Bab 2. Mabuk?

1089 Words
Sejenak, perhatian Fay teralihkan saat pelayan sebelumnya yang telah sempat berbicara padanya lewat di dekatnya dengan membawa nampan yang berisi gelas-gelas yang dipenuhi oleh minuman. Fay memanggil pelayan itu lalu memberikan gelasnya yang telah kosong sambil meminta minuman baru. "Jika suamiku bertanya, katakan saja aku tidak sengaja menghabiskan isi gelas sebelumnya karena terlalu haus." Dengan senyum tipis terukir di bibirnya, Fay menerima gelas berisi minuman dari pelayan tersebut. Namun, entah mengapa ia merasa tidak nyaman dengan tatapan ramah yang ditujukan pelayan itu padanya. Seakan ... ada sesuatu di balik sikap sopan pelayan itu terhadapnya. 'Mungkinkah aku hanya sedikit paranoid,' bisiknya dalam hati. 'Atau bodoh?' sambung otaknya yang hanya diacuhkan begitu saja oleh Fay. "Sebaiknya Nyonya minum perlahan, jangan sampai Nyonya mabuk sebelum Tuan Rey memberikan kata sambutan," nasehat pelayan itu sebelum pergi meninggalkan Fay. Fay hanya tersenyum kecut mendengar nasehat itu, lalu mengangkat bahu. Ya, ya, ya, ia sudah mengerti karena tadi Rey sudah memperingatkan dirinya agar tidak melakukan sesuatu yang akan membuat malu suaminya itu nantinya. Tapi bagaimana dengan Rey sendiri? Bukankah suaminya yang tidak tahu diri itu saat ini justru tampak sedang tersenyum manis pada wanita yang tengah menemaninya di mana seharusnya ia yang berada di sana? Berbicara tentang malu, Rey justru lebih tidak tahu malu ketimbang dirinya. Benar, 'kan? "Bukankah itu istri Presdir?" Suara celetukan itu yang berasal dari seorang wanita, sontak membuyarkan lamunan Fay dan membuatnya tanpa sadar mencari asal suara tersebut. Tak jauh darinya, hanya berjarak beberapa meter dari tempat ia berdiri, tampak dua orang wanita sedang mencuri-curi pandang ke arah dirinya. "Mengapa Presdir membawanya untuk menghadiri pesta besar malam ini?" Salah seorang dari kedua wanita itu terdengar sedang mempertanyakan tentang kehadirannya di ruangan pesta ini. Why? Apakah ucapan Rey selama ini padanya memang benar bahwa ia tidak pantas untuk pergi ke pesta-pesta yang dihadiri oleh suaminya itu? Fay melirik ke arah gaun yang ia kenakan, gaun sederhana yang sempat mendapatkan cibiran sinis Rey saat suaminya itu melihat apa yang ia pakai ketika keluar dari kamarnya. Tapi ini bukan salahnya, hanya ini satu-satunya gaun termahal yang ingin ia beli dengan uang yang ia tabung selama ini. Sedangkan Rey, jangankan memberikan jatah bulanan padanya, menyentuhnya saja suaminya itu tampak jijik ingin melakukannya. Dan jika ia diharuskan memakai gaun yang pantas dengan setelan yang Rey kenakan di tubuhnya agar bisa mendampingi suaminya itu ke sebuah pesta, ia bukannya tidak mampu membelinya. Hanya saja, Fay tidak ingin membuang uangnya yang ia dapatkan dengan susah payah hanya demi menyenangkan suaminya yang sama sekali tidak peduli padanya. Bodo amat dengan pendapat orang lain! Toh, bukan mereka yang menghidupi dirinya. "Pantas saja Presdir lebih merasa nyaman didampingi oleh Nona Yuni, secara dari penampilannya saja dan latar belakang keluarganya, Nyonya Presdir sama sekali tidak bisa disamakan dengan Nona Yuni yang berasal dari keluarga konglomerat. Lagipula, dengar-dengar dulu Presdir telah menjalin hubungan cukup lama dengan Nona Yuni sampai Presdir dipaksa untuk menikahi Nyonya yang sekarang. Bukankah itu artinya Nyonya bisa dikatakan sebagai Pelakor?" 'Pelakor? Memangnya mereka sudah menikah ketika dia melamarku tiga tahun yang lalu?' rutuk Fay dalam hati. "Bagi semua yang hadir malam ini, mohon perhatiannya sebentar!" 'Terima kasih, Tuhan.' Akhirnya Fay bisa menghembuskan napas lega saat suara seorang pria terdengar lantang di speaker ruangan, menginterupsi percakapan kedua wanita yang sejak tadi asik membicarakan tentang dirinya. Well, ini bukan pertama kalinya Fay dibanding-bandingkan dengan wanita lain. Ia sudah kebal menghadapi semua itu gara-gara hidup selama tiga tahun dengan Rey Danendra yang tak pernah merasa puas terhadap dirinya. "Aku tahu kau wanita kampung, tapi tidakkah kau memiki baju yang lebih menarik yang bisa kau pakai untuk menyambut kedatangan suamimu di rumah?" "Makanlah di dapur! Kau membuat napsu makanku menjadi hilang karena harus satu meja denganmu!" "Dasar wanita sial, bagaimana aku bisa betah di rumah jika harus selalu melihat wajahmu itu!" Bla, bla, bla, dan masih banyak lagi hinaan yang terus terngiang di telinga Fay, terus berdengung hingga membuatnya tidak bisa berkonsentrasi dalam mendengarkan sambutan dari Rey. Hanya satu kata yang tertangkap oleh indera pendengarannya, "Salut." Yang menutup kata sambutan Rey yang kemudian disusul dengan teriakan para tamu yang mengulangi kata tersebut sambil mengangkat gelas mereka. 'Ini saatnya!' Fay menenggak habis isi gelasnya sekali lagi, mengacuhkan rasa panas yang tiba-tiba mulai menjalar di sekujur tubuhnya. Rasa itu seakan membakar tenggorokannya dan menimbulkan perasaan tidak nyaman untuknya. "Apakah aku sudah mabuk?" bisiknya, sedikit terhuyung ketika ia ingin memberikan gelas yang telah kosong di tangannya pada pelayan yang lewat kembali di dekatnya. Pelayan itu menangkap pergelangan tangan Fay yang sedang memegang gelas, "Apa Nyonya merasa pusing?" tanyanya. Fay mengangkat wajahnya, mencoba menatap wajah pelayan itu, namun pandangannya kabur. Padahal jaraknya dengan pelayan itu sangat dekat. "Sepertinya Nyonya sudah mabuk, apa Nyonya ingin istirahat dulu di ruangan lain?" Fay hampir mengangguk, tetapi sebuah suara yang terdengar bertanya pada pelayan yang tengah menolongnya, membuatnya sontak mengalihkan pandangannya ke arah pria yang baru saja berbicara itu. "Apa yang terjadi?" 'Rey?' "Kelihatannya Nyonya sudah mabuk, Tuan," jawab pelayan yang berdiri di sisi Fay. Pelayan ini tampak saling bertukar pandang dengan Rey yang tengah melangkah ke arah sang istri tanpa sepengetahuan Fay. "Mabuk? Bukankah aku sudah memintamu untuk menjaganya?!" bentak Rey pada pelayan itu. "Dan kau!" kini ia beralih pada Fay yang sedang berusaha keras mempertahankan kesadarannya. "Tadi aku sudah memperingatkanmu, 'kan agar kau jangan melakukan sesuatu yang akan membuatku malu di pesta ini? Lalu apa ini?!" Fay tidak bisa menjawab pertanyaan itu, kesadarannya perlahan-lahan mulai memudar. Dan sekeras apapun usahanya untuk menjaga dirinya agar tetap bisa berdiri tegak, kakinya sama sekali tidak menanggapi perintah otaknya itu. Kaki itu terasa lemas, Fay merasa seolah ia tidak lagi berpijak di lantai. Kerongkongannya sangat kering, ratusan kupu-kupu seakan beterbangan di dalam perutnya dan menggoda area intimnya. Keringat dingin memenuhi keningnya, sementara hasratnya untuk disentuh kini telah membuatnya tidak lagi bisa berpikir secara logis. "Dasar wanita sial! Bawa dia pergi ke hotel di sebelah gedung ini! Untung saja aku telah menyewa sebuah kamar di sana. Padahal acara baru saja dimulai, tapi dia sudah berulah di sini." "Aku ingin pulang saja," protes Fay, di sisa-sisa kesadarannya yang masih bisa ia pertahankan. "Pulang?" Rey mendelik gusar. "Apa kau gila? Aku masih harus berada di acara ini," desisnya sambil menatap sang istri dengan geram. "Dengar! Aku bisa pulang sendiri dengan taksi, cukup antar saja aku ke luar," pinta Fay masih bersikeras. Ia sudah merasakan ada yang tidak beres dengan dirinya, dan ia tidak ingin hal ini dimanfaatkan oleh Rey. Setidaknya itu yang terpikirkan olehnya dalam kondisinya sekarang. "Tidak! Sebaiknya kau tunggu saja aku di kamar hotel itu, nanti setelah acara selesai aku akan menjemputmu di sana!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD