Wira terdiam dengan kepala yang ia pijit pelan. Giginya sakit, pipinya bengkak, kepalanya ikut nyut-nyutan, tapi dari tadi dia terus-terusan direcoki oleh bapak-bapak yang bernapsuu sekali ingin menyeretnya ke posko keamanan yang berada di lantai bawah unit apartemen.
Sebagai saksi mata, bapak-bapak itu tidak terima dengan perilaku Wira yang seorang pria kepada perempuan. Sebagai pria, dia merasa harga dirinya terluka melihat kelakuan b***t Wira barusan. Tapi masalahnya, Wira saja tidak ingat apa yang terjadi. Dia seperti orang linglung dan tahu-tahu ramai, sudah ada Aris dan Sabrina di depannya.
"Untuk kenyamanan bersama--"
"Saya tidak melakukan tindak kejahatan, Pak!" Wira sudah menegakkan tubuhnya, menatap kepala keamanan di depannya ini muak. Kepalanya ingin pecah ditunjuk-tunjuk sedari tadi. "Kalau memang saya melakukan apa yang dituduhkan, mana buktinya?"
Melihat kepala keamanan diam saja, Wira memilih menyandarkan punggungnya pada kursi, berharap kesabarannya yang diuji sedari tadi tidak kemana-mana. Dia muak ditatap aneh oleh orang-orang. Oh ayolah, kenapa tidak di kantor, tidak di lingkungan luar sekalipun, Wira dianggap berbeda?
"Kami semua melihat Anda melakukan tindak kejahatan. Tapi anehnya, CCTV tidak merekam kejadian tersebut, seperti kejadian ini memang disengaja."
"Disengaja Anda bilang?!" Wira langsung menegakkan tubuhnya kembali, agaknya tersinggung dengan pernyataan yang dilontarkan oleh lawan bicaranya barusan. Dan detik itu juga, sang kepala keamanan terlihat seperti tikus terjepit, nyalinya menciut ketika mendengar nada tinggi penuh ketidak sukaan yang Wira katakan padanya.
"Lain kali jangan asal bicara," lanjut Wira kemudian. Dia menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Tanpa mau menunggu lebih lama lagi, Wira langsung angkat kaki dari sana.
Sampai di lobinya, Wira yang sedari awal tahu kalau Sabrina dan Aris juga ikut ke sana--entah untuk apa juga, mungkin ingin melihat Wira dipastikan mendapat hukuman--Wira tak peduli dan langsung pergi begitu saja tanpa mau melihat ataupun melirik ke arah Sabrina lagi.
Sambil memandang tubuh tegap Wira yang berjalan menuju pintu luar, Sabrina meremas ror hitamnya. Dia kembali menatap depan dengan kepala yang tertunduk dalam.
"Sab? Hai? Sakit lagi?" Aris kembali panik saat melihat wajah Sabrina kembali pucat setelah tadi memiliki rona kembali. Hanya saja, Sabrina tak mampu menjelaskan kalau bagian tertentu tubuhnya, rasanya seperti disayat-sayat secara paksa.
Untuk meringankan beban Aris dan meyakinkan bahwa dirinya baik-baik saja, Sabrina tersenyum manis ke arah pria itu. "Aku baik-baik saja, Bang."
"Hm? Kalau sama Wira aja dipanggil, Mas. Kalau sama aku boro-boro, ya?" Sabrina tertawa pelan mendengar Aris kayaknya pacar yang sedang merajuk.
"Kamu nggak cocok jadi tokoh yang cemburuan. Yuk ke kantor lagi." Aris agaknya tersinggung mendengar perkataan Sabrina. Tapi lebih dari apapun itu, dia senang bisa melihat Sabrina kembali tersenyum.
"Sehat-sehat terus ya, Sab? Aku yakin, kita semua pasti bisa. Kamu harus bertahan." Setelah tadi senyuman yang tenggelam kembali terbit, kini Sabrina tidak akan membiarkan mendung menghiasai wajahnya lagi.
Sabrina paham, bukan hanya dirinya saja yang menderita di sini. Bahkan kalau dihitung-hitung, tetap Wira kemana-mana yang selalu sakit hati. Dia tidak boleh terus mengeluh ini itu di saat Wira sedang sakit pun, dia hanya sendirian..
Terkadang, Sabrina sampai tidak tidur karena pikirannya tidak bisa tenang. Saat mencoba tidur pun, hal mengerikan selalu saja melintas di otaknya. Sabrina kira, mengakhiri hubungan bdengan Wira juga akan mengakhiri penderitaan semua orang. Namun kenyataannya, tak seindah realita yang terjadi. Dia sakit, Aris turut sakit dan Wira lebih sakit.
"Sab?" Lagi-lagi, Sabrina tersadar dari lamunannya. Entah berapa kali lagi Aris harus mengingatkannya. "Jangan melamun terus. Kita nggak pernah tahu apa niat orang yang jahat sama kita. Kalau lengah sedikit, kamu tahu kan konsekuensinya gimana?"
Sambil mengangguk patuh, Sabrina juga meyakinkan Aris kembali kalau semua akan baik-baik saja, kalau semua akan kembali seperti sedia, kalau semua pasti bahagia dengan cara yang seharusnya.
"Aku nggak tahu sampai kapan jiwaku mampu bertahan Aris. Tapi yang harus kamu tahu, aku nggak akan berhenti sebelum sampai di titik itu. Entah aku yang pergi atau Wira yang pergi, tapi aku rasa, Wira akan baik-saja. Dia sudah ditemani perempuan lain yang mengaku mencintainya.
"Sab?" Sabrina hanya tersenyum melihat Aris yang mendadak kehilangan harapan atas dirinya sendiri. "Selama kamu nggak pergi ke mana-mana, selama itu juga aku percaya kalau ada jalan keluar terbaik dari masalah ini, Ris. Aku nggak mungkin membiarkan sesuatu yang salah terus-terusan terjadi."
"Tapi mereka bukan tandingan kamu, Sab!" Aris menatap Sabrina serius, seolah menanyakan ketegasannya sekali lagi. "Kalau Wira, aku yakin dia mampu kalau suatu saat sadar akan keadaannya sendiri. Tapi kalau kamu? Kamu yang bakal pergi kalau suatu saat nanti Wira nggak bisa menahan dirinya sendiri."
"Kamu lupa?" dengan tatapan yang tak mengenal takut sama sekali, Sabrina layangkan pada Aris agar pria itu berhenti pesimis akan kehidupan di antara mereka. "Akan ada happy ending di cerita kita. Aku yakin itu."
"Tapi apapun itu, tolong jangan korbankan dirimu sendiri. Karena kalau itu sampai terjadi, aku nggak akan bisa maafin diri aku sendiri, Sab."
"Jangan ngomong kayak gitu, Bang!" Sabrina memekik dengan nada tidak suka. "Selama aku masih mampu bertahan, aku nggak akan berhenti gitu aja. Aku punya keluarga yang harus aku utamakan kebahagiaannya. Kalau bersama Mas Wira hanya membuat mereka sengsara, kenapa juga aku harus terus-menerus menemani pria itu, kan? Aku nggak sebodoh itu, Bang. Jangan khawatir untuk alasan yang sama sekali nggak jelas kayak gini."
"Tapi, Sab?"
"Bang dengar!" Perempuan itu sampai kesal sendiri karena Aris tetap tidak percaya padanya juga. Padahal kan, mereka sama-sama berjuang selama ini. Sekarang, saat Sabrina sudah terlepas, Aris seolah meragukannya. Entah apa yang sebenarnya diinginkan oleh pria itu. "Kita udah jauh sampai di sini. Dan pilihannya cuma dua sekarang. Berhenti atau tetap berjalan. Dan aku milih berhenti. Dan itupun, nggak ngurangin rasa sakitnya, Bang. Jadi tenang aja, kalau pun nanti ada yang harus pergi, aku rasa akulah orangnya. Memang dari dulu aku kan yang diinginkan untuk pergi?"
"Sabrina! Kamu sendiri bilang kalau kamu mau berjalan bareng-bareng sama aku. Tapi kenapa malah kayak hilang harapan kayak gini?" Aris menatap Sabrina sedih. Kalau di akhir nanti Sabrina juga yang pergi, Aris benar-benar tidak akan memaafkan dirinya sendiri.
"Memang takdir akhir setiap orang yang bernyawa menemui ajalnya kan, Bang? Aku nggak bisa menghindari itu, kamu pun tidak bisa. Jadi, berhenti berpikir keras untuk mempertahankan nyawaku. Kalau memang takdirku mati seperti itu, aku akan tetap meninggal dengan keadaan seperti ini."
Aris memilih diam mendengarkan. Kalau tahu akan seperti ini akhirnya, Aris tidak akan pernah merelakan Sabrina bersama Wira bertahun-tahun yang lalu. Aris pikir, dengan mengikhlaskan orang yang dicintai untuk sahabatnya, dia akan merasa puas, bangga dan tentunya merasa paling benar. Tapi setelah sejauh ini, Aris sadar kalau lebih dari siapapun, dia yang mungkin merasakan sakit di sini meski tidak ada yang secara jelas mengetahuinya.
"Bertahan, Sab, aku nggak tahu harus gimana menjalani ini semua kalau kamu nyerah sama keadaan."
"Ih! Orang dibilangin aku nggak akan nyerah juga! Kamu baperan banget, deh!"
Aris tertawa miris melihat bibir mengerucut Sabrina yang minta dicipok. Kalau tidak di tempat umum, kan, sudah dia telan habis-habisan. Tahan Ris, tahan! Masih ada nanti malam dan malam-malam selanjutnya.
Andai semuanya memang sesederhana itu, mereka tidak akan berakhir seperti ini, hubungan diantar ketiganya tidak akan sampai serumit ini.
***
Yang Sabrina ingat, dia mimpi dikejar sosok berjubah hitam sambil membawa tongkat lancip dan geramannya sangat menakutkan. Dia berlari menyusuri hutan yang gelap gulita, napasnya bahkan sampai habis. Sabrina bahkan bisa merasakan keringat dingin yang jatuh membasahi pelipisnya.
Ini seperti bukan mimpi tapi mimpi, Sabrina bahkan tak bisa mendeskripsikan di lembah kegelapan tersebut. Hanya ada pohon-pohon menjulang tinggi dan sosok lain yang berdiri seolah menontonnya dikejar sosok lain.
Entah setelah berhasil mencapai jarak ke-berapa, Sabrina berhenti, dia memegangi dadanya, sekan-akan takut kalau jantungnya sampai jatuh ke tanah saking sakitnya sesak yang ia rasakan sekarang. Sabrina belum pernah merasakan sakaratul maut seperti apa, tapi yang jelas, dia yakin kalau sakaratul maut berkali-kali lipat jauh menakutkan dan lebih sakit dari yang dia alami sekarang.
Sabrina yakin, ini hanyalah ulah setann-setann terkutuk yang ingin membuatnya menyerah sebagai hamba-Nya. Tidak! Sabrina tidak akan memberikan mereka celah sedikitpun pada mereka untuk menguasai tubuh-Nya. Sudah cukup dia berhenti di samping kekasihnya. Sekarang tidak lagi. Sampai akhir, Sabrina akan berjuang mempertahankan hidupnya agar terlepas dari jeratan ibliss terkutuk di sana. Sabrina pastikan itu. Entah akhirnya nanti dia yang kalah atau sosok terlanat itu yang kalah, yang penting Sabrina sudah berusaha. Sedari awal niatnya baik, berikthiar untuk mencari kesembuhan.
Perempuan itu ingat apa yang dikatakan Aris jika mengalami hal seperti ini. Dia tidak boleh sekalipun melakukan kesepakatan apapun itu pada mereka yang ada di sana. Entah yang jelas-jelas terlihat jahat dan mengerikan. Atau yang terlihat kecil dan tak berdaya sekalipun. Di sana, tidak ada yang bisa dipercaya. Mereka hanya menginginkan darah manusia untuk dijadikan tumbal. Membodoh-bodohi orang-orang dengan emas batangan yang begitu berlimpah tanpa mau bekerja.
Tidak kah mereka pikir kalau semua itu hanyalah api nerakah j*****m? Mungkin mereka lupa jika dunia yang abadi setelah kematin, di akhirat sana semuanya akan kembali, mau tak mau harus mempertanggung jawabkan semua perbuatannya dulu semasa masih hidup di dunia. Apa sesulit itu untuk mengerti? Sabrina tidak bisa memahani semua yang terjadi.
"Kamu akan terbakar dalam neraka bersama kami, hahaha!"
Sabrina tak mengiraukan omongan sampah tersbut. Dia hanya berlari, terus berlari hingga langkahnya seketika terhenti dan dia hampir saja tergelincir di dalam lembah kegelapan yang konon katanya tidak ada kehidupan di sana selain kerajaan di dunia lain. Tidak ada satupun manusia yang bisa keluar dari lembah kegelapan itu dalam keadaan bernyawa. Semuanya akan ditemukan tewas dan jasadnya hanyut di hilir sungai di desa di kaki gunung. Atau kemungkinana paling buruk, tidak pernah ditemukan sama sekali.
Sabrina percaya, Tuhan-nya Maha Besar. Tuhan-nya adalah pemilik seluruh alam semesta beserta isisnya, termasuk manusia, hewan, bahkan makhluk ghaib sekalipun. Karena itu, dirapida menerima uluran bantuan dari salah satu sosok di sana, Sabrina memilih menjatuhkan tubuhnya sendiri dalam lembah kegelapan dengan menyebut asma Tuhan-nya.
Detik berikutnya, Sabrina terbangun dari tidurnya dan terbatuk hebat dengan perasaan takut yang mendominasi. Jantungnya berdetak tak karuan. Keringat di pelipis perempuan itu seperti telaga yang tak pernah kering memancarkan mata airnya.
Dia memang bukan anak kecil lagi. Tapi jujur, tetap ada rasa takut yang Sabrina rasakan. Dia sendirian sekarang. Namun ada satu yang tidak akan pernah meninggalkan dirinya di saat keluarga, sahabat, maupun teman bahkan sudah meninggalkannya lebih dullu. Jawabannya sudah jelas, Tuhan. Dia menyebut namanya dan Sabrina diberikan arah menuju pulang meski di mimpi dia melompat dalam lembah kegelapan sekalipun.
Dulu sekali, Sabrina pernah membaca sejarah zaman dahulu kalau lembah kegelapan ini tempat yang digunakan untuk para tumbal atau tempat-tempat mengikat jiwa yang dijadikan tumbal. Di sana mereka disiksa hingga habisnya waktu dan kembali kepada Sang Pencipta yang sesungguhnya. Sungguh tega nian mereka yang menjadikan orang-orang tak berdosa menjadi tumbal atau korban.
Tak mau terlarut, Sabrina memutuskan untuk mengambil air wudhu, dia akan tahajud, bersujud pada Tuhan-nya dan memohon pengampuanan atas dosa-sosa yang baik sengaja maupun yang tidak disengaja oleh perempuan itu. Rasanya mengeringan sekali saat dirinya yang dulu selalu dikelilingi oragn dan tak pernah sendirian sekarang dia harus sendiri demi menjaga salah satu nyawa yang lain.
Namun apapun itu, Sabrina sudah ikhlas dengan semua ketetapan yang diberikan Tuhan. Dia percaya kalau ini semua memang yang terbaik untuk hidupnya. Manusia bisa dan sangat sering melakukan kesalahan tapi Tuhan tidak Dia Maha Benar. Memang benar kalau sebaik-baiknya bergantung hanya kepada-Nya, tidak ada yang lain. Karena Tuhan, tidaka akan pernah meninggalkan hamba-NYa yang kesusahan sendirian.
Ingat ini baik-baik. Meski dunia dan seisinya meninggalkanmu sekalipun, Tuhan tidak akan pergi kemana-mana. Dia akan selalu mengawasi gerak-gerik kita karena dia Maha Melihat. Jadi selalu libatkan Tuhan dalam melakukan apapun. Sebut terus namanya karena hanya kepada-Nya lah dunia dan seisinya ini akan kembali.
Dua rekaat sudah Sabirna tempuh. Dia duduk dengan kedua tangan menengadah ke atas dan menangis sejadi-jadinya. Hanya di saat-saat seperti ini dia merasa dekat dengan Tuhan-nya. Meski dilain waktu, terkadang Sabrina merasa sangat jauh karena Sabrina kadang lalai dengan kewajibannya sebagai seorang hamba-Nya.
Sabrina akui dia bukan orang yang taat. Tapi dia berusaha sekuat tenaga untuk selalu melakukan shalat lima waktu. Dia sadar akan kewajibannya. Dan selama raga masih menyertai jiwa, Sabrina akan berusaha menjadi orang yang lebih baik lagi, menjadi orang yang setidaknya bermanfaat bagi orang lain walaupun hanya satu orang sekalipun.
Tidak akan ada yang sia-sia selama niat yang ada baik dan mengharapkan ridho-NYa.