24. Ketidakbenaran

2031 Words
Menjelang sore, Aris masih terlena akan pikirannya sendiri. Dia terus saja teringat dengan perkataan Wira yang meminta izin untuk berbicara dengan Sabrina, tapi dirinya malah tidak menyetujui dan mengatakan hal yang tidak-tidak. Jujur saja, Aris bukannya dengan sengaja ingin melukai hati sahabatnya sendiri. Hanya saja, dia benar-benar takut jika Sabrina sampai kenapa-napa lagi jika Wira sampai menghampirinya seperti hari lalu. Dia hanya ingin keadaan Sabrina membaik dulu. Lagi pula, kalaupun Aris tidak menolek lebih dulu, belum tentu juga Sabrina mau diajak bertemu. Sedangkan Sabrina yang memperhatikan Aris dari tadi merasa ada yang salah begitu Aris yang biasanya banyak bicara jadi begitu pendiam. Dia sudah merasa lebih baik sekarang, meski rasa sakit itu tetap ada. Sabrina sadar betuk jika sakitnya ini bukan karena keinginannya sendiri. Dia hanya bisa berikthiar dan memasrahkan hasilnya pada Tuhan-nya. Sebagai hamba, setidaknya dia sudah berusaha melakukan yang terbaik untuk kesembuhan orang-orang. Beberapa saat kemudian, Aris tersentak akan lamunannya sendiri. Dia menoleh ke arah Sabrina dan tersenyum garing melihat perempuan itu juga tengah melihat ke arahnya. “Kenapa Sab, ganteng ya?” Sabrina hanya mesem melihat Aris yang cengengesan sok ganteng, padahal aslinya memang ganteng juga. Tapi kalau dibandingkan dengan Wira, tentu Sabrina akan memilih Wira kemana-mana. Oke lupakan, seharusnya Sabrina tidak memikirkan sampai ke sana lagi. Dirinya dan Wira sudah berakhir, sudah tidak ada yang bisa diperbaiki lagi kalau ingin semuanya berjalan seperti yang sudah Sabrina rencanakan sendiri. Dia sudah tahu akhirnya seperti apa. Jadi, seharusnya Sabrina sadar kalau dirinya tidak berhak menangis meski tanpa suara sekalipun. Karena kebenarannya, Sabrina adalah penyebab dari semua ketidak benaran ini. Sabrina adalah penyebabnya. “Bang?” Aris menggumam pelan sambil menatap Sabrina yang masih terlihat kurang sehat, “ya?” “Tadi aku denger kamu larang Mas Wira buat ketemu sama aku.” Kalau sudah mendengar sendiri, Aris mana bisa mencari alasan untuk menghindar. Sabrina juga bukan perempun bodoh yang akan diam saja dengan ketidakbenaran yang terjadi. “Ya gimana?” Aris akhirnya malah membalas dengan pertanyaan. “Biarin dia masuk dan semakin buat kamu sakit gitu?” Sabrina memalingkan wajah saat Aris menatapnya lurus-lurus. “Tapi tidak seperti itu caranya. Abang kan tahu kalau bukan Mas Wira yang buat aku jadi kayak gini. Jadi stop ghosting dia ya, Bang?” dia melihat ke arah Aris lagi. Sayangnya, Aris membuang muka seolah ide yang baru saja Sabrina katakan adalah sesuatu yang buruk hingga pria itu tidak bisa menerimanya. “Lihat nanti lah, Sab. Males lama-lama.” Ingin sekali Sabrina mendebat Aris lagi. Namun apalah daya kalau keadaannya seperti ini. Dia tidak bisa melakukan apa-apa selain pasrah dan menerima semua cobaan yang diberikan kepadanya. “Ya udah, kalau nggak boleh ke sini nggak papa, tapi jangan diomongin yang enggak-enggak.” “Emangnya kenapa?” tanya Aris dingin. “Dia kan, bukan kamu yang aku bilangin?” “Iya, Bang. Tapi masalahnya rasanya sampai ke aku. Dan itu sakit banget kalau Abang sampai ngomong yang aneh-aneh sama dia.” “Kenapa baru bilang sekarang?!” Aris menggebrak tepi ranjang hingga berdiri. Dia tidak habis pikir dengan Sabrina yang selama ini tidak pernah mengatakan apa-apa. “Jadi? Jadi selama ini?” Sabrina hanya menunduk, memainkan jemarinya yang terasa tidak nyaman. “Terus selama ini, waktu orang-orang ngejauhin dan ngomong yang enggak-enggak, kamu juga ngerasain sakitnya?” Gelengan pelan yang Sabrina berikan sebagai jawaban membuat Aris semakin percaya kalau itu adalah kebalikannya. “Aku nggak pernah merasa serendah ini, Sab. Bodoh banget aku, iya kan?” Aris masih terdiam dengan senyuman miring. Sudah enggan melanjutkan apa yang ingin diceritakan pada Sabrina saat perempuan itu mulai memejamkan matanya untuk tertidur. “Bang, maaf. Maksudku bukan seperti itu,” Sabrina mencoba menjelaskan lagi. Tidak lucu sama sekali jika mereka bertengkar seperti ini. Dan Sabrina tak ingin pula semakin dibenci banyak orang. Tidak dibenci saja dia sudah menderita apa lagi kalau dibenci, Sabrina bisa semakin menderita. Mungkin, Aris kasihan dengan Sabrina yang meminta maaf dan memohon sampai seperti itu. Karena itu, dia meminta Sabrina untuk berhenti berbicara. Dia ingin tidur saja, tubuhnya masih lelah. Sabrina menelan ludahnya sendiri. Sakit tanpa dimarahi saja, dia sudah menangis berkali-kali. Dan sekarang, dia sakit dan Aris jelas memasang tampang kecewa, Sabrina tidak tahu harus mendeskripsikan perasaannya seperti apa lagi. Dia ingin menangis tiap kali orang-orang marah kepadanya. Entah itu orang terdekat atau orang lain yang bahkan tidak Sabrina kenal sekalipun. Sedari awal, Sabrina memang sesensitif itu saat dimarahi. Tanpa ia sadari, Wira masih menunggui di depan pintu. Dia bisa mendengar percakapan antara Aris dan Sabrina. Dia sangat berterima kasih dengan Sabrina yang masih mau membela dirinya. Wira kira, Sabrina telah membencinya setengah mati. Namun tetap saja, Wira bingung bagaimana bisa bicara empat mata dengan Sabrina. Dia bisa saja nekat masuk. Tapi, dirinya tidak bisa menjamin tidak ada keributan seperti hari lalu. Apalagi sekarang Wira merasa tubuhnya sedang lelah-lelahnya. Satu jam, dua jam, Wira masih bertahan di depan. Tahu-tahu, ada suster yang keluar dan meminta Wira untuk masuk. “Dengan Mas Wira?” Wira mengangguk. “Iya, Sus?” “Mari masuk mas, pasien ingin bicara dengan Anda.” “Tapi—” Seakan bisa membaca kegelisahan di mata Wira, perawat itu melanjutkan lagi. “Mas Aris sedang pergi. Jadi Mbak Sabrina sendirian, Mas. Dia takut, minta ditemani oleh Mas.” Melihat ke arah susrer yang menunjukkan keseriusannya, Wira mengembuskan napas pelan dan masuk ke dalam ruang rawat Sabrina saja daripada terus ditunggui seperti anak kecil yang tak kunjung berjalan ketika disuruh oleh mamanya untuk melakukan sesuatu. Begitu masuk ke dalam dan melihat dari ambang pintu masuk, Wira merasakan kepalanya berdenyut hebat. Namun dia tetap memaksakan tubuhnya untuk menghampiri Sabrina yang terbaring lemah di atas ranjang. “Sab?” Sabrina tersenyum lega melihat Wira masuk dan mengambil tempat untuk duduk di sampingnya. “Maaf merepotkan, Mas.” Wira menggeleng, tersenyum singkat ke arah Sabrina. “Tidak sama sekali. Tidurlah, aku akan berjaga di sini.” Bagai anak ayam yang begitu penurut dengan induknya, Sabrina ingin menurut dengan kembali tidur. Sayangnya, ini sudah pagi dan Sabrina sudah tidak mengantuk kembali. Mungkin nanti setelah minun obat Sabrina akan tidur lagi. Dia butuh partner bicara sekarang. Dan sejauh ini, Wira adalah partner yang baik saat diskusi membahas apapun itu. Mungkin, Sabrina merindukan Wira. Karena itu dia meminta pria ini masuk untuk menemuinya. Tapi tetap saja ada yang ingin Sabrina tanyakan secara langsung pada Wira. Begitupun dengan Wira sendiri. “Sab?” “Iya?” Sabrina menatap Wira yang terlihat pucat lamat-lamat. Perasaannya langsung kembali tidak enak mengingat sebenarnya Aris menghilang, bukan pergi dari ruangan ini. Sabrina sudah terbiasa begitu. Sering kali tiba-tiba orang yang mengajaknya bicara hilang dengan misterius. Kadang Aris, kadang dokter, kadang suster. Jika, ingin menjerit ketakutan pun, rasanya percuma. Yang ada, dia malah semakin sakit sendiri. "Aku tanya, tolong jawab jujur." Wira menatap Sabrina begitu dalam. Kemudian, dia menunduk sejenak saat merasakan sesuatu menekan dadanya. Sedangkan Sabrina sendiri malah bungkam dan terlihat tidak menjawab begitu ditanyai. "Hari itu, waktu kamu nangis," Wira jelas sekali melihat wajah Sabrina berubah tegang. Namun, dia tidak bisa berhenti sampai di sini. Harus ada kejelasan yang terjadi di antara mereka. "Kamu diganggu hantu perempuan?" tanya Wira langsung saja. "Tolong jawab jujur, jangan bohong." Sabrina meremas tangannya tidak tenang. Saat itu, memang iya. Tapi kalau Sabrina menjawab iya, dia takut kalau hantu itu muncul kembali. Dia hanya tidak sanggup kalau sekarang juga. Sabrina masih butuh waktu. Waktu yang dia sendiri tidak tahu sampai kapan akan memilikinya. "Mas, bisa jangan bahas itu sekarang?" Sabrina mengatakannya begitu saja dengan raut wajah pasih. Dia terlalu takut meski lebih cepat dibicarakan lebih baik. Sabrina sadar kalau mereka kini sedang dikejar waktu sekarang ini. Tapi apa boleh buat, Sabrina rasa kalau seperti ini lebih baik, tidak perlu menukar nyawa dengan nyawa yang lainnya lagi. Sudah cukup, Sabrina sudah lelah. Wira merasa rendah diri begitu Sabrina tidak lagi terbuka padanya. Rasanya menyakitkan sekali mengingat Sabrina adalah orang yang paling dekat dengannya tapi sekarang jauh sekali dengan dirinya. Jangankan terbuka, ingin berbicara empat mata seperti  ini saja rasanya sudah sulit sekali. Wira tidak pernah membayangkan ini sebelumnya.  Kalau boleh memilih, Wira juga tidak ingin membahas hal semacam ini pada Sabrina. Tapi mau bagaimana lagi? Dia tidak mungkin terus diam sampai ada yang nyawanya melayang, bukan? Wira tidak bisa terus diam seperti ini. Dia harus segera menyelesaikan masalahnya dengan makhluk gaib itu. Dia tidak mau terus-terusan dihantui. Seandainya dirinya memang punya hutang, bagaimanapun caranya, Wira akan membayarnya, bukan malah terus dibebani seperti ini. Wira sendiri bahkan tidak tahu salahnya di mana. "Kalau kamu menghindar terus, terus cara menyelesaikan masalahnya gimana, Sab?" "Masalah apa?" tanya Sabrina betulan kebingungan. Dalam otaknya yang paling rasional sekalipun, dia tidak menemukan maksud dari Wira membahas ini. Yang Sabrina tahu, Wira tidak mengetahui apa-apa.  "Jangan pura-pura tidak tahu, Sab. Sakitmu ada hubungannya dengan hantu itu, kan?" Sabrina bungkam.  "Kenapa diam, Sab? Kamu--" Sabrina menoleh saat Wira tidak melanjutkan kalimatnya. Begitu melihat Wira, detik jantung Sabrina menggila begitu melihat darah segar meluncur bebas dari hidung Wira yang bangir. Kondisinya tidak memungkinkan untuk membantu. Mendudukkan dirinya sendiri saja Sabrina tak mampu. "Mas? Mas Wira Ya Allah..." Wira sendiri malah terlihat seperti orang linglung melihat darahnya sendiri. Beberapa saat kemudian, dia menoleh dan berujar pelan. "Sab?" Namun, tubuh Wira lebih dulu limbung hingga tubuhnya yang tegap jatuh dan terkapar di lantai tak berdaya. Yang terjadi sama seperti sebelum-sebelumnya. Sabrina yang gerakannya terbatas berupaya untuk menekan tombol darurat yang ada di belakangnya, di dinding. Namun tubuhnya terlalu kaku hingga gerakannya yang begitu memaksa membuat tubuhnya terbalik dan tidak bisa digerakkan sama sekali. Gerakannya seperti dikunci di sana.  Sabrina menjerit. Rasanya sakit sekali. Tulangnya seperti dipatahkan paksa. Dia dalam keadaan sadar, tanpa ada bius sama sekali yang ada di dalam tubuhnya. "Ya Allah..." Wira yang terkapar tak berdaya hanya bisa diam. Dia benar-benar tidak bisa berbicara sama sekali. Rasanya berat sekali hanya untuk mengatakan sepatah kata, padahal Wira hanya ingin memanggil Sabrina, memastikan perempuan itu baik-baik saja.  Bersamaan dengan itu, semakin besar upayanya untuk membuka mata, Wira malah semakin tak bisa mempertahankan kesadarannya. Kesadarannya berangsur-angsur menghilang bersamaan dengan jeritan tertahan Sabrina yang begitu menyayat hati.  *** Ada yang pernah mengatakan jika seseorang bisa terlahir kembali yang biasanya disebut dengan reinkarnasi. Namun Wira tidak percaya karena yang diajarkan padanya selama ini hany dua kehidupan. Pertama, yaitu waktu hidup di dunia dan mencari bekal sebanyak-banyaknya untuk di akhirat nanti. Dan kedua, yaitu akhirat yang menjadi tempat abadi baginya kelak.  Lalu sekarang, saat dirinya banyak diberi cobaab, tiba-tiba Wira berpikir jika di kehidupan yang sebelumnya dia sudah membuat kesalahan yang sangat besar hingga membuat dirinya mendapat balasan menyakitkan seperti ini. Atau maksudnya, semua yang dia lakukan sebelum ini karena WIra baru sadar jika yang dituduhkan kepadanya itu bear meski kenyataannya bukan seperti itu. Wira juga bukan orang yang percaya dengan karma. Wira hanya percaya pada balasan. Apa yang dilakukannya baik, baik balasan baik yang akan diterima. Namun, apabila yang dilakukannya buruk, maka balasan buruk yang akan diterima.  Lalu sekarang, Wira tidak tahu kesalahannya yang mana hingga dia mendapat balasan yang begitu kejam seperti ini. Saat membuka matanya dan berada di suatu ruangan tanpa ada siapapun yang menunggui, Wira merasa kalau kematian bisa membunuhnya saat itu juga. Sedari awal, dia memang takut mati sendirian karena sudah tidak memiliki keluarga sama sekali.  Ingatannya langsung berlabuh pada sosok Sabrina yang terakhir dia ingat adalah jeritan tertahannya. Niat hati ingin turun dari ranjang dan pergi menghampirinya, tapi sekarang malah rasa sakit di dadanya yang begitu mendominasi, Wira kesulitan manahan rasa sakitnya hingga harus menarik napas berulang kali.  Syukur beribu syukur tiba-tiba Melati datang membuka pintu dan bergegas duduk di samping Wira. "Mas, Mas baik-baik saja?" tanya Melati khawatir. Raut wajahnya berubah tegang dengan keringat yang membasahi pelipisnya.  Wira mengeratkan cengkeramannya pada dadanya sendiri. Dirasa mampu untuk berbicara, Wira membuka mulutnya namun berakhir terbatuk hebat sekali. Melati yang tidak tega sampai meringis, seakan-akan ikut merasakan rasa sakitnya.  Tanpa membuang waktu, tangannya ia ulurkan ke arah d**a Wira dan mengusapnya perlahan, dengan tenang. Matanya yang sayu terpejam fokus, bibirnya yang sedikit terbuka lantas mengatakan sesuatu. "Mas akan baik-baik saja. Mas akan baik-baik saja." Wira sendiri hanya bisa menelan ludah susah payah saat melihat Melati yang terpejam malah menangis dalam diam dan menggumamkan kalau dirinya akan baik-baik saja. Namun Wira rasa, tidak akan ada yang baik-baik saja. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD