part 3: mulai menata hati

3162 Words
  Sudah terbiasa denganmu. Terlalu banyak hal yang harus aku buang untuk melupakanmu. ~Dzawin~ Begitulah, telah beberapa minggu berlalu. Dzawin sudah belingsatan lagi. Ceria dan saling menggoda dengan Maira. Minggu depan adalah hari penting bagi kembarannya itu. Ia akan menikah. Maka kesibukan di rumah itu luar biasa. Dzawin juga masih harus sering lembur karena 4 hari cuti sakitnya, banyak video yang menunggu pulasannya. Kamar Maira berada tepat si seberang kamar Dzawin. Kamar itu di dekor dari awal serupa dengan apapun yang ada di kamar Dzawin, ranjang, nakas, lemari jendela dan apapun itu, sama persis. Hanya di kamar Dzawin berwarna abu-abum sedang di  kamar Maira semua berwarna kebiruan. Kamar itu tela di dekor ulang hari ini, karena Maira akn segera tinggal berdua sekamar dengan suaminya, angga, rekan kerja sekaligus sahabatnya di kantor. Maka jadilah ranjang diganti dengan ukuran king size. Meski ukuran tubuh Maira yang lebih menyerupai anak-anak ketimbang wanita dewasa, namu angga seukuran dengan Dzawin. Tinggi. Namun lembih gempal dan tentu lebih putih. Ukuran-ukuran fisik tak pernah jadi soal, meski itu selalu menjadi seloroh bercanda keluarga ini tiap hari. Bagaimana tidak, Dzawin dan Maira adalah dua orang paling berpigmen dalam keluarga ini.  Bang rizal berperawakan seperti abi, tinggi meski tak lebih tinggi dari Dzawin, gempal berotot dan berkulit putih. Bang fajar? Jangan tanya, meski terlihat lebih pendek ketimbang bang rizal maupun Dzawin, perawakan si sulung ini umi banget, lebih pucat dan tirus. Lha ini, Maira gempal dapat dari abi, pendek dapat dari umi. Dzawin? Tinggi dapat dari abi, meski lebih tinggi,  tirus dapat dari umi. Tapi kebanyakan pigmen ini, apa memang mereka yang lahir paling belakangan sehingga mendapat semua jatah pigmen dati DNA umi dan abi? Wallohu a’lam…. Kembali ke Maira, Maira dan Dzawin seperti pinang di belah dua. Sama persis tanpa  celah. Selain beberapa kategori fisik, semua yang ada pada Dzawin adalah apa yang ada dalam Maira. Maka mereka seperti dokumen yang saling menyalin. Dan mereka selalu memainkan peran sebagai wadah dan tutup. Saling menjaga dan menutupi. Maka ketika Maira akan menikah, seolah Dzawinlah yang lebih sibuk pontang-panting ketimbang si calon pengantin. *** “saya terima nikah dan kawinnya Humaira Ramadhania Ardiasyah binti Ardiansyah Prawiro Utomo dengan maskawin tersebut dibayar tunai” mantap lugas dengan satu tarikan nafas. Dilanjut dengan celetuk syah dari saksi sejurus kemudian gemuruh hamdalah telah menyeruak memenuhi seisi ruangan. Pelukan hangat disampaikan abi tanpa melepas jabat tangan seusai ijab qobul. Doa terlantun. Air mata pun tak ayal meluncur deras tanpa kode dan aba-aba. Haru biru penuh kebahagiaan. Di ruang lain, di kamar pengantin, Maira menitikkan air mata. Tak henti doa dilantunkan bunda ~ibunda angga~ dan umi bergantian sahut menyahut. Maira tak ingin menangis lebih kencang. Bukan karena tak bahagia, ia lebih sayang make up yang sedari lepas subuh sudah di tempelkan ke mukanya hilang begitu saja. Resepsi masih setengan  jam lagi, jadi ia tak ingin mengulang make upnya dari nol. Tamu undangan telah ramai. Teman kantor Maira dan angga terus berdatangan silih berganti. Saudara kerabat, tetangga dana handai taulan berdatangan silih berganti. Rumah yang biasanya hanya di hiruk pikuki oleh duo nyentrik, Dzawin dan Maira, hari ini benar-benar riuh oleh keceriaan dan kebahagiaan. Raut bahagia itu terpancar jelas dari semua wajah, tak terkecuali Dzawin. Meski Dzawin terus-menerus mendapat pertanyaan horor macam “kapan nyusul?” atau “nuggu apa lagi?” atau yang lebih horor lagi “mau tante  nikahin sama anak tetangga tante dari Subang, Win? Cantik, baik, lugu, putih”. Bukan dikenalinnya, tapi kata putih yang ditekan tebal membuat nyali Dzawin kempes seketika. Namun bukan Maira jika tak menaydari saudara se rahimnya itu tetap mengguratkan satu tetes duka diujung pelipisnya. Apalagi jika bukan izza. Ya, meski sudah lebih 2 bulan peristiwa itu berlalu, namu 9 tahun beriring tentu tak bisa diabaikan begitu saja. Kepedihan itu hanya dimengerti oleh Maira. Bukan, bukan umi gak tau, atau tak mau tau. Tapi lebih karena umi dan abi tak bisa menangani duka yang melibatkan hati bungsunya itu. Maira turun dari pelamianan, saat melihat Dzawin tertegun di depan serangkai bunga yang entah bunga apa yang berwarna biru muda itu. Maira menyentuh jari telunjuk Dzawin yang sedari tadi mengusap-usap bunga yang ada di hadapannya itu. “ntar kalo bunga gua layu sebelum acara kelar, gua gaplok lu” sadisnya Maira. “kaya bunga ini elu yang beli.” Seloroh Dzawin sembari memetik satu kelopak bunga yang sedari tadi dipegangnya. Wajah Dzawin semakin memias, senyumnya semakin sayu. Dzawin tak akan bisa bertopeng di depan Maira. Maira tahu, itu ekspresi  bukan ekspresi sedih karena ditinggal menikah olehya. Apalagi? Ekspresi yang masih menggurat 9 tahunnya bersama izza. Dipagutnya jari telunjuk Dzawin lau digoyangkannya pelan seolah berkata “udah lah, sedihnya jangan lama-lama”. Dzawin menatap Maira sendu lalu balik mermas jemari Maira sambil menunduk “maaf” begitu desisnya. Dzawin tahu, momen ini menodai keceriaan hari ini. Dia memilih melangkahkan kaki keluar rumah. Menghela napasnya berat. Menghisap duka, dan melepaskannya. Dia ingin kembali ke Dzawin biasanya, namun sulit. Telah ia hembuskan berkali-kali. Buka duka yang keluar, namun air mata yang turut mengalir. Sedih bukan kepalang. Dzawin meilih lagi, menyembunyikan diri di dalam kamar. Menepi dari keramaian. *** Adzan maghrib telah berkumandang. Pesta berakhir sedari pukul setengah  dua. Terlambat setengah jam dari jadwal. Karena beberpa kerabat dari luar kota terjebak kemacetan ibukota. Rumah telah mulai dirapika oleh EO yang bertanggung jawab terhadap jalannya acara. Masih tersisa sedikit kekacauan, namun yankin akan sgera teratasi tak lama lagi. Maira sudah masuk ke dalam kamar, entah apa yang sedang dilakukan oleh sepasang penganti greess itu di sana, udah sedari usai acara, tak terlihat bahkan sujung jari pun. Hanya sesekali keluar saat ashar dan makan siang. Di ruang keluarga, nampak umi dan abi tengah bersiap untuk pergi ke masjid menunaikan ibadah. Tak mungkin umi mengetuk kamar   pengantin, karena mereka bisa saja sedang sholat atau apalah. Umi berjalan menuju kamar seberang kamar pengantin, kamar pangeran bontotnya. Umi tahu, Dzawin telah mengurung diri sedari pesta masih berlangsung. Umi mengerti. Namun tidak untuk saat ini. “Win, bangun.. udah maghrib denger adzan kagak, sih?” bukan tak dengar, tak mungkin tak dengar. Dzawin belum tuli dan lagi dia sedang terjaga. “denger, mi” sahut Dzawin dari dalam kamar. “kalau denger buruan wudu terus ke masjid. Mau ikutan ngerem kaya ayamnya bu Ijah lu?” Dzawin terkekeh geli di dalam kamar. Memang uminya ini sebelas duabelas dengan lawakan srimulat. “mana bisa, mi” jawab Dzawin sembari keluar kamar dengan bersarung dan menenteng sajadah, pertanda dia siap untuk menuju masjid. Namun bukan Dzawin jika tak usil “ayamnya bu ijah nggak mungkin ngerem, kan ayamnya jago semua” seloroh Dzawin sambil berlalu meniggalkan umi yang kegelian  juga dengan pernyataan Dzawin. Memang bu ijah tetangga mereka hanya memelihara ayam jago berkokok merdu. Ayam jago yang sering dibawa oleh suaminya pergi kontes ayam berkokok. Jadi mana mungkin mengeram? “mari umiku sayang, anak ganteng siap nemenin umi jalan menuju masjid. Kan tidak baik perempuan cantik berjalan ke masjid tanpa mahram. Bisa menimbulkan fitnah” kalimat Dzawin itu diucapkan sembari mendorong punggung umi keluar rumah untuk pergi ke masjid. Jangan tanya, sekali lagi jangan tanya kapan pengantin keluar. Pengantin itu hanya keluar untuk mandi  lalu hilang lagi. Jangan tanya ngapain, karena saya juga tak tahu. *** Selepas isya’, Dzawin baru beranjak pulang dari masjid. Abi dan umi sudah pulang sedari tadi. Acara malam sesudah isya’ adalah makan malam. Makan malam ini cukup spesial, karena makan malam ini adalah makan malam pertama pengantin baru. Maira dan Angga. Meski sebenarnya bukan kali pertama juga Angga singgah di rumah mereka untuk makan malam. Angga salah satu sahabat Dzawin yang memang sering datang berkunjung kerumah itu, terlebih setelah mereka satu kantor dan tahu bahwa maira telah putus hubungan dengan Roman. Maka beribu alasan disiapkan Angga untuk sekedar berkunjung. Saat Dzawin tiba di rumah, suasana meja makan sudah mulai riuh. Suara gelak tawa sudah terdengar. “assalamualayku..” seru Dzawin dari pintu. “waalaykum salam” seru semua penghuni rumah. “umi sama abi udah punya laki-laki lain ampe Win dilupain. Abi ninggalin win di masjid sendirian, galau tau, bi!” rengek dzain sambil sembari bergabung di meja makan. “apae lo kate? Umi yang aja abi pulang, emang lo lagi galau, ngapain umi sama abi nungguin jomblo galau. Mending umi nih ye, nungguin yang pasti. Menantu sama calon cucu” disambut gelegar tawa. Dzawin sedang menyendok nasi ke piringnya, sebelum sebuah sabetan serbet mampir di punggungnya. “taro dulu itu sejadah ama sarung. Ganti kokonya. Lu tuh emang ya win” Dzawin kemudian melihat apa yang masih melekat pada badannya, dan iya saja. Semua peralatan masih melekat di badan. Sarung, koko, sejadah bahkan tasbih biru favoritnya masih melingkar dipergelangan tangannya. Sembari cekikikan Dzawin berlenggang masuk kamar untuk mengganti pakaiannya. Sebenarnya ada yang juga baru disadari oleh Dzawin kala itu, koko dan sarungnya adalah pemberian Izza. Dzawin menghela napas. Di buka lemari pakaiannya. Dipandangnya semua pakaian yang bertengger di sana. Hampir separuh mungkin, pakaian yang ada di lemari itu diperolehnya dari Izza atau dibeli Dzawin bersama Izza. Kenyataan itu membuat d**a Dzawin sesak. Mata Dzawin masih beredar mengelilingi kamarnya. Dan yah, lagi-lagi hampir semua yang mempel di kamar itu ada andil Izza di dalamnya. Dzawin memang bukan pribadi yang suka berhias, kamar dan dirinya bukanlah objek yang bisa dihias. Polos dan lugu. Itu mengapa 9 tahun ini Izzalah yang mengatur penampilan Dzawin. Baju, celana dan aksesoris semua melibatkan Izza dalam pemilihan. 9 tahun bukan lagi waktu yang sebentar. Kenangan yang mungkin ada juga pasti tak hanya sekardu satau dua kardus. Sesaat kemudian Dzawin kembali menghela napas berat. Ya, untuk melupakan Izza harus dimulai dari menyingkirkan separuh isi kamar ini. Ya separuh mungkin lebih. Menata hati, mungkin akan dimulai dengan menata kamar ini. “win!! Umi udah punya anak laki lain yang mau bantuin umi abisin masakan umi. Kalo lu kagak keluar, umi kagak bakal nyisain apapun di meja makan. Buru keluar atau umi kasi Angga semua” perenungan yang diakhiri dengan aneh.   Begitulah, telah beberapa minggu berlalu. Dzawin sudah belingsatan lagi. Ceria dan saling menggoda dengan Maira. Minggu depan adalah hari penting bagi kembarannya itu. Ia akan menikah. Maka kesibukan di rumah itu luar biasa. Dzawin juga masih harus sering lembur karena 4 hari cuti sakitnya, banyak video yang menunggu pulasannya. Kamar Maira berada tepat si seberang kamar Dzawin. Kamar itu di dekor dari awal serupa dengan apapun yang ada di kamar Dzawin, ranjang, nakas, lemari jendela dan apapun itu, sama persis. Hanya di kamar Dzawin berwarna abu-abum sedang di  kamar Maira semua berwarna kebiruan. Kamar itu tela di dekor ulang hari ini, karena Maira akn segera tinggal berdua sekamar dengan suaminya, angga, rekan kerja sekaligus sahabatnya di kantor. Maka jadilah ranjang diganti dengan ukuran king size. Meski ukuran tubuh Maira yang lebih menyerupai anak-anak ketimbang wanita dewasa, namu angga seukuran dengan Dzawin. Tinggi. Namun lembih gempal dan tentu lebih putih. Ukuran-ukuran fisik tak pernah jadi soal, meski itu selalu menjadi seloroh bercanda keluarga ini tiap hari. Bagaimana tidak, Dzawin dan Maira adalah dua orang paling berpigmen dalam keluarga ini.  Bang rizal berperawakan seperti abi, tinggi meski tak lebih tinggi dari Dzawin, gempal berotot dan berkulit putih. Bang fajar? Jangan tanya, meski terlihat lebih pendek ketimbang bang rizal maupun Dzawin, perawakan si sulung ini umi banget, lebih pucat dan tirus. Lha ini, Maira gempal dapat dari abi, pendek dapat dari umi. Dzawin? Tinggi dapat dari abi, meski lebih tinggi,  tirus dapat dari umi. Tapi kebanyakan pigmen ini, apa memang mereka yang lahir paling belakangan sehingga mendapat semua jatah pigmen dati DNA umi dan abi? Wallohu a’lam…. Kembali ke Maira, Maira dan Dzawin seperti pinang di belah dua. Sama persis tanpa  celah. Selain beberapa kategori fisik, semua yang ada pada Dzawin adalah apa yang ada dalam Maira. Maka mereka seperti dokumen yang saling menyalin. Dan mereka selalu memainkan peran sebagai wadah dan tutup. Saling menjaga dan menutupi. Maka ketika Maira akan menikah, seolah Dzawinlah yang lebih sibuk pontang-panting ketimbang si calon pengantin. *** “saya terima nikah dan kawinnya Humaira Ramadhania Ardiasyah binti Ardiansyah Prawiro Utomo dengan maskawin tersebut dibayar tunai” mantap lugas dengan satu tarikan nafas. Dilanjut dengan celetuk syah dari saksi sejurus kemudian gemuruh hamdalah telah menyeruak memenuhi seisi ruangan. Pelukan hangat disampaikan abi tanpa melepas jabat tangan seusai ijab qobul. Doa terlantun. Air mata pun tak ayal meluncur deras tanpa kode dan aba-aba. Haru biru penuh kebahagiaan. Di ruang lain, di kamar pengantin, Maira menitikkan air mata. Tak henti doa dilantunkan bunda ~ibunda angga~ dan umi bergantian sahut menyahut. Maira tak ingin menangis lebih kencang. Bukan karena tak bahagia, ia lebih sayang make up yang sedari lepas subuh sudah di tempelkan ke mukanya hilang begitu saja. Resepsi masih setengan  jam lagi, jadi ia tak ingin mengulang make upnya dari nol. Tamu undangan telah ramai. Teman kantor Maira dan angga terus berdatangan silih berganti. Saudara kerabat, tetangga dana handai taulan berdatangan silih berganti. Rumah yang biasanya hanya di hiruk pikuki oleh duo nyentrik, Dzawin dan Maira, hari ini benar-benar riuh oleh keceriaan dan kebahagiaan. Raut bahagia itu terpancar jelas dari semua wajah, tak terkecuali Dzawin. Meski Dzawin terus-menerus mendapat pertanyaan horor macam “kapan nyusul?” atau “nuggu apa lagi?” atau yang lebih horor lagi “mau tante  nikahin sama anak tetangga tante dari Subang, Win? Cantik, baik, lugu, putih”. Bukan dikenalinnya, tapi kata putih yang ditekan tebal membuat nyali Dzawin kempes seketika. Namun bukan Maira jika tak menaydari saudara se rahimnya itu tetap mengguratkan satu tetes duka diujung pelipisnya. Apalagi jika bukan izza. Ya, meski sudah lebih 2 bulan peristiwa itu berlalu, namu 9 tahun beriring tentu tak bisa diabaikan begitu saja. Kepedihan itu hanya dimengerti oleh Maira. Bukan, bukan umi gak tau, atau tak mau tau. Tapi lebih karena umi dan abi tak bisa menangani duka yang melibatkan hati bungsunya itu. Maira turun dari pelamianan, saat melihat Dzawin tertegun di depan serangkai bunga yang entah bunga apa yang berwarna biru muda itu. Maira menyentuh jari telunjuk Dzawin yang sedari tadi mengusap-usap bunga yang ada di hadapannya itu. “ntar kalo bunga gua layu sebelum acara kelar, gua gaplok lu” sadisnya Maira. “kaya bunga ini elu yang beli.” Seloroh Dzawin sembari memetik satu kelopak bunga yang sedari tadi dipegangnya. Wajah Dzawin semakin memias, senyumnya semakin sayu. Dzawin tak akan bisa bertopeng di depan Maira. Maira tahu, itu ekspresi  bukan ekspresi sedih karena ditinggal menikah olehya. Apalagi? Ekspresi yang masih menggurat 9 tahunnya bersama izza. Dipagutnya jari telunjuk Dzawin lau digoyangkannya pelan seolah berkata “udah lah, sedihnya jangan lama-lama”. Dzawin menatap Maira sendu lalu balik mermas jemari Maira sambil menunduk “maaf” begitu desisnya. Dzawin tahu, momen ini menodai keceriaan hari ini. Dia memilih melangkahkan kaki keluar rumah. Menghela napasnya berat. Menghisap duka, dan melepaskannya. Dia ingin kembali ke Dzawin biasanya, namun sulit. Telah ia hembuskan berkali-kali. Buka duka yang keluar, namun air mata yang turut mengalir. Sedih bukan kepalang. Dzawin meilih lagi, menyembunyikan diri di dalam kamar. Menepi dari keramaian. *** Adzan maghrib telah berkumandang. Pesta berakhir sedari pukul setengah  dua. Terlambat setengah jam dari jadwal. Karena beberpa kerabat dari luar kota terjebak kemacetan ibukota. Rumah telah mulai dirapika oleh EO yang bertanggung jawab terhadap jalannya acara. Masih tersisa sedikit kekacauan, namun yankin akan sgera teratasi tak lama lagi. Maira sudah masuk ke dalam kamar, entah apa yang sedang dilakukan oleh sepasang penganti greess itu di sana, udah sedari usai acara, tak terlihat bahkan sujung jari pun. Hanya sesekali keluar saat ashar dan makan siang. Di ruang keluarga, nampak umi dan abi tengah bersiap untuk pergi ke masjid menunaikan ibadah. Tak mungkin umi mengetuk kamar   pengantin, karena mereka bisa saja sedang sholat atau apalah. Umi berjalan menuju kamar seberang kamar pengantin, kamar pangeran bontotnya. Umi tahu, Dzawin telah mengurung diri sedari pesta masih berlangsung. Umi mengerti. Namun tidak untuk saat ini. “Win, bangun.. udah maghrib denger adzan kagak, sih?” bukan tak dengar, tak mungkin tak dengar. Dzawin belum tuli dan lagi dia sedang terjaga. “denger, mi” sahut Dzawin dari dalam kamar. “kalau denger buruan wudu terus ke masjid. Mau ikutan ngerem kaya ayamnya bu Ijah lu?” Dzawin terkekeh geli di dalam kamar. Memang uminya ini sebelas duabelas dengan lawakan srimulat. “mana bisa, mi” jawab Dzawin sembari keluar kamar dengan bersarung dan menenteng sajadah, pertanda dia siap untuk menuju masjid. Namun bukan Dzawin jika tak usil “ayamnya bu ijah nggak mungkin ngerem, kan ayamnya jago semua” seloroh Dzawin sambil berlalu meniggalkan umi yang kegelian  juga dengan pernyataan Dzawin. Memang bu ijah tetangga mereka hanya memelihara ayam jago berkokok merdu. Ayam jago yang sering dibawa oleh suaminya pergi kontes ayam berkokok. Jadi mana mungkin mengeram? “mari umiku sayang, anak ganteng siap nemenin umi jalan menuju masjid. Kan tidak baik perempuan cantik berjalan ke masjid tanpa mahram. Bisa menimbulkan fitnah” kalimat Dzawin itu diucapkan sembari mendorong punggung umi keluar rumah untuk pergi ke masjid. Jangan tanya, sekali lagi jangan tanya kapan pengantin keluar. Pengantin itu hanya keluar untuk mandi  lalu hilang lagi. Jangan tanya ngapain, karena saya juga tak tahu. *** Selepas isya’, Dzawin baru beranjak pulang dari masjid. Abi dan umi sudah pulang sedari tadi. Acara malam sesudah isya’ adalah makan malam. Makan malam ini cukup spesial, karena makan malam ini adalah makan malam pertama pengantin baru. Maira dan Angga. Meski sebenarnya bukan kali pertama juga Angga singgah di rumah mereka untuk makan malam. Angga salah satu sahabat Dzawin yang memang sering datang berkunjung kerumah itu, terlebih setelah mereka satu kantor dan tahu bahwa maira telah putus hubungan dengan Roman. Maka beribu alasan disiapkan Angga untuk sekedar berkunjung. Saat Dzawin tiba di rumah, suasana meja makan sudah mulai riuh. Suara gelak tawa sudah terdengar. “assalamualayku..” seru Dzawin dari pintu. “waalaykum salam” seru semua penghuni rumah. “umi sama abi udah punya laki-laki lain ampe Win dilupain. Abi ninggalin win di masjid sendirian, galau tau, bi!” rengek dzain sambil sembari bergabung di meja makan. “apae lo kate? Umi yang aja abi pulang, emang lo lagi galau, ngapain umi sama abi nungguin jomblo galau. Mending umi nih ye, nungguin yang pasti. Menantu sama calon cucu” disambut gelegar tawa. Dzawin sedang menyendok nasi ke piringnya, sebelum sebuah sabetan serbet mampir di punggungnya. “taro dulu itu sejadah ama sarung. Ganti kokonya. Lu tuh emang ya win” Dzawin kemudian melihat apa yang masih melekat pada badannya, dan iya saja. Semua peralatan masih melekat di badan. Sarung, koko, sejadah bahkan tasbih biru favoritnya masih melingkar dipergelangan tangannya. Sembari cekikikan Dzawin berlenggang masuk kamar untuk mengganti pakaiannya. Sebenarnya ada yang juga baru disadari oleh Dzawin kala itu, koko dan sarungnya adalah pemberian Izza. Dzawin menghela napas. Di buka lemari pakaiannya. Dipandangnya semua pakaian yang bertengger di sana. Hampir separuh mungkin, pakaian yang ada di lemari itu diperolehnya dari Izza atau dibeli Dzawin bersama Izza. Kenyataan itu membuat d**a Dzawin sesak. Mata Dzawin masih beredar mengelilingi kamarnya. Dan yah, lagi-lagi hampir semua yang mempel di kamar itu ada andil Izza di dalamnya. Dzawin memang bukan pribadi yang suka berhias, kamar dan dirinya bukanlah objek yang bisa dihias. Polos dan lugu. Itu mengapa 9 tahun ini Izzalah yang mengatur penampilan Dzawin. Baju, celana dan aksesoris semua melibatkan Izza dalam pemilihan. 9 tahun bukan lagi waktu yang sebentar. Kenangan yang mungkin ada juga pasti tak hanya sekardu satau dua kardus. Sesaat kemudian Dzawin kembali menghela napas berat. Ya, untuk melupakan Izza harus dimulai dari menyingkirkan separuh isi kamar ini. Ya separuh mungkin lebih. Menata hati, mungkin akan dimulai dengan menata kamar ini. “win!! Umi udah punya anak laki lain yang mau bantuin umi abisin masakan umi. Kalo lu kagak keluar, umi kagak bakal nyisain apapun di meja makan. Buru keluar atau umi kasi Angga semua” perenungan yang diakhiri dengan aneh.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD