Bab. 1 - Tatapan Mata

1078 Words
Tidak ada cinta yang datang karena diminta Tidak ada cinta yang menetap karena dipaksa Dan tidak ada cinta yang menyapa tanpa ada rasa... *** Siang itu suasana kantin lumayan cukup ramai. Para karyawan dari beberapa kantor berkumpul di sana. Ada yang sudah lahap menyantap ayam penyet beserta nasi putih dan lalapan, ada yang sibuk ngobrol dengan rekan sejawat sambil asik ngopi, ada juga yang masih menunggu pesanan dihidangkan. Dahlia kebingungan mencari tempat duduk yang penuh sejauh mata memandang. Ia kembali menekuni tiap sudut area dengan tatapan penuh harap. Jam makan siang selalu sulit dapat tempat duduk. Apalagi bila telat ke luar seperti dirinya saat ini. "Lia, kita makan di depan aja yuk?" ajak Ratih, temannya. Perutnya sudah keroncongan tak karuan. Dahlia enggan makan di warung depan, mungkin memang tak seramai kantin Mbok Ijah yang terkenal dengan masakan enak plus harga murah ini. Di sana menunya lumayan lebih beragam, tapi harganya kurang cocok di kantong pegawai, terutama saat tanggal tua begini. "Lia, Ratih! Sini!" pekik seseorang dari salah satu kursi. Tangannya melambai bak pahlawan kesiangan. Hawa-hawanya ada yang akan dapat tempat, begitu pikir Dahlia. Ia pun menarik lengan Ratih untuk menghampiri Rama. "Sudah selesai makan, Ram?" "Sudah ini. Kalian datang tepat waktu. Sini duduk di tempat kam," katanya sembari berdiri. Mempersilakan dua gadis di dekatnya mengambil alih kursi yang ia duduki sebelumnya. Ratih lebih dulu duduk di tempat Rama. Sementara Dahlia dipersilakan oleh seseorang duduk di tempatnya. Pandangan keduanya bertemu dalam hitungan detik. Senyum yang terkembang di wajah sang pria tak dikenal sesaat menggetarkan sanubari Dahlia. Entah kenapa seperti ada yang mengetuk di dalam hatinya. Masih sangat pelan, dan lekas berusaha dienyahkan. Rama dan temannya yang bertatapan dengan Dahlia tadi pun pamit. Menyerahkan singgasana agung pada dua gadis yang menahan teriakan cacing dalam perut langsingnya. Tanpa peduli sekitaran, Ratih berteriak memanggil Mbak Sari, salah satu karyawan Mbok Ijah yang siap sedia melayani pelanggan di kantin. Satu-satunya pegawai di situ yang masih perawan ting ting alias belum punya suami. Yang lain sudah laku semua. Selagi Ratih sibuk menyebutkan menu andalan kesukaannya, ayam geprek level lima dan es teh tentunya. Dahlia malah sibuk menoleh ke belakang. Dua matanya mencari-cari sosok pria yang berhasil menarik minatnya sejak pandangan pertama. Padahal, orang sering bilang, cinta pada pandangan pertama itu bohong. Yang ada cuma kagum sesaat. Ya, mungkin Dahlia sedang mengalami kekaguman sesaat itu, siapa yang tahu? Pria yang dipandangi dengan rasa penasaran rupanya tengah berbicara dengan Rama. Mereka makin menjauh. Dan ketika Dahlia hendak mengalihkan pandang, pria itu malah menoleh balik. Seolah sengaja mempertemukan empat mata mereka dalam satu tatapan lurus. Jantung Dahlia berdesir perlahan. Buru-buru ia membuang muka, malu karena ketahuan seperti pencuri mengintai sasaran. "Heh! Kamu mau pesan apa, Lia?! Kok malah bengong nggak jelas," dumel Ratih mencolek lengan kawannya. "Eh, anu, aku mau paket hemat aja, Mbak. Minumnya seperti biasa, es teh tanpa gula," ujarnya mesem. "Ditunggu ya," balas Mbak Sari ramah. Kemudian berlalu setelah mencatat pesanan pelanggannya. "Ehem!" Ratih sengaja berdehem. Ia baru sadar kalau Dahlia tak fokus, malah celingukan menoleh ke belakang, entah mencari apa. Namun, agaknya ia tahu sesuatu. "Lumayan ganteng ya temennya Rama barusan," selorohnya menyindir. Mungkin jika ada lomba teman paling peka sedunia, si Ratih ini bisa jadi juara unggulan. "Kamu kenal?" tanya Ratih spontan. Ia garuk kepala setelah sadar keceplosan bertanya. "Nggak kenal sih, cuma tahu namanya aja. Orang baru di kantornya Rama. Sempet denger desas-desus kemarin, ada manajer pindahan dari Semarang. Biasalah para jones ababil kalau lihat cogan bening dikit ya gitu, beritanya langsung cepet viral." "Hah? Manajer? Bagian mana? Kok bisa sama Rama?" "Iya, manajer personalia. Lah, kamu kayak nggak tahu si Rama aja, paling pinter carmuk sama atasan. Sampai-sampai bos sendiri serasa kawan main." Dahlia hanya menganggukkan kepala saja. Mendengar penjelasan Ratih tentang siapa pria itu, nyali Dahlia seketika menciut drastis. Ia harus lekas menghentikan pembahasan sebelum makin jauh. Untung saja Mbak Sari datang membawa nampan berisi pesanan mereka. Setidaknya, ia tak perlu susah payah mengalihkan topik terang-terangan. Ratih bukan tipikal orang yang mudah mengusaikan pembicaraan, sebelum benar-benar sampai akar. Kecuali bila ada makanan di depannya. "Eh, kamu jadi resign bulan depan, Lia? Jadi ngajar di TK?" tanya Ratih disela kunyahan. "Belum tahu juga. Pengennya sih jadi. Cita-citaku dari dulu kan sebetulnya memang jadi guru. Kalau harus mulai dari guru TK ya nggak apa kali ya." "Bagus dong, bisa sekalian belajar ngasuh anak-anak. Hitung-hitung buat persiapan sebelum beneran dikasih sendiri." Selagi asik ngobrol, seseorang datang kembali. Pria yang memiliki mata begitu meneduhkan. Ia berdiri di samping Dahlia duduk. Gadis itu terkesiap dalam takjub. Terpana sekali lagi memandang senyum yang begitu menggetarkan sanubari. Ia bahkan lupa, kapan terakhir kali jiwanya merasakan sesuatu yang hangat menggelora dalam batin. "Maaf, ada yang ketinggalan," kata sang pria. Ia mencari-cari sesuatu di atas meja. Tak ada kunci yang ia cari. Ratih menoleh ke bawah. Matanya menemukan benda yang mungkin dicari oleh pria ini. Dipungutnya kunci tersebut, lalu dikembalikan pada si empu. "Ini ya, Pak?" "Oh bener itu. Makasih Mbak?" "Saya Ratih. Ini teman saya, namanya Dahlia." "Saya Pras." Mereka saling berjabat tangan sebentar. Rama datang menghampiri kawannya. "Gimana, Bos? Ketemu?" "Udah ketemu." "Ketemu jodoh juga nggak nih, Bos?" goda Rama sembari melirik Dahlia yang tampak kikuk. "Memangnya Pak Pras masih jomblo?" Ratih menimpali dengan semangat. "Bukan jomblo lagi, tapi sigle tulen." "Pas kalau gitu. Dahlia juga lama hatinya nganggur. Sebentar..." Ratih menuliskan sesuatu di kertas kecil yang sering ada di saku bajunya. Kemudian memberikannya pada Pras. "Itu nomornya Dahlia, siapa tahu bisa jadi teman dekat," ujarnya tanpa tedeng aling-aling. Tanpa diduga, Pras menerima uluran kertas dari tangan Ratih. Sedangkan Dahlia yanh gugup kehilangan kesempatan merebut kertas itu. Lagipula, hatinya juga senang misalkan perkenalan ink benar-benar bisa berlanjut lebih baik nantinya. "Maaf Pak, Ratih sika gitu orangnya," ujarnya sungkan. "Nggak apa-apa. Nanti saya hubungi ya... Saya permisi dulu." Kedua pria berlalu. Dahlia langsung mencubit pinggang kawannya sampai Ratih meringis nyeri. "Sakit tahu!" protesnya berusaha menyingkirkan cubitan temannya. "Makanya jangan sembarangan! Bikin malu aja kamu." "Malu tapi mau kan?" goda Ratih. "Mau gimana maksudmu?" "Bibirmu boleh menolak, tapi itu mukamu udah merah banget kayak buah delima mateng." "Nyebelin kamu, Rat!" "Akan ada saatnya orang yang kamu bilang nyebelin hari ini nanti malah dapat traktiran karena rasa terimakasihu loh," balas Ratih ambigu. Dahlia tak menggubris lagi. Hatinya berbunga-bunga dipenuhi rasa penasaran. Akan kah Pras sungguh akan menghubunginya nanti? Atau hanya basa-basi untuk alasan kesopanan saja? Ia menarik napas pendek. Matanya melirik ponsel di samping lengan kanannya. Seolah menantikan sesuatu yang lebih dari sekadar permulaan... ===== Secrets of Marriage =====
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD