The Anger

1535 Words
“Kok mirip aku?” Tanya Ale pada Rena yang baru saja selesai menggambarkan sketsa wajahnya. Memenuhi janji, Ale menjemput Rena sebelum jam makan siang, Ale mengajaknya menghabiskan makan siang dia sebuah restaurant di pinggir pantai Jakarta, Segara. “Ya itu memang kamu lho,” jawab Rena sebal. sepanjang perjalanan dia diabaikan oleh Ale, dia berpura-pura sibuk menjawab telepon urusan pekerjaan, atau setelahnya dia berpurapura mencari jalan. Padahal jelas sudah pakai gps. Memangnya Rena anak TK yang bisa dibohongi? Rena sadar betul kelakuan Ale itu di akibatkan karena dia sedang merajuk padanya. Jadilah Rena sibuk menghibur dirinya dengan menggambar pada handy sketch book yang selalu bertengger di dalam tasnya itu. Rena menggambarkan wajah Ale yang sedang merengut, dengan harapan dapat meluluhkan hati kekasihnya itu. “Itu kamu kalau lagi ngambek,” tambah Rena. “Aku nggak ngambek.” Rena terlihat kesulitan menahan senyumnya saat mendengar Ale yang mengaku tidak merajuk tapi tetap menjawabnya dengan ketus. “Oh iya, Ayah mengundang kamu makan malam di akhir minggu ini, bisakan Al?” “Kok?” tanya Ale bingung. “Aku sudah ngomong sama Ayah semalam kalau kita berdua saling menjalin hubungan.” “Hubungan apa?” Rena tahu Ale menanyakan ini hanya untuk menggodanya saja, tapi entah kenapa dia tetap kesal mendengarnya. “Hubungan bisnis!” jawab Rena yang ikuta sebal. Ale tertawa, dan mencubit pipi Rena dengan gemas. Setelah satu jam lebih dia bertemu dengan Ale, akhirnya Rena dapat melihat senyum magis Ale yang membatnya terlihat sangat manis. “Ren, aku boleh minta tolong nggak?” tanya Ale tiba-tiba. “Apa?” “Karena kamu jago gambar, akum au minta tolong sama kamu tolong buatin design sepasang cincin.” “Cincin?” tanya Rena, Ale mengangguk antusias, “Karena kamu sudah bicara dengan ayahmu, Akhir pekan nanti aku juga berniat bicara dengan beliau. Untuk meminnta ijin menjalin hubungan dnegan anaknya secara serius.” Rena mengerjapkan matanya berkali-kali. Anggap saja dia bebal, tapi dia sungguh tak mengerti apa yang di maksud oleh Ale, maksudnya menjalin hubungan dengan serius itu gimana? Memangnya selama ini dia tidak serius? “Kenapa begitu mukanya?” Rena menepis tangan Ale yang hendak mencuubit pipinya untuk kesekian kalinya. “Aku serius loh Ren.” “Memangnya selama ini nggak serius?” Ale berdecak mendengar pertanyaan Rena, dia baru tahu kalau Rena ini sama lemotnya dengan adiknya. “Ya serius dong, tapi akum au buktiin ke Ayahmu kalau aku nggak main-main jalani hubungan sama anaknya. Makanya aku minta kamu menggambarkan sepasang cincin, biar nanti aku buatin cincin yang sesuai dengan gambarmu.” “Tujuannya,” tambah Ale buru-buru saat Rena terlihat ingin memotongnya. “Sebagai bukti pada Ayahmu kalau aku dan kamu itu menjalin hubungan yang punya tujuan.” Rena mengangkat tanganya dan menutup mulut Ale dengan tak sabaran. “Persingakat aja Al, aku nggak ngerti kamu ngomongnya muter-muter.” Ale mengambil tangan Rena yang bertengger di mulutnya, dia mengecupnya sebelum menggengggam tangan itu. “Pernikahan.” Rena menegang, Jadi ini maksudnya dia sedang melamar ya? “Ya nggak langsung menikah dalam waktu dekat, tapi aku mau Ayah kamu tahu kalau aku menjalin hubungan dengan kamu itu ya memang seserius itu.” “Kapan?” tanya Rena menantang. Bukannya menjawab Ale melah tertawa terbahak-bahak, dia mencuri sebuah ciuman di sudut bibir Rena. Seperti biasa Rena akan memukul bahunya sambil mendelik setiap kali ale melakukannya di tempat umum. Memang mau di mana lagi? Selama ini mereka selalu menghabiskan waktu berdua di tempat yang ramai seperti ini. Selama ini Rena tidak memberi kesempatan lain untuk Ale bermanja-manja ria. “Nanti, memang nggak secepatnya, tapi segera. Beri aku kesempatan sebentar saja untuk menempatkan diri menjadi laki-laki yang pantas untuk kamu.” “Memang siapa sih yang bilang kalau kamu ini nggak pantas?” tanya Rena sedikit kesal. “Ya nggak adalah, tapi aku ini laki-laki Ren, punya egonya sendiri.” Rena mengangguk pura-pura mengerti. “Gimana?” “Apanya?” sungguh Ale seperti sedang bicara dengan Nissa. “Gambar cincinnya Rena.” Rena membulatkan muluntnya baru mengerti. “Tapi aku tetap di bayarkan?” Sudah tak ada lagi senyuman yang bisa Rena tahan. Dia menarik ponselnya dari atas meja dan membuka kamera untuk menangkap wajah Ale yang terlihat semakin menggemaskan di matanya itu. “Kamu serisu minta bayaran?” “Ya nggak dong Al, aku cuma bercanda.” Ale mendengus tak percaya, ternyata Rena bisa menggodanya juga. “Ya udah, nanti aku buatin. Kalau sudah jadi aku kirim ke kamuy a, biar kamu bisa langsung bawa ke toko perhiasan.” Ale mengangguk setuju. “Atau…” tambah Rena sedikit menggantung. “Kalau aku aja yang buat gimana?” kedua alis Ale menyatu. “Aku pikir kamu udah mengerti soal kalimat aku tadi, tentang aku yang mau menjadi laki-laki yang sepantasnya untuk kamu. Sekarang kamu malah menawarkan diri untuk membeli cincinya, aku masih mampu kalau Cuma beli cincin Rena.” Ale memegang dadanya seperti ingin memberi tahu dirinya kalu dia sudah merasa tersinggung. “Bukan gitu maksudnya Al, aku tadi bilangnya buat. Bukan beli.” Ale menghempaskan punggungnya pada kursi, merasa percuma bicara dengan Rena. “Aku yang buat, nanti kalau kamu bayar aku kalau sudah jadi.” “Memangny akamu bisa buat cincin?” Rena menarik kalung dengan bandul hati yang melingkar di lehernya, dia mengangkatnya dan menunjukan pada Ale. Di lihatnya Ale tidak memberikan respon apa-apa, dia lantas membuka kaitan kalungnya dan sebelum di berikan pada Ale. “Kalung ini aku buat sendiri, bukan berbahan emas memamng, hanya perak tapi aku buat pakai tangan aku sendiri. Ini yang aku tawarkan tadi, aku yang buat, mana tahu lebih bermakna lagi kan?” Ale meneleti kalung yang tadi Rena berikan dengan seksama, memang tidak seperti kalung yang terjual di toko perhiasan. Potongan bandul yang berbentuk hati itu tidak semulus kalung kebanyaka. Tapi kalau di bandingkan dirinya jelas rena jauh terlhat luar biasa di mata Ale. “Selain keramik kamu buat perhiasan juga?” tanya Ale sedikit takjub. Rena mengangguk, “Perak, melukis, keramik, atau hal-hal yang berbau tentang kerajinan. Aku suka semua.” Pipinya merona ketika matanya bertemu dengan mata Al yang memandangnya dengan binar yang berbeda. “Kalau cincin kamu bisa buat?” tanya Ale, “Cincin nikah sepupuhku, itu aku yang buat.” Ale semakin terlihat takjub. “Kalau gitu kamu aja yang buat, aku tetap bayar ya?” jawba Ale sedikit bergurau. *** Suasana makan malam penuh suka cita, yang Rena harapkan lenyap sudah. Selain suara dentingan sendok dan garpu tak ada satupun di antara mereka yang mengeluarkan suara. Begitupun dengan Ale, wajahnya nampak sendu seperti sedang memikirkan banyak hal. Tadi saja saat Rena bertanya pada dirinya Ale menjawab hanya dengan gumaman saja. “Apa kamu suka meminum kopi Al.” Ale mengangguk. “Hampir seluruh hidup saya berkecimpung dengan kopi, rasanya mustahil kalau saya nggak suka kopi.” “Ayah nggak suka kopi, padahal Ayah pengusaha kopi,” timpal Rena. Ini benar, dan diapun baru menyadari hal itu belakangan ini. Ayahnya adalah pengusaha kopi, tapi tidak sekalipun Rena melihat Ayahnya meminum kopi. Ale menatap Bima dengan heran. “Pak Bima nggak suka kopi? Lalu bagaimana cara Bapak mengatur kalitas setiap kopi yang di produksi?” Bima tertawa mendengarnya, mungkin bagi orang lain itu adalah suara tawa ramah tamah belaka. Tapi bagi Rena yang sudah hidup bersama Ayahnya sepanjang usianya tahu betul, kalau tawa itu biasa di gunakan oleh ayahnya jika sedang merendahkan orang lain. “Memang Ayahmu suka meminum kopi?” Kening Ale terangakta tinggi. Benar, dia juga baru sadar kalau ayahnya sendiri jarang meminum kopi, bukannya tidak pernah hanya sesekali saja itupun sangat jarang tejadi. Dia bukan penikmat kopi seperti dirinya. “Jadi kamu ke Jakarta untuk mengurus usaha mu?” tanya Bima tiba-tiba. “Betul, bisnis starup.” “Kenapa bisa nggak ada hubungannya dengan kopi?” Rena yang sejak tadi diam, mulai menyibukan matanya memandang Ale dan Ayahnya secara bergantia. “Kamu nggak tertarik dengan dunia kopi?” Ale masih tetap diam, mungkin dia bingung ingin menjawab apa. “Saya hanya penasaran saja, kalau memang kamu nggak tertarik dengan dunia kopi Al, lalu kenapa kamu rela bolak-balik Jakarta Banyuwangi?” “Tanggung jawab, dan kewajiban, meski saya nggak memiliki minat sepenuhnya dengan dunia kopi tapi sebagai anak laki-laki satu-satunya dalam keluarga, saya seperti wajib memenuhi tanggung jawab itu.” Tangan Bima terangkat dan menunjuk Rena yang sedikit terkejut. “Rena juga anak saya satu-satunya, tapi dia merasa memiliki kewajiban untuk memenuhi tanggung jawab yang sama dengan kamu.” Kepala Rena kini tertunduk sangat dalam, ini memang bukan pertama kalinya dia disindir oleh ayahnya, tapi ini sedikit berbeda karena ayahnya berbicara dengan Ale. “Jadi kalau memang kamu ingin menjalani hubungan yang serius dengan Rena, tanggungjawab dan kewajibanmu akan semakin bertambah, karena paling tidak kamu juga harus mengurus perusahaan saya. Memangnya kamu tidak keberatan?” Rena mengangkat kepalanya, dan menatap Ale. Rena nggak yakin apa yang sedang dipikirkan oleh Ale saat ini, tapi pernyataan ayahnya barusan jelas membuat kepalanya sedikit berputar. Bahkan setelah menikahpun Ayahnya tak akan membiarkan hidupnya tenang juga? Matanya kini menangkap mata Ale, ada sedikit senyum yang tersunging, hanya sedikit. Tak akan terlihat jika tak di perhatikan dengan baik. Rena gagal menangkap maksud Ale, karena yang terjadi selanjutnya Rena berdiri dan berlari ke dalam kamarnya untuk menangis. Lagi. []
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD