan di mana kami menerima jasa pembuatan souvenir. Sementara Rani, sahabatku itu lebih memilih membuka usaha sendiri yaitu sebuah even organizer. Akan tetapi seiring berkembangnya waktu, lebih tepatnya setelah satu tahun berlalu, Rani memutuskan banting stir menjadi seorang wedding organizer. Menurutnya, hasil dari WO lebih menjanjikan hasilnya. Dan aku, karena paksaan kedua orangtuaku yang meminta agar aku kembali pulang ke rumah dan meneruskan usaha toko kelontong milik ayah dan ibu, dengan terpaksa aku meninggalkan kota. Usaha souvenir yang kurintis bersama teman-teman pun terpaksa kuhentikan. Aku mengikuti permintaan ayah dan ibu. Pulang ke kampung halaman. Tepat dua tahun semenjak aku lulus dari kuliah juga genap satu tahun kepulanganku kembali ke rumah, aku berkenalan dengan seorang pria yang merupakan Manager di sebuah bank swasta. Kami berkenalan karena seringnya bertemu saat aku diminta ayah untuk menyetorkan uang hasil penjualan toko. Dari situlah kisah asmaraku dengan Mas Reno mulai terjalin. Hingga tepat satu tahun hubungan kami, Mas Reno melamarku. Dan di usiaku yang kedua puluh lima tahun Mas Reno resmi meminangku. Aku terkesiap, menggelengkan kepalaku kuat-kuat. Berusaha mengusir bayangan masa laluku. Terjengit kaget kala Tari memanggil namaku, disertai sentuhan lembut di pundakku. "Kak Zima baik-baik saja?" pertanyaan yang terlontar dari mulut Tari membuatku mengernyit hingga kedua alisku saling bertaut. Tatapan Tari yang sarat akan kekhawatiran membuatku semakin bingung. Memangnya ada apa denganku? Kenapa Tari memandangku seperti itu. " Aku baik - baik saja kok, Tari. Memangnya kenapa?" Tari menghela nafas lega, "Habisnya dari tadi Kakak hanya melamun. Aku panggil-panggil juga tidak menyahut." Aku tercengang mendengar penuturannya. Benarkah aku tadi sedang melamun? Kutundukkan kepala, dan benar saja. Souvenir yang harusnya aku tata di dalam kardus, masih teronggok begitu saja. Ya Tuhan! Jadi benar aku tak melakukan apapun sejak tadi. Dan hanya melamun? Menatap Tari dengan pandangan penuh rasa bersalah dan penyesalan. Sedikit memberikan senyuman pada gadis yang usianya lima tahun di bawahku ini. "Maaf ... Tidak sengaja tadi aku melamun, " ucapku asal, kembali mengalihkan tatapan dari Tari dan mulai meneruskan kembali pekerjaan yang sempat tertunda. "Kak Zima sedang ada masalah?" Lagi - lagi Tari bertanya. Aku tahu gadis itu terlalu peka dengan perasaan orang lain. Aku pun mendongak, menatapnya dengan lembut, lalu menggelengkan kepala. "Aku baik - baik saja, Tari. Mungkin hanya merasa sedikit lelah," jawabku bohong. Tidak mungkin aku mengatakan pada gadis itu jika aku terpikir akan Mas Reno. Yang benar saja. Bahkan tak hanya Tari, tapi Rani pun juga tidak tahu mengenai apa yang terjadi padaku. Semua yang bekerja di wedding organizer ini tidak ada yang tahu mengenai statusku dan jalan cerita hidupku. Aku sendiri juga tak pernah mengatakan pada mereka atau bahkan berniat cerita pada mereka. Bagiku, apa yang terjadi padaku tiga tahun lalu adalah sebuah aib yang tak perlu orang lain tahu. Cukup aku, keluargaku dan juga keluarga Mas Reno yang tahu. Bahkan keluarga besarku pun tak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi padaku. Kedua orang tuaku terlalu pandai menyimpan rapat aib dan rasa malu yang menerpa anak semata wayang mereka. Lagi - lagi aku menggelengkan kepala. Memejamkan sejenak mataku berusaha menenangkan diri. "Jika Kak Zima sedang tidak enak badan, lebih baik istirahat saja dulu. Biar saya yang melanjutkan." Nada lembut itu lagi terdengar di telingaku. Kubuka mataku, dan Tari sudah duduk di hadapanku. Kedua tangannya dengan cekatan telah mengambil alih pekerjaanku. " Kak Zima, istirahat saja. Jangan dipaksakan. Oh iya, hampir lupa. Tadi Mbak Rani nyariin Kak Zima." "Rani nyari aku?" tanyaku memastikan. Gadis itu hanya mengangguk. "Ada apa Rani mencariku?" "Saya tidak tahu, Kak. Mungkin ada hal yang ingin didiskusikan dengan Kak Zima." Berpikir sejenak, tumben Rani mencariku. Memilih beranjak berdiri lalu berkata pada Tari. "Tari, aku tinggal dulu ya. Eum… Aku temui Rani dulu. Tak apa kah jika kamu melajutkan ini?" tanyaku sambil menunjuk beberapa souvenir yang masih berserakan. Tak enak hati juga karena harus melimpahkan pekerjaan pada orang lain. Tari tersenyum ramah lalu menggelengkan kepala." Tidak apa - apa, Kak. Lagipula, pekerjaan saya sudah beres semua. " "Baiklah. Terimakasih yang Tari. Aku tinggal dulu ke ruangan Rani." Tari mengangguk dan akupun benar-benar meninggalkan nya seorang diri. Menuju ke ruangan Rani, mengetuk pintu nya perlahan sembari menunggu dipersilahkan masuk. Meski Rani adalah sahabatku, tapi saat di kantor ini aku harus tetap bersikap dan berlaku profesional. Dimana Rani adalah atasanku yang tak lain adalah owner dari tempat dimana aku bekerja saat ini. Aku tetap harus menghormati Rani sebagai atasan. Dan aku sebagai karyawan harus tahu diri sekalipun bekerja pada teman sendiri. Terdengar suara Rani dari dalam ruang kerjanya, "Masuk," perintahnya. Kubuka pintu bercat coklat tua itu, lalu melongokkan kepalaku. "Siang, Ran! Aku boleh masuk?" sapaku masih berada di luar ruangan nya. Dan mengenai nama panggilan, bukan nya aku tidak sopan karena memanggil atasan hanya dengan menyebut namanya saja tanpa memberikan embel-embel 'Bu' misalnya. Itu semua atas permintaan Rani sendiri yang menginginkan dirinya dipanggil dengan sebutan itu. Awal aku bekerja di tempat ini dua tahun lalu, sempat aku memanggilnya dengan sebutan Bu. Tapi segera ditolak oleh Rani. Katanya, sebutan Bu terlalu tua untuknya. Lalu aku menggantinya dengan sebutan miss. Dan Rani hanya tertawa. Tedengar aneh di telinga katanya lagi. Dan sesuai kesepakatan bersama, pada akhirnya aku resmi memanggilnya hanya dengan sebutan nama saja yaitu Rani. Kecuali jika kita sedang bersama klien barulah aku akan menyebutnya Bu Rani.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD