10. Berbagi Bencana

2170 Words
Yang Wira tahu, Tuhan tidak akan memberikan cobaan di luar batas kemampuan hamba-Nya sendiri. Karena itu, pagi ini, dia memasang dasi di lehernya sambil senyam-senyum seperti orang yang sedang kasmaran atau baru saja ketiban durian runtuh. Tidak tahu kenapa, dia hanya ingin tersenyum. Cemberut hanya membuat suasana hatinya tambah berantakan. Soal perasaannya pada Sabrina, memang setulus itu adanya. Namun, setelah balas-balasan chat dengan Melati kemarin, Wira sedikit sadar kalau apa yang memang sudah ditakdirkan, tidak akan bisa menyalahi takdirnya. Pada dasarnya, Tuhan adalah pemilik alam semesta. Wira sebagai hamba-Nya, hanya bisa melakukan hal terbaik yang dia bisa. Urusan baik buruknya, biar Tuhan yang menilai. Kalau urusan itu, penilai sebaik-baiknya keadilan adalah ia Sang Maha Adil. Kalau ditanya apakah Wira sudah move on dari Sabrina, jawabannya adalah tidak secepat itu. Sampai sekarangpun, perasaannya masih diselimuti dengan Sabrina. Dia hanya merasa senang memiliki teman baru di saat semua orang menjauh darinya. Oh ayolah, pernahkah kalian merasa kalau dunia membenci kalian? Lalu, tiba-tiba semua orang yang dulu menyanjungmu, bahkan orang terdekat, terkasihmu sekalipun, pergi meninggalkan mu begitu saja? Dan dengan tiba-tiba pula, orang yang tidak kamu kenal sebelumnya datang dan melipur lara dari kian banyaknya hari-hari mu yang melelahkan? Dan Wira merasakannya sekarang. Bagi Wira, itu sangat menyenangkan bisa memiliki teman baru yang sampai repot-repot datang ke apartemen sambil mengantarkan obat. Padahal sebelumnya, Wira tak bersikap ramah sama sekali. Dia tak berkesan untuk berkata pedas, tapi Melati-Melati ini tetap baik kepadanya. Namun lebih dari apapun itu, Wira tetap bingung juga bagaimana Melati bisa tahu dia sedang sakit. Saat ditanyai lewat pesan, wanita itu menjawab kalau akan bercerita saat bertamu di kantor. Dan sekarang, Wira malah tidak sabar untuk segera bertemu Melati dan bertanya kronologis bagaimana wanita itu bisa tahu segalanya. Tak mau terlambat pergi ke kantor, Wira bergegas pergi ke kantornya dengan senyum tampan yang menghiasi wajahnya tapi berubah dingin ketika keluar dari apartemen. Setelah mengendarai mobilnya dengan waktu yang tidak memakan waktu sampai setengah jam, Wira sudah memakirkan mobilnya di parkiran khusus dan keluar dari sana dengan menenteng tas kerja. Selama kerja di Stain, Wira selalu menggunakan fasilitas kantor. Sebenarnya, dia tidak mau, tapi dipaksa atasan ya sudah. Katanya, jika suatu saat nanti Wira berhenti, tidak repot untuk rekap semua data padahal itu adalah hal yang mudah bagi Wira. Namun ya sudahlah, namanya juga politik perusahaan. Wira tidak terlalu peduli dengan semua yang terjadi, yang penting, hidupnya tidak diganggu, sudah itu saja. Biarpun dia merasa dimanfaatkan, tapi ya dia sudah nyaman di sana dan enggan mencari tempat yang baru lagi. Karena kalau Wira mengambil hati semua perkataan orang-orang yang tidak menyukainya, bisa jadi Wira yang jadi stress sendiri dan yang memutuskan pergi padahal hal itu bukanlah hal yang tepat. Kalau dia pergi, itu artinya dia akan meninggalkan Sabrina. Kalau dulu, tentu Wira tidak mau. Tapi kalau sekarang, saat Sabrina memilih pergi dan memilih orang lain, Wira merasa kalau beban di pundaknya seolah hilang satu. Bukan beban yang memberatkan atau apa, tapi Wira tahu-tahu merasa lega jika suatu saat nanti benar-benar hengkang dari Stain. Ya karena dia tidak khawatir lagi dengan Sabrina saat pergi nanti karena sudah ada Aris menjaganya. Berlebihan, ya? Sebenarnya tidak juga. Selama ini, Wira merasa hutangnya pada Sabrina begitu banyak. Perempuan itu yang selalu menanaminya dalam suka maupun duka. Dan daripada sukanya, Sabrina lebih banyak menanggung bebannya. Karena itu, meski apapun yang terjadi, Wira selalu ingin mendampinginya, bahkan kalau Tuhan mengizinkan, dia ingin menghabiskan waktu dengan Sabrina sampai tutup usia. Memantapkan langkahnya, Wira berjalan santai bak model dan tersenyum tipis jika ada yang menyapanya lebih dulu. Bukannya mau sombong sih, dia hanya takut diabaikan hingga sakit hati sendiri, karena itu dia akan merespon jika disapa lebih dulu. Tapi, Wira akan tetap menyapa atasannya meski diabaikan sekalipun. Pilih kasih, bukan? Haha, mungkin Wira takut gajinya dipotong. Tidak-tidak! Tidak seperti itu, Wira bahkan tak peduli meski dipecat sekalipun. Masih banyak perusahaan yang membutuhkan keahliannya. Sebenarnya, hal biasa kalau Wira tidak sengaja kepapasan atau bertemu dengan Sabrina di lobi kantor. Hanya saja, semuanya terasa berbeda bagi Wira sekarang. Dulu, sebelum Sabrina menangis dan mengatakan ingin mengakhiri hubungannya di tengah jalan, Wira lah yang selalu berjalan di samping Sabrina, bukan Aris seperti sekarang. Rasanya aneh saja. Sadar karena sudah memikirkan hal yang menyakitkan lagi, Wira kembali mengingat perkataan Dokter Jonson untuk merenung, barang kali Wira akan mengingat sesuatu dan sadar akan keganjalan yang terjadi padanya selama ini. Karena tak mau memikirkan sesuatu yang menyakitkan di pagi yang indah ini, Wira langsung pergi ke ruangannya tanpa menyapa Sabrina dan Aris sama sekali. *** Istirahat makan siang, Wira memilih untuk menghabiskan waktunya untuk salat dan makan di dalam ruangannya sendiri. Dia ingin makan di luar sebenarnya, tapi terlalu malas jika dihadiahi tatapan malas oleh orang-orang. Nanti malah dia yang over thinking lagi setelah suasana hatinya membaik kan bahaya. Masih sibuk makan nasi kotaknya, Wira hampir tersedak tahu-tahu Melati dengan rambut dikuncir satu datang dan tersenyum tulus ke arahnya dari arah pintu masuk ruangan. “Mas Wira?” “Hu’um, kamu kenapa ke sini?” buru-buru Wira meneguk air dalam botol kemasan yang dia beli di bawah tadi. Tentu saja sejak kejadian itu, lebih tepatnya kemarin, Wira agak ramah pada Melati. Itung-itung balas kebaikan, kan? Siapa yang repot-repot mengantarkan obat sakit gigi hingga dia bisa tersenyum pagi ini kalau bukan Melati? “Mas? Mas Wira sibuk, nggak?” Wira menggeleng kemudian mempersilahkan Melati untuk duduk di depannya. “Duduk dulu,” Tanpa merasa sungkan, Melati langsung duduk seperti yang Wira instruksikan. Wanita itu juga jadi senyam-senyum sendiri. “So, mau apa?” tanya Wira kalem. Pada awalnya, Melati terus senyum hingga Wira mengernyitkan dahinya tidak mengerti. “Mas sudah tidak marah lagi kalau ada saya?” “Hm? Memangnya saya selalu marah kalau ada kamu?” “Iya,” balas Melati mantap. “Mas terlihat tidak suka tiap kali ada saya di sekitar, Mas.” Wira mengembuskan napas pelan. Kemudian bertopang dagu sambil menatap Melati lamat-lamat. “Karena kamu tidak sopan,” “Ha? Iya kah? Sepertinya saya selalu izin sama Mas.” Melati turut menatap Wira lamat-lamat. “Tidak. Kamu seringnya datang tidak izin, langsung duduk begitu saja. Tidak sopan itu namanya.” Melati malah cengengesan, kemudian menatap Wira lagi. “Kalau izin belum tentu dikasih izin, ya saya langsung duduk saja.” “Well,” balas Wira seadanya sambil menyandarkan punggungnya yang terasa pegal ke kursi. Dia lipat kedua tangannya di depan d**a. “Kamu dari divisi mana?” “Manajement risiko,” Wira langsung tertarik. “Sama Sabrina?” tanyanya meyakinkan. Pasalnya, selama ini Wira tidak tahu kalau Melati berada di divisi yang sama dengan Sabrina. Sebagai balasan atas pertanyaan Wira, Melati mengangguk mantap. “Kepo boleh tidak, Mas? Kenapa putus sama Bu Sabrina, padahal saya kira kalian akan sampai ke jenjang pernikahan.” Seandainya saja semudah itu, Wira juga inginnya begitu, membangun rumah tangga dengan perempuan yang dia cintai. Tapi sayangnya, sepertinya bukan dirinya lagi yang Sabrina cintai lagi. Daripada merasa tersiksa, lebih baik diakhiri saja bukan. Kata orang, untuk semua yang terjadi itu memerlukan alasan. Tapi sekarang, Wira tahu alasannya berhenti setelah beberapa waktu lalu terus menyalahkan diri sendiri. “Tidak ada, hanya sudah tidak cocok saja.” Melati menyipitkan matanya, dia tatap Wira dengan sorot curiga. “Betul kah? Kok saya tidak percaya.” “Ya terserah kamu, bukan urusan saya,” balas Wira acuh. Perlu diketahui ya, meski sudah sedikit ramah, bukan berarti perempuan itu alias Melati langsung bisa memegang kendali begitu saja. Wira bukan tipe orang yang mudah memberikan hati sampai ke jantung-jantungnya pada orang lain. Jadi ya jangan harap bisa semudah itu untuk meruntuhkan tembok yang Wira bangun untuk membatasi dirinya sendiri. “Baiklah, terserah Mas, saja. Saya pergi dulu.” Wira hanya diam meski apapun yang terjadi. Mungkin hutang budi yang Wira rasakan belum terbayar. Namun, dia tidak suka saat orang baru tahu-tahu ingin mengulik apa yang terjadi pada hidupnya yang berharga. *** Waktu pulang sekitar pukul setengah lima, Wira sudah bersiap dengan tas kerja yang ia tenteng menggunakan tangan sebelah kiri. Dia tidak lembur karena ingin mengerjakan kurangan pekerjaan karena sempat izin sehari karena sakit di apartemen saja. Sepanjang jalan ke lantai dasar, Wira merasa tidak nyaman saat orang-orang baik laki-laki maupun perempuan menatapnya yang lebih kepada menghakimi? Karena tidak mau mengambil hati seperti hari yang lalu-lalu, Wira pasang muka tembok dan berjalan lebih cepat menuju lift. Sampai lift, otaknya banyak mengatakan hal hingga Wira tidak tahu harus melakukan apa selain geleng-geleng. Hingga sampai di lantai dasar, Wira berjalan begitu anggun sesekali menyilakan rambutnya seperti orang yang memiliki rambut panjang. Orang-orang di lantai dasar kembali menatap Wira heran, tidak paham juga dengan yang sedang Wira lakukan sekarang. “Eh, itu alternya mungkin kambuh lagi. Ayo cepetan pergi!” “Astaga, lama-lama gue keluar juga dari kantor kalo dia kumat-kumatan gini terus. Aing takut, Mak!” “Satpam mana sih, satpam. Ntar kalo Wira bikin ribut kayak yang di apartemennya gimana, coba?” “Puter aja lewat pintu samping, nggak berani gue deket-deket sama tuh laki. Ngeri-ngeri sedep, hii…” Mereka yang nyinyir sudah putar balik, hampir mencapai luar juga, sayangnya, Wira memang sedang tidak ingin berhenti. Tanpa mereka sadari, saat berbalik mencari jalan lain agar tidak bertemu dengan Wira, justru Wira sendiri yang repot-repot balik badan dan menghadang langkah mereka semua. “Hallo, kalian bilang apa tadi?” Perempuan yang bergerombol sekitar lima orang itu langsung diam di tempat layaknya orang kena gendam. Mereka terlalu kaget dengan Wira yang datang tiba-tiba. Ketika mereka saling colek ingin bersama-sama kabur lagi, Wira kembali menghadang langkahnya dengan menahan salah satu dari mereka. Dari kelima orang itu, entah kenapa Wira memilih menahan tangan Mbak Jaelani. Keempat temannya pun langsung tergesa pergi, meninggalkan Mbak Jaelani sendirian karena ketakutan sendiri. “Eh, gue kok ditinggal,” Mbak Jae menatap Wira sekilas, ketakutan, berusaha melepaskan cekalan tangannya. “Duh permisi, Pak. Saya mau pulang.” Tapi tidak semudah itu. Wira terus saja menahan tangannya hingga Mbak Jaelani memekik ketika tangannya diputar layaknya Wira sedang memeras baju. “Aww! Tolong!” Mbak Jea memekik dengan mata berkaca-kaca. Tangannya sepertinya akan patah kalau Wira sedikit lagi melanjutkan memutar tangannya yang lemah. Jam pulang yang ramai membuat banyak pasang mata melihat kejadian itu. Bahkan dari sekian banyaknya penghuni kantor tersebut, tak ada satupun yang mau membantu Mbak Jaelani. Untung ada satu perempuan yang berbaik hati. Dia sampai lari dan hampir terjengkang karena heels yang dia kenakan. “Mas, jangan, Mas. Nanti tangannya patah!” Sabrina menahan tangan Wira sekuat yang dia bisa, berharap tidak melakukan perlawanan yang lebih kuat lagi. Karena kalau itu terjadi, Sabrina mungkin yang akan dilukai. Wira hanya melengos, tak peduli dengan Sabrina. “AW, Sab tolong!” Mbak Jae merintih saat Wira kembali memutar tangannya. Sabrina tak menyerah begitu saja. Dia kembali menahan tangan Wira, bahkan tak segan untuk memukul tangannya. “Mas dengar!” pintanya memohon sambil menatap mata Wira dalam “Jangan!” Orang-orang di lobi layaknya semut yang sedang mengerubungi gula. Bukannya membantu memisahkan perdebatan itu, mereka hanya melihat dari kejauhan dan tidak mau ikut campur sama sekali. Sabrina menoleh ke kanan dan ke kiri saat tak melihat Aris dimana-mana. Dia harus bagaimana sekarang? “Mbak, Mbak Jwe minta maaf sama Mas Wira, ya? Mbak pasti ngomong yang enggak-enggak tadi.” Sambil menahan sakit, Mbak Jae menatap Sabrina tajam. Dia tidak terima dibilangi seperti itu oleh Sabrina. “Kamu jangan sok tahu! Saya tidak melakukan apa-apa dan kekasih gilamu ini langsung menyerang sa—AWW!” Sabrina memejamkan matanya dalam-dalam. Dia tatap Wira sekali lagi, memohon dengan sangat agar berhenti. Demi apapun, mereka sudah jadi pusat perhatian sekarang. Dan bagian menyedihkannya, tidak ada yang menolong. “Siapapun tolong! Kenapa kalian diam saja?!” pekiknya pada orang-orang yang hanya melihat, tanpa mau membantu. Sabrina hampir di ambang batas kemampuannya sendiri saat Wira turut mencengkeram tangannya dengan tangannya yang lain. "Mas?" Sabrina menelan ludah susah payah, berharap kali ini ada yang mau membantunya, setidaknya Wira sadar dengan sendirinya. Kemarin saja, Wira sudah membuat keributan. Kalau sekarang ingin berbuat keributan lagi, Sabrina sangsi kalau setelah ini semuanya akan baik-baik saja. "Mas tolong berhenti." Namun tidak, Wira malah semakin kejam dengan menjambak rambut Mbak Jaelani hingga perempuan itu betulan menangis. Sabrina memejamkan matanya dalam-dalam, tangannya gemetar terangkat ke atas dan mendarat keras di pipi Wira.  Hening lantas melanda. Dengan mata memerah hebat, Wira melepaskan Mbak Jaelani dan ganti menatap penuh perhitungan ke arah Sabrina.  "Berani-beraninya!" Wira menarik lengan Sabrina kasar. Mbak Jaelani yang tidak tahu diri langsung melipir pergi. Padahal, dari ratusan orang yang ada di sana, hanya Sabrina yang bersedia menolongnya. Dasar tidak tahu diri! Sabrina menggeleng saat merasakan cengkeraman tangan Wira menguat. Sabrina tidak ingin melebih-lebihkan, tapi rasa sakit itu terasa sangat nyata. Dia meringis saat sentuhan Wira menciptakan rasa sakit yang amat sangat. "Sakit, Mas." rintihnya.  Wira tersenyum miring, dia angkat kasar dagu perempuan itu. "Kamu harus merasakan rasa sakit lebih dari ini, sayang." "Nggak, kamu nggak jahat!" Sabrina menegaskan. Namun sayangnya, Wira memang tidak mau berhenti mencipatakan rasa sakit untuk Sabrina. Bahkan setelah itu, tidak ada yang berani  membuka matanya untuk melihat apa yang terjadi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD