Secret Lunch

1358 Words
The Handsome CEO and I 5 Secret Lunch Aku menatap ke arah ragu ke arah Gio dengan pipi yang aku yakin warnanya semerah tomat saat Gio memintaku untuk membuka mulutnya dan menyuapiku dengan tangannya. Dulu ini adalah hal biasa bagi kami tapi saat ini tentu saja berbeda apalagi aku merasa detak jantungku menjadi berdetak sangat kencang saat tatapan kami bertemu. Aku mengunyah pelan nasi dengan sayur kangkung dan ayam goreng kumasak tadi pagi, rasanya sangat lezat. Mungkin karena Gio yang menyuapiku padahal aku tak begitu suka sayur ini. setelah menyuapiku, Gio segera menyuapi dirinya sendiri. Kemudian Gio menyuapiku lagi hingga kotak nasi di tangannya itu menjadi kosong. “Thanks makan siangnya, Lia. Besok, biar aku yang akan membawakan makan siang untuk kita. Aku akan meminta kakakku untuk membuatkan makanan untuk kita. Aku yakin kamu akan suka masakan kakakku, dia jugasangat pandai memasak,” Gio berkata dengan nada membanggakan kakaknya. “Baiklah,” aku tersenyum untuk menutupi debaran di dadaku yang semakin berdebar saat tatapan kami bertemu. “Aku masih tak menyangka kamu akan secantik ini, Lia,” Gio menyentuh rambutku dan menyampirkannya ke belakang telinga membuatku darahku tersirap. “Ah, sudahlah. Kamu kembali ke ruanganmu sana, nanti orang-orang akan memergoki kita di sini,” aku segera mendorongnya ke arah pintu. “Kenapa kalau mereka memergoki kita? Kita hanya sedang makan siang, Lia. Bukan sedang b******a,” Gio tertawa. Perkataann Gio tadi sukses membuatku makin merasa jengah, aku segera memukul lengannya dengan wajah merah padam. Dalam hati aku berkata aku tidak mau menghadapi para fans dia yang sudah mulai brutal ketika ada yang dekat dengan idola mereka. “Kamu makin cantik kalau merona seperti itu,” Gio terkekeh. “Sudah pergi sana, jangan menggodaku terus. Lama-lama aku bisa jatuh cinta sama kamu,” aku mendorongnya keluar dari ruangan. “Nanti aku antar kamu pulang, Lia. Aku ingin tahu dimana kamu tinggal,” “Buat apa?” Gio hanya tertawa sambil meninggalkan tempat ini. Aku menatap punggungnya yang saat kami kecil dulu menjadi tempat bersandarku saat dia menggendongku ketika kami pulang sekolah. Aku suka sekali mengusilinya dulu, dengan alasan capek maka Gio akan menggendongku pulang sekolah dan menurunkanku tak jauh dari rumah. Setelah itu aku akan berjalan kaki menuju rumahku karena kedua orang tuaku pasti akan memarahiku kalau tahu Gio menggendongku. Aku tersenyum mengingat hal itu. Dulu keluarku termasuk keluarga kaya di kampung, ayahku seorang pegawai negeri sipil sedang bunda berjualan kebutuhan sehari-hari di rumah sedang keluarga Gio adalah keluarga paling miskin di sana. Gio dan ibunya sering kali mendapat hinaan dari orang kampung karena kemiskinannya. Tapi kondisi kami berbeda sekarang. Setelah ayah meninggal karena sakit yang dideritanya waktu itu kondisi ekonomi keluargaku mulai menurun karena harus mengobatkan ayah kesana kemari apalagi saat mulai muncul pesaing untuk warung bunda. Kondisi ini makin memburuk ketika mini market mulai bermunculan di dekat warung Bunda. Sedang Gio memiliki segalanya saat ini. “Kok bengong, Lia?” sebuah sentuhan di bahu mengagetkanku. Aku melihat Tina tergelak menatapku. Aku segera mengerucutkan bibirku, kami segera melangkah ke meja masing-masing. “Aku tadi lihat kamu berbincang dengan cowok, siapa?” “Siapa?” tanyaku dengan d**a berdebar, takut ketahuan kalau Gio dari sini. “Ditanya malah gantian nanya,” gerutu Tina sambil terkekeh. “Yah kan banyak yang dari sini,” “Yang pakai kemeja putih digulung,” “Oh, Fani. Temanku waktu kecil dulu,” “Kamu tidak berkhayal lagi, kan?” Tina memegang dahiku. “Ih, apaan, sih. Aku masih waras tauk!”aku menyingkirkan tangan Tina dengan cemberut. Tina langsung terkekeh. Beberapa hari ini suasana di kantor berlangsung seperti biasa, para karyawati yang tergila-gila pada Gio berusaha untuk menarik simpati cowok itu. Aku melihat mereka berbicara tentang Gio seakan Gio adalah artis idola yang sangat terkenal. Mereka tak segan mengirimi Gio coklat, bunga dan hadiah-hadiah lainnya agar cowok itu memperhatikan mereka. Aku sering meledek Gio dengan masalah itu saat kami melakukan makan siang rahasia kami di ruanganku, atau sesekali di ruangannya saat ada orang lain di ruanganku. Makan siang rahasia…., aneh juga, lucu ya kedengarannya. Aku sangat menikmati saat makan siang bersama Gio, ada banyak hal yang kami bicarakan saat kami bersama, masa lalu kami, masa saat kamikami terpisah juga harapan akan masa depan masing-masing. ”Kamu yakin kamu akan menikah dengan Ivan dan menghabiskan waktumu dengan orang yang kamu bahkan tidak tahu siapa dia?” tanya Gio saat kami berada roof top setelah suapan terakhirnya. Hari ini kami sengaja naik ke roof top untuk mencari suasana baru untuk makan siang rahasia kami karena sangat jarang orang yang akan datang roof top meski tempat ini telah didesain seperti taman. Terkadang saat makan siang begini aku merasa seperti kami sedang melakukan back street “Harus yakin,” aku tersenyum, terus terang saja kedekatanku dengan Gio membuatku sedikit goyah dengan keyakinanku akan Ivan, aku harus menyadarkan diriku kalau aku hanya seorang sahabat baginya, tak lebih. Karena itu aku tak mau berharap lebih dengan hubungan kami dan melepaskan Ivan begitu saja. Bagaimanapun aku yakin Ivan adalah orang yang baik untukku. “Kamu gak tertarik padaku?” tanyanya sambil meminum orange jus dari botol plastic yang dibawanya. “Terlalu banyak saingan, bisa mati cemburu kalau aku sama kamu,” aku tergelak dengan d**a berdebar kencang. Gio tertawa mendnegar jawabanku. “Siapa suruh kamu terlalu tampan sekarang,” aku terkekeh, “kamu sendiri siapa yang akan kamu pilih? “Ada, nanti kamu juga akan tahu, kok.” Gio tesenyum manis tatapannya sperti menggodaku. Jawaban Gio membuat ada sesuatu di dalam hatiku yang sedang bertunas seperti tercerabut begitu saja. Sakit? Iya, sangat sakit. “Selamat kalau begitu,” aku tersenyum, menyalaminya, “kapan kamu akan mengenalkan dia padaku agar dia tidak salah paham dengan hubungan kita.” “Kamu sudah kenal dia, sangat mengenalnya,” suara Gio terdengar sangat serius membuatku menatapnya dan kami bersitatap sangat lama. Entah kenapa aku merasa ada yang aneh dalam tatapan Gio. “Jangan menatapku begitu, nanti kamu bisa jatuh cinta,” Gio menonyor dahiku sambil tersenyum. “Ih, sakit, tauk!” teriakku sambil melotot ke arahnya membuat Gio malah terkekeh. “Yuk, ah ayo turun,” ajak Gio setelah melihat jam tangannya. “Kamu duluan, aku mau di sini dulu sebentar,” aku sengaja tidak turun bersama Gio karena tak mau terjadi kehebohan dan Gio tahu itu. “Oke, aku tinggal dulu,” Gio menepuk bahuku kemudian menruni tangga menuju lantai dibawahnya. Aku mengangguk dan menatapnya hingga dia hilang dari pandangan mataku, perkataan Gio yang mengatakan kalau dia sudah mempunyai pilihan sangat mengusik hatiku. Dia bilang aku sangat mengenalnya itu artinya gadis itu adalah karyawan sini juga. lima menit kemudian aku turun dari tempat ini. Tak terasa sudah sebulan lebih aku dan Gio selalu makan siang bersama di saat para karyawan yang lain makan di kantin. Aku selalu menikmati setiap suapan yang dia berikan padaku, membuat setiap makanan yang kusantap terasa lebih nikmat. Seandainya ada yang melihat kami saat seperti ini dan mereka tak tahu hubungan kami, aku yakin mereka akan menganggap kami sebagai sepasang kekasih. Aku memasuki ruangan dan melihat ketiga temanku sudah ada di sana di kubikel masing-masing. Aku tersenyum pada mereka sambil duduk di kursiku. Aku meletakkan pantatku di kursi dan memasukkan kotak makananku ke dalam ransel. “Dari mana? Biasanya kamu paling betah di tempat ini,” Tina menatapku. Aku tersenyum . “Cari suasana lain, bosen di sini,” “Hahahaha, palingan Lia ketemuan sama Fani,” "Iyes, Kok kamu bener nebaknya, sih," aku terkekeh. "Ya, siapa lagi yang kamu temui kalau bukan Fani," balas Ersa. "Aku jadi penasaran bagaimana muka Fani," Aku hanya tertawa. Kehidupan di kantor yang tadinya tenang berubah menjadi menjadi penuh bara ketika para karyawati yang tadinya bersatu untuk mendapat simpati Gio sekarang malah bersaing satu sama lain untuk mendapatkan Gio. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala melihat hal itu apalagi ketiga sahabatku juga saling sikut untuk bisa sekedar melihat Gio. Kalau saja mereka tahu kalau Gio selalu menghabiskan waktu makan siangnya denganku apa mereka akan membenciku, seperti mereka menyerang seorang karyawan yang mencoba mendekati Gio dalam suatu kesempatan. Mereka membuat gadis itu harus masuk klinik perusahaan karena ada yang mendorong dia usai bertemu Gio hingga pihak perusahaan kemudian menyelidiki kasus ini. *** AlanyLove
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD