Tiga Tersangka

1241 Words
“Lu udah nemu sesuatu belum?” tanya Gilang pada Aditya yang sudah hampir setengah jam memperhatikan layar laptop yang memancarakan blue light di tengah gelapnya malam. Kalau dilihat dari jauh sudah seperti makhluk halus saja. Hanya terlihat putih di tengah kegelapan. Tapi, berbeda cerita ketika dilihat dari dekat. Sudah seperti meneteskan suatu zat kimia iritatif ke mata kita. “Belum,” jawab Aditya sangat singkat. Lebih singkat dari hubungan Gilang dan Risma yang tidak jelas. Seandainya saja yang singkat itu persoalan hilangnya Risma, bukan hubungan Gilang dengannya atau jawaban dari Aditya. Mungkin hidup ‘kan baik-baik saja. “Lama banget, sih. Lu lagi ngapain sebenarnya? Nontonin Mia Khalifa? Sebenarnya apa, sih, yang lu periksa?” Gilang bertanya dengan nada kesal, padahal dia hanya bercanda. “Daripada lu ngeluh doang, mending ikut periksa rekaman ini sama gue. Hidup lu bisa lebih manfaat sedikit.” Gilang akhirnya ikut menatap layar laptop yang menyilaukan itu. Sebetulnya Gilang malas, kasihan matanya yang tidak berkacamata. Tapi, mau bagaimana lagi. Dia yang punya hajat, masa iya dia hanya berdiam diri. “Ini gue masih merhatiin rekaman pas jam pulang sekolah, jam empat sore. Dan, gak ada yang mencurigakan dari semua sudut. Risma juga pulang seperti biasa. Jalan kaki,” jelas Aditya yang sudah lebih dari setengah jam mengamati rekaman itu. “Mungkin sia-sia aja apa yang kita lakuin ini, Lang. Mending kita pulang aja sekarang. Udah jam sebelas juga.” Ekspresi Gilang berubah kecewa. Awalnya dia kira dia akan menemukan sesuatu. Tapim nyatanya dia hanya membuang tenaganya. “Lu harus paham, Lang. Gak semua usaha bakal membuahkan hasil memuaskan. Mungkin lain kali lu bisa dapet sesuatu,” Aditya mencoba untuk memberi wejangan pada Gilang layaknya seorang mentalis yang sedang memberi motivasi pada orang-orang yang berada di ambang kehidupannya. Iya, mentalis botak yang terkenal itu. Gilang bangkit dengan rasa kecewa. Berjalan gontai layaknya seorang yang tidak menginginkan kehidupan. Semua itu disebabkan dirinya sudah sangat berharap bisa mendapat sebuah pembelaan atas semua tuduhan yang dilemparkan kepadanya. Namun, kenyataan berkata lain. Lagipula apa yang bisa didapat dengan memeriksa rekaman CCTV sekolah untuk mendapat petunjuk seorang siswi yang hilang entah ke mana? Aditya sudah membereskan barang-barangnya. Gilang juga sudah menunggu Aditya untuk membantunya menaiki benteng itu dan segera pulang ke apartemen Aditya. Lalu, mereka akan tidur nyenyak sambil berharap hari esok hidup sudah menjadi lebih baik. Atau kalaupun tidak menjadi lebih baik, setidaknya Gilang sudah tak hidup di dunia. “Mudah-mudahan gak ada yang liat kita dan kita gak disangka maling. Bahaya kalau ada yang liat. Mau apa juga anak SMA seperti kita malam hari datang diam-diam ke sekolah,” ucap Aditya sambil bersiap menaiki benteng. Namun, Gilang hanya terdiam. Dia terus saja menatap keluar gerbang pembatas halaman belakang sekolah itu. Gerbang yang menghadap ke belakang perpustakaan itu terlihat bergoyang, pikir Gilang. Dia tersu saja memperhatikan gerbang itu. Dia yakin ada seseorang di balik gerbang itu. Dia bisa melihatnya dari celah-celah yang ada di gerbang iu. Benar saja. Gilang melihat ada sesuatu serba hitam bergerak. Setelah itu, makhluk tersebut hilang begitu saja. Gilang tak bisa melihatnya dengan jelas karena keadaan di sekitar gerbang sangat gelap. Tapi, penglihatan Gilang sangatlah tajam. Dia bisa melihat keberadaannya meskipun keadaan sangat gelap dan jarak yang jauh. Mungkin jarak antara Gilang dan gerbang itu sekitar 5 meter. “Woy! Kenapa lu malah ngelamun gitu? Lu kesambet setan?” tanya Aditya yang membuyarkan fokus Gillang pada “sesuatu” barusan. “Eh iya sorry.” Gilang salah tingkah. “Ngomong-ngomong, Dit. Lu percaya hantu gak?” “Please deh, Lang. Lu jangan bikin gue merinding begitu,” kata Aditya dengan ekspresi yang berubah tegang sambil tengok kanan-kiri, depan-belakang, atas bawah untuk menghindari hantu yang muncul tiba-tiba. “Barusan gue liat sesuatu di balik gerbang itu. Serba hitam. Tapi, gue yakin itu manusia, bukan hantu. Gara-gara itu gue sadar. Kenapa kita gak meriksa rekaman CCTV pas malam hari? Boleh jadi orang yang tadi gue liat ada hubungannya sama Risma.” “Gak! Mending sekarang kita pulang saja.” Aditya menolak ajakan Gilang kali ini. Bukan karena takut, tapi karena percuma saja. Siapa juga yang mau mampir ke sekolah malam hari. Gilang mendorong Aditya ke tembok benteng itu sambil mencengkeram kerah kemeja abu yang dia kenakan. Sambil berkata pelan, “Lu teman gue. Tolong kali ini saja gue ngerepotin lu.” **** Jarum waktu sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Dua remaja itu masih saja mengutak-atik perangkat yang memancarkan radiasi tinggi itu. Mereka masih memeriksa rekaman CCTV sekolah sampai selarut itu. “Kalau dilihat, sih, memang ada kejanggalan di sini. Kenapa sekitar jam 1 lebih semua CCTV di sini mati. Padahal, CCTV itu kan tujuannya buat ngawasin sekolah 24 jam. Terutama malam hari ketika gak ada yang jaga. Tapi, anehnya di sini malah mati,” jelas Gilang panjang lebar pada Aditya. “Memang aneh. Tapi, ada yang lebih aneh lagi. Gak ada tanda-tanda kehadiran seseorang di lingkungan sekolah,” sambung Aditya atas penjelasan Gilang barusan. “Itu artinya semua kamera pengawas dimatikan dari jauh, ‘kan? Artinya ada orang yang mengakses kamera pengawas sekolah dari jarak jauh, ‘kan? tanya Gilang memastikan spekulasinya. “Bukan begitu. Bisa saja listrik di sekolah ini mati secara tiba-tiba,” jawab Aditya menyanggah pernyataan Gilang barusan. Gilang menggetok kepala Aditya sambil mencela, “Lu b**o, ya? Kan tadi lu bilang kamera di sini sudah dilengkapi baterai atau apalah itu buat tetap nyala meskipun mati lampu.” Aditya hanya diam. Mungkin dia masih marah pada Gilang karena sudah merampas waktu istirahatnya beberapa jam. Gilang yang melihatnya berubah jadi serius. “Ya sudah, gue minta maaf sudah maksa lu bantuin gue. Tapi, seirus kali ini saja, kok.” Gilang meminta maaf kepada Aditya. “Jadi, kita punya tiga tersangka,” jelas Gilang sambil menulis nama-nama di sebuah kertas. “Pertama, Pak Soedjatmiko si kepala sekolah. Dia pasti punya akses penuh terhadap kamera pengawas di sini. Toh dia juga yang punya sekolah ini setelah bapaknya meninggal dua tahun lalu. Kedua, kemungkinan Pak Iskandar si guru biologi. Dia ketua tim IT sekolah ini. Tentu dia juga punya akses dan keahlian lebih baik dari lu soal peretasan. Terakhir adalah Devan. Dia keponakan Pak Soedjatmiko. Besar kemungkinan dia juga punya akses penuh,” jelas Gilang panjang lebar sambil menulis nama mereka dan alasan mereka dijadikan tersangka. Aditya mengacak-acak rambutnya tanda sudah pusing dengan kelakuan Gilang. “Lang, tolonglah. Lu ini sudah dewasa. Pertama, kenapa lu harus curiga sama Pak Iskandar, bukan anak buahnya? Tim IT yang lain juga bisa saja, ‘kan? Kedua, kenapa harus Devan?” ke—“ “Soalnya Pak Iskandar dan Devan punya masalah sama gue sebelum ini. Jadi, bisa saja mereka pakai strategi ini buat jatuhin gue,” jawab Gilang memotong pertanyaan Aditya yang belum selesai. “Oke, ketiga, kalaupun benar mereka yang main-main sama kamera pengawas di sini, bisa saja itu gak ada hubungannya sama Risma. Gue gak ngerti sama lu, Lang. Lu katanya pintar tapi logika lu cacat. Kasus ini soal Risma, bukan soal diri lu. Lu gak bisa ngambil kesimpulan secara egois begitu. Sudah mending sekarang kita pulang saja. Lu juga sudah dapet kejanggalan dan sudah dapat tiga tersangka. Tinggal lu simpan buat penyelidikan selanjutnya.” Aditya membereskan barang-barangnya. Gilang juga kali ini tak berbuat banyak. Dia tahu dia sudah terlalu egois kali ini. Dia hanya bisa menampakkan ekspresi merasa bersalah. Kreet.... Terdengar suara gerbang yang membuka sedikit. Mungkin terdorong oleh sesuatu. Gilang dan Aditya segera menoleh ke arah gerbang. Terlihat ada sesosok serba hitam segera berlari dari balik gerbang itu. Terdengar dari jauh oleh mereka berdua langkah kakinya yang berlari karena panik. Gilang segera berlari dan mengejarnya dan mencari ke beberapa tempat yang dekat dari situ. Namun, dia gagal karena sesosok itu sudah hilang. “Dia manusia. Soalnya langkah kakinya terdengar jelas,” kata Gilang yang masih ngos-ngosan kepada Aditya yang baru saja menghampirinya yang sedang ngos-ngosan di depan gerbang itu. “Mau bantu gue liat rekaman lagi biar kita tahu siapa dia?” tanya Gilang dengan senyum bercandanya. “OGAH!” jawab Aditya sambil tertawa dan berlalu meninggalkan Gilang yang masih ngos-ngosan
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD