Another Fight

1831 Words
(Banyuwangi - 2015)  Rena sedang mengikat rambutnya yang tertiup oleh angin. Dia tengah berada di sebuah saung yang terletak di kebun kopi milik kolega ayahnya. Rena terpaksa menuruti permintaan ayahnya untuk ikut sampai kesini. diiming-imingi oleh sang ayah akan berlibur ke Bali melalui jalur darat, Rena jelas setuju tanpa pikir dua kali. Karena tawaran itu jarang sekali terjadi, jangankan pergi berlibur ke Bali untuk pergi menghabiskan hari ke mall saja dia nggak pernah di beri kesempatan sama sekali. Tapi, ketika sampai di Banyuwangi alih-alih menuju pelabuhan untuk menyebrang, ayahnya justru berhenti di kebun kopi ini. Rena lantas tersadar bahwa liburan ini hanyalah akal-akalan sang ayah agar dirinya tidak punya pilihan lain selain ikut dengannya. Dia lupa kalau ayahnya seperti punya seribu cara untuk mengelabuinya. Ayahnya adalah sorang pengusaha kopi, dan telah lama mengincar kebun kopi di beberapa daerah untuk diambil alih termasuk kebun kopi ini. Ayahnya telah lama pula memaksa Rena, anak satu-satunya itu ikut terjun dalam bisnisnya, yang tentu saja di tolak mentah-mentah oleh Rena. Dia tidak mau terlibat apapun yang berhubungan dengan usaha ayahnya itu. Dia bahkan tak mau repot memberikan sedikit waktunya hanya untuk sekedar tahu, berapa kebun kopi yang sudah dimiliki ayahnya, atau berapa banyak perusahaan yang kini telah berhasil ayahnya akuisisi. Rena telah jatuh hati pada kerajian tangan perak, perhiasan, dan keramik. Dia bahkan sudah mendesign cincin perak untuk sepupuhnya yang akan dipakai di hari pernikahanya bulan depan. Karena kesal Rena diam-diam menyelinap pergi tanpa sepengetahuan ayahnya, mengabaikan pertemuan itu dan memilih berkeliling, menyapa beberapa petani kopi. Sesekali membantu dan bertanya hal-hal ringan untuk menghibur diri. "Mbaknya ayu yo," komentar salah seorang petani yang dia hampiri. "Calon mantennya Mas Ale ya Mbak?" Dahi Rena mengernyit bingung dengan nama yang baru saja di sebut. “Oh, bukan Pak, kebetulan saya hanya tamu di sini," jawab Rena sambil memberikan senyuman manis sebelum pamit pergi untuk meninggalkan gerombolan petani yang sedang beristirahat. Lama berjalan dan berkeliling Rena sampai tak sadar sudah di mana posisinya kini, dia sibuk celingukan melihat sekeliling karena lupa jalan kembali. Ck, sok tahu sih lo Ren. Kebun sebesar ini mau dikelilingin jalan kaki. Entah di bagian kebun sebelah mana dia berdiri sekarang, yang jelas langkahnya terhenti menatap rumah tua khas Jawa Timur, dengan asap mengepul keluar dari atap. Bukan, itu bukan kebakaran. Dari warna asap yang mengepul masih berwarna putih dengan sedikit abu yang tertiup angin, Rena tahu betul itu adalah asap yang dihasilkan dari tungku yang di pakai untuk pembakaran keramik. Tanpa pikir panjang Rena memang berniat untuk mengunjungi rumah tersebut, tapi langkahnya terhenti saat dia tersadar kalau ada tembok perbatasan di antara kebun dan permukiman yang tingginya hampir menyamai tinggi tubuhnya sendiri. "Apa dipanjat aja? Tapi kan gue pake rok," kata Rena bergumam sekali lagi. Belum sempat terealisasi untuk memanjat dinding itu, ponsel di tangannya berdering. Ayah is Calling... "Hallo Yah?" "Dimana sih Ren?" "Rena juga nggak tau ini di mana." Dengusan ayahnya nyaring terdengar. "Gimana bisa sampai nggak tahu, memang kamu jalannya sambil tidur?" Tatapan Rena kembali ke tembok pembatas tadi. "Rena masih di kebun kopi, di dekat perbatasan permukiman. Ayah kesini deh, jemput. Rena nggak tahu arah balik." "Apalagi Ayah Ren." Sudut bibir Rena tertarik ke atas, jelas kesempatan ini akan dipakai Rena kabur ke rumah tua itu. "Ya sudah tunggu di situ, nanti Ale yang jemput." Kemudian ayahnya memutus sambungan telpon begitu saja. Ck! Siapa sih si Ale ini? bikin haus aja. *** (Jakarta - 2018) "Jadi, kapan kamu mau kasih aku anak laki-laki Ren?" Kalimat itu meluncur tepat saat Rena membuka pintu kamarnya. Kalimat yang sama berulang-ulang keluar dari bibir suaminya itu sepanjang dua tahun pernikahan mereka. Entah saat pagi ketika mereka tengah menyantap sarapan, atau malam hari saat Rena bersiap untuk tidur. Tak ada kalimat sayang, atau pertanyaan remeh-temeh sebagai bentuk perhatian. Seperti sekarang, suaminya menyambutnya di kamar dengan baju tidur yang sudah sering dia pakai, kaos oblong dan celana olahraga berwarna usang. Dengan sebelah tangan menopang kepalanya dan tangan lainnya sibuk menggeser-geser sesuatu pada layar tablet yang di letakan di hadapannya. Orang akan berpikir kalau suaminya itu sedang menggodanya. Jelas salah besar, mana ada orang menggoda dengan nada jengah. Rena menghela nafas, sebelum berjalan menghampiri suaminya. Rena terduduk di ujung tempat tidur dan menarikan selimut dan guling yang diletakan di pangkuannya, bersiap untuk berperang. dia tahu ini akan jadi perdebatan panjang yang biasanya akan selalu dimenangkan oleh suaminya. Rena melirik suaminya sekali lagi yang nampak asik sedang membaca sebuah artikel, tanpa merasa terganggu oleh kehadiran Rena di dekatnya. Sepanjang hari Rena sudah memikirkan banyak kemungkinan yang akan terjadi di dalam pernikahanya setelah ini, tapi Rena tak punya pilihan lain demi menyelamatkan hatinya sendiri. "Jadi, kapan kamu mau ceraikan aku Al?" tanya Rena dengan nada yang sama jengahnya dengan Ale, ia pun jengah dengan keadaan rumah tangganya yang tidak tentu arah dan tujuannya ini. isinya hanya sebuah pertengkaran yang tak berkesudahan. Jari-jemari Ale yang tadi sedang menari di atas tablet lantas berhenti setelah mendengar ucapan Rena barusan. Ini jelas di luar dugaanya, terlihat dari bagaimana ia menggeretukan gigi menahan geram. Sesungguhnya Rena sudah tertelan oleh tatapan dingin yang di berikan Ale. Namun dia berhasil bertahan karena tak ada jawaban yang keluar dari bibir Ale. Setelah lima menit yang terasa bagaikan berjam-jam, perlahan senyuman Ale terukir, bukan senyuman manis yang seperti selayaknya suami berikan, melainkan senyuman mengejek yang terlihat begitu kental ingin menjatuhkan. “Kamu bilang kamu cinta mati sama aku," kata Ale dingin. Rena hanya menggeleng pelan, berusaha sekuat tenaga untuk terlihat baik-baik saja. Ale mendengus keras, melihat respon Rena. “What happened to I'll love you forever Ale?" tanya Ale sekali lagi dengan sedikit tawa yang mengejek. "Things change" bisik Rena. ‘Bertahan Rena’ bisiknya dalam hati. "What things?" Ale ikut terduduk dan bersandar di kepala ranjang sambil melipat kedua tangannya di depan d**a. sebuah sikap yang sama seperti dengan ayahnya saat bertanya kepada Rena, kenapa ia pulang lewat tengah malam. "Perasaanku berubah." Rena tidak akan tertipu oleh pembawaan Ale yang santai, namun ketegangan jelas terlihat di matanya. "Kamu terlihat sama," katanya dengan suara yang lembut. Tapi entah mengapa terdengar menakutkan di telinganya. "Masih seperti Rena yang kunikahi dua tahun lalu, orang yang mengaku telah jatuh cinta kepadaku, orang yang berhasil meyakinkan Ayahnya sampai Ayahnya mampu berbuat apapun demi mendapatkan apa yang dia inginkan." Tanpa mengubah nada suaranya, Ale berhasil menyerang Rena tepat pada sasaran. "Rena yang sama, Rena yang terlihat tak berdosa tapi penuh dosa. Kamu bahkan nggak mampu kasih satu satunya hal yang ku inginkan dari pernikahan yang menyedihkan ini." Rena tersentak memegang dadanya yang terasa sesak mendengar kalimat tajam yang keluar dari mulut suaminya barusan. "Kamu baru aja nambahin alasan lain buat aku nuntut cerai Al," jawab Ale dengan suara yang mulai bergetar. Air mata itu akhirnya tumpah juga. Ale mengangkat bahunya dengan angkuh. "Aku sudah kasih tau kamu dari awal pernikahan ini terjadi Ren, kamu nggak punya jalan keluar lain selain kasih aku anak laki-laki. Dan kayaknya itu nggak gampang buat kamu. Mengingat nggak adanya kemajuan yang kamu tunjukan." tajam, tepat sasaran. "Tega kamu Al!" bisiknya serak menahan sesak. "Nggak ada satupun dari kita punya banyak pilihan Ren." tutup Ale, meninggalkan Rena yang menangis tersedu sedan menuju kamar mandi membawa kemenangan. *** Butuh waktu bagi Rena untuk menenangkan diri, Dia menghapus sisa-sisa air mata. Kemudian ia bangkit mengambil pakaian tidur dari dalam lemari, sebelum menuju kamar mandi yang berada di kamar tamu. Rena butuh membersihkan diri, bahkan kalau bisa membersihkan semua memori yang baru saja di tinggalkan suaminya tadi. Setelah selesai dengan rutinitas malam sebelum tidurnya itu, alih-alih kembali ke kamar tidur mereka, Rena memilih turun ke dapur. Rasa-rasanya ia butuh minuman coklat panas. Setelah seharian mengurung diri di studio kecil yang berada di belakang rumahnya. Dan mendapat sambutan tidak menyenangkan dari suaminya setelah pulang, benar-benar membuat tenaganya terkuras habis. Rena membawa cangkir berisi coklat panas ke meja bar, mengulur waktu sebanyak mungkin untuk kembali ke kamar. Tapi niatnya gagal, karena tepat saat dia mendudukan dirinya di kursi bar, Ale muncul di belakangnya. "Kamu nggak kedinginan pakai baju kurang bahan kayak gitu?" Ale mengamati Rena yang mengenakan daster bertali spaghetti dengan panjang selutut. Tanpa menjawab Rena bangkit, dan menaruh gelas yang isinya belum berkurang sedikitpun ke dalam bak cuci. Dia berniat ingin meninggalkan Ale sendirian di dapur, tapi terhenti karena Ale sudah terlebih dahulu menarik kasar tangan Rena dan mendorongnya merapat pada dinding. "Nggak ada lagi pembicaran tentang perceraian Rena. Sampai kapanpun.” Ketegasan yang datang dari suara Ale terdengar semakin memuakan di telinga Rena. "Memang nggak akan ada, aku nggak akan membahas masalah ini lagi sama kamu selain di persidangan nanti,” jawab Rena berani. "Kamu beneran mau bercerai? " Rena mengangguk kaku. "Aku ingetin ya Ren, kamu bukan lagi terikat dengaku, tapi sudah terlilit. Banyak benang yang melilit kamu di pernikahan ini. Sepupuh kesayangan kamu salah satunya. Kalau-kalau kamu lupa, suaminya Nindy berhutang banyak sama aku untuk buka usaha percetakan Ren. Dan belum di kembalikan sepeserpun," apa ini ajakan Ale untuk bertengkar lagi, Rena curiga perdebatan mereka belum selesai juga. "Jangan libatkan Nindy, dia nggak ada sangkut pautnya sama pernikahan kita Al," jawab Rena tak habis pikir. Dia ingat Nindi pernah bercerita kalau Ray dapat pinjaman modal besar untuk membuka usaha percetakannya dari Ale awal tahun lalu karena perusahaan tempat Ray bekerja sudah tak bisa memberikan jaminan pada semua karyawannya. Tapi apapun itu, yang Rena yakini saat itu adalah Ale memberikan pinjaman itu murni karena memang ingin membantu atas kemurahan hatinya. Rena nggak percaya sama kepolosan dirinya sendiri. Pernyataan Ale barusan menyadarkannya bahwa segala kemurahan hati suaminya hanyalah senjata lain Ale untuk menyakitinya. "Aku akan melakukan apapun, untuk mendapatkan kembali apa yang kamu rebut." Rena menggeleng tidak percaya. Sungguh Rena lelah sekali, apa percakapan ini nggak bisa dilanjutkan besok saja? "Begitupun aku, aku akan melakukan apapun untuk menyelamatkan hidupku dari kamu. Aku yang akan bayar semua pinjaman mereka." "Dengan uang siapa? Dengan uangku? Atau uang ayahmu? Memangnya kamu bisa mengandalkan penghasilanmu dari kerajinan tanganmu? sudah berapa banyak yang terjual?" ini adalah sebuah penghinaan buat Rena. "Apa harus aku ingatkan lagi, bagaimana Nindy dan Ray di hina habis-habisan oleh Ayahmu waktu mereka datang untuk meminjam modal? Aku sih yakin banget Ayahmu pasti akan menghina mereka kembali kalau kamu datang meminta uang untuk membayar hutang mereka." “Ketahuilah Rena, Ayahmu akan melakukan segala cara demi mencegahnya perceraian kita, sebagaimana dia melakukan segala cara untuk membuatku menikahimu." Ale melepaskan genggamannya. "Dasar licik," desis Rena dengan wajah merah padam menahan amarah. "Siapa yang kamu bilang licik? kamu yang menginginkan pernikahan ini, ingat? Jadi kalau kamu mau bercerai dari aku, penuhi dulu permintaanku. Jangan paksakan kehendakmu Ren, sepupuh kesayanganmu yang akan jadi korban." Ale tau Rena tak punya banyak pilihan, dia tidak akan mengorbankan Nindy pada rumah tangganya. Tapi, kalau Rena tidak bisa menceraikan Ale. Maka Renalah yang akan membuat Ale menceraikannya. Sudah cukup Rena menjadi keset di dalam rumah tangganya sendiri. Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Rena memilih berbalik meninggalkan Ale di dapur. Rena tau tatapan Ale tidak lepas darinya saat dia tetap berjalan menuju kamar tamu, bukan ke kamar tidur mereka. []
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD