6. Berulah Lagi

2118 Words
WIRA'S HATERS GANTI TAHUN ! Om Santi Om : Gaes, masak, ya? Kemarin si doi bicara sendiri di ruangannya pas gue mau nganterin berkas. Mak Ipeh : Seriuasan, Mak? Itu orang kambuh lagi gilanya? Om Santi Om : Ih nggak tahu. Pokoknya bicara sendiri kemarin tuh... daripada we dicekek kayak si Siska dulu, we langsung putar balik deh, moon door alon-alon. Hih, ngeri deh. Mbak Jaelani : Heh gosip! Itu seriusan apa karagangan? Tahu-tahu, nanti malem didatangi orangnya lagi gara-gara dihujat di belakang. Om Santi Om : Amit-amit, Mak. We mah masih saying nyawa. Kan ngomong begini biar kalian pada tahu, takutnya si Mas Wira kambuh lagi ayannya. Mak Ipeh : Itu beneran ayan apa bagaimana, si? Orang Sabrina aja udah udahan sama Wira. Pasti kana da something happened. Ya nggak? Mbak Jaelani : Ya juga sih, kayaknya si Sab udah nggak tahan, makanya minta udahan. Ya kali dia betah sama Wira yang kadang-kadang aneh banget gitu. Om Santi Om : Iya, si Wira nggak didepak sari Stain juga karena masih banyak kontrak yang nangani dia. Coba aja kalau enggak, pasti udah dibuang dari dulu. Ganteng sih ganteng, tapi kalo psikopat ya mana ada yang mau? Mak Ipeh : Masak gue doain dia dipecat? Jahat banget gue, parah banget sih Mbak Jaelani : Kadang kasian, tapi kok dia nggak kasian sama kita-kita yang suka dimarah-marahin, ya?' Om Santi Om : Emang dia fix punya kepribadian ganda ya, Mak? Mbak Jaelani : Enggak tahu juga sih. Ah pusing mikirin masalah orang, cicilan mobil gue aja belum lunas, beb. Yok ah kerja, gibah mulu. Mak Ipeh : Yok, btw istirahat dulu ges, solat-solat, dah azdan tuh Om Santi Om : Siap lah, Mak. Ketemuan di lobby ya, we mau meluncur, udah beres ini urusan. Mbak Jaelani : Sip, ane lanjutin bentar, tinggal sumbit ke Sabrina ini. Mak Ipeh : Yak, ditunggu. Dan, perpesanan singkat itu berhenti di sana. Memang semenjak semua tidak beres, semua orang mulai membicarkan Wira. Semua pencapaiannya yang cemerlang seolah terlupakan begitu saja dan berganti dengan tuduhan yang tidak berbukti. Di Stain sendiri, kaum perempuan yang sering mengghibah tentang Wira. Kalau kaum laki-laki, mereka tidak peduli meski Wira betulan menderita alter ego sekalipun. Baginya, selama Wira tidak mengganggu, itu tidak masalah. Dan Sabrina, dulunya dia tidak pernah diajak membahas tentang Wira karena tentu saja mereka sungkan, tidak mungkin menjelek-jelekkan kekasih di depan kekasihnya sendiri. Namun sekarang, saat orang-orang tahu kalau hubungan Sabrina dan Wira sudah kandas di tengah jalan, Sabrina kembali di dekati dan tak segan lagi membahas tentang Wira, apalagi sampai menjelek-jelekkannya. Sabrina bahkan sampai mengurut dadanya yang mendadak sesak saat kalimat kejam yang orang-orang lontarkan tentang Wira. Selama menjalin hubungan dengan Wira, banyak yang Sabrina kagumi pada pria itu. Sebanyak apapun orang yang membencinya, sejahat apapun orang-orang membicarakan dirinya yang tidak-tidak, Wira tidak pernah mengambil hati dan menganggapnya sebagai angin lalu saja. Karena pria itu tahu, mendengarkan omongan orang tidak akan ada habisnya. Mungkin saja, Sabrina sudah terpengaruh dengan perangai Wira yang kalem dalam menghadapi masalah, atau memang dasarnya Sabrina yang memang lemah lembut, makanya dia bisa menyaring semua perkataan yang seharusnya tidak dia masukkan dalam hati. Oh ayolah, untuk apa mendengarkan sesuatu yang tidak penting bukan? Membuang-buang waktu saja. "Sab, denger-denger kamu udahan sama Wira, ya? Ih saying banget, padahal aku dulunya bucin sama kalian lhoh, eh taunya gagal juga. Ngomong-ngomong, kenapa? Udah tambah parah ya, ayannya?" tanya Mbak Jaelani yang kebetulan memberikan berkas pada Sabrina langsung ke ruanganya. Ibarat kata, sambil menyelam minum air. Biasa, ibu-ibu suka ghibah. Kalau saja Sabrina bukan orang yang penyabar, pasti sudah kena semprot olehnya Mbak Jaelani ini. Namun, alih-alih marah, Sabrina malah tersenyum tipis sebelum akhirnya menatap Mbak Jaelani serius. "Nggak baik, Mbak, membicarakan aib orang. Apalagi Mas Wira nggak pernah nyari masalah sama, Mbak." Merasa tertampar tapi terlalu tak sudi untuk meminta maaf, Mbak Jaelani malah mendumel. "Anak kecil aja sok nyeramahin orang tua!" Daripada membalas Sabrina yang memilih diam saja, Mbak Jaelani keluar sendiri dari ruangan tersebut. Sabrina hanya bisa mengurut dadanya perlahan. Setiap kali ada yang menjelek-jelekkan Wira di depan wajahnya, dia akan merasakan sakit di bagian tubuh tertentu dan Sabrina sudah bertahun-tahun mengalami semua ini. Hanya saja, Sabrina menyerah saat merasa tak lagi mampu mendampingi Wira. Fisiknya tak setangguh itu meski batinnya mau bertahan. Mungkin benar Sabrina yang terlalu lemah. Tapi perempuan itu juga sadar, dia tidak punya kekuatan cukup untuk melawan. Dia saja harus meminta bantuan pada Aris untuk membantu mengurangi rasa sakitnya. Karena kalau tidak, dia tidak mungkin masih bisa bekerja hingga sekarang. Atau mungkin saja, dia sudah kalah telak sejak Wira membuka matanya tiga tahun yang lalu. *** Saat kuliah dulu, pasti diajari yang namanya totalitas, loyalitas, rasionalitas, profesionalitas, solidaritas saat mengikuti organisasi kemahasisaan atau biasa disebut ORMAWA yang terdiri dari macam-macam UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) dalam suatu Keluarga Besar Mahasiswa di sebuah Universitas. Totalitas, yakni sungguh-sungguh aka serius. Loyalitas, yakni kesetiaan. Rasionalitas, yakni pemikiran yang logis. Profesionalitas, yakni mampu menempatkan diri. Solidaritas, yakni persaudaraan. Menjadi anak Teknik Sipil selama kurang lebih tiga setengah tahun, Wira sudah menelan banyaknya pil pahit kehidupan menjadi mahasiswa yang kurang mampu dalam hal finansial. Meski dia mendapat bea siswa dari pemerintah sekalipun, rasanya masih saja ada yang kurang saat kebutuhan yang lain belum terpenuhi. Waktu kuliah dulu, Wira memilih kontrakkan sebagai tempat tinggal sementaranya karena harganya lebih murah karena dibayar bersama-sama. Selain itu, dia dan teman-temannya juga memilih masak bersama, guna menakan pengeluaran. Mungkin banyak yang berpendapat kalau anak bea siswa biasanya malah yang kaya. Mungkin benar, mungkin juga salah. Dalam kasus Wira, dia memang termasuk jajaran mahasiswa kurang mampu sehingga dia bisa dibilang pantas untuk menerima bantuan tersebut. Namun, lain cerita bagi teman satu kontrakkannya juga yang penerima bea siswa, tapi hidupnya mewah, hedon pula. Katanya, 'Don't judge the book by it's cover' tapi, melihat dari luarnya saja, Wira dan teman-teman yang lain juga tahu kalau hidupnya mewah. Bagaimana bisa tahu? Ya tentu saja saat teman-temannya sikat-sikat baju sendiri, dia malah menggunakan jasa laudry. Lalu saat temannya saling pinjam-pinjaman handphone karena tidak memiliki handpone yang berkamera, dia sudah memiliki handphone keluaran terbaru pada masanya. Ada lagi, saat Wira dan teman-teman lainnya makan tempe penyet, telur ceplok yang dibagi-bagi, dia malah makan ayam dengan lahapnya. Saat itu, Wira bilang pada dirinya dan teman-temannya sefrekuensi sepereti ini. "Nggak papa, rejeki udah ada yang ngatur. Tuhan mau lihat kita melakukan effort lebih untuk kehidupan ini, jadi jalani saja. Toh, kita juga bahagia makan tempe sama telur tiap hari, yang penting kan sehat, dan masih hidup." Lalu sekarang, saat dia sudah menjadi pria yang sukses dan matang, dia mempertanyakan sikapnya yang tegar dulu. Bagaimana dia kembali ke masa itu? Masa di mana dia memiliki banyak teman yang saling mendukung satu sama lain meski apapun keadaannya. Saat tak ada lawan, yang inginnya menjatuhkan saja. Wira merindukan moment-moment berjuang secara sportif seperti itu. Dulu, dia memang belum dekat dengan Sabrina, dia hanya sebatas tahu kalau ada adik tingkat cantik kalem yang kebetulan sama-sama satu UKM dengannya. Namun lebih dari apapun sekarang, hidup bukan tentang perempuan dan laki-laki saja. Ada banyak permasalahan yang dapat diekspor di waktu ini. Sampai detik ini pun, Wira tak pernah sekalipun berpikiran negative pada Tuhan. Dia terus saja menatakan pada diri sendiri kalau tidak apa-apa dijauhi, yang penting dirinya tidak merugikan orang lain. Tapi masalahnya, di saat merasa tidak melakukan sesuatu, orang-orang tetap saja mengeluhkan perbuatan tercelanya. Masak, tadi dia diminta ke ruangan atasannya lagi dan diberi peringatan yang entah sudah keberapa kalinya. Wira saja sampai bosan. Sebenarnya, Wira tipe orang yang mudah minta maaf. Dia bisa saja asal mangatakan maaf pada orang, tapi masalahnya, dia tidak mengerti salahnya dimana. Kalau dia tahu kan, lebih mudah dan ikhlas mengatakan permintaan maafnya. Tapi kalau sekarang, kata maafnya seperti mengambang di udara. Wira bahkan tidak tahu apa yang dia rasakan sekarang, rasanya ingin memaki orang saja. Bagaimana tidak? Dia dituduh sudah menghadang langkah Mbak Jaelani dan menjambak rambutnya di saat jam istirahat makan siang, di depan umum pula. Bersamaan dengan itu, Wira merasa kalau sedari tadi dia tidak kemana-mana. Dia hanya berkutat dengan PC nya di ruangannya sendiri. Terus bagaimana ceritanya dia turun ke lantai dasar dan menjambak Mbak Jaelani? Lagi pula, Wira tidak memiliki masalah dengannya. Wira juga punya banyak pekerjaan yang harus diselesaikan daripada harus membuang waktunya untuk perdebatan yang sia-sia seperti itu. Sayangnya, semua orang juga mengatakan kalau Wira yang melakukan keributan pertama kali. Sabrina dan Aris seakan-akan kompak untuk menjatuhkannya dengan mengatakan iya kalau mereka melihat Wira melakukan hal tak terpuji itu pada perempuan. "Lo kenal gue, Ris." Hanya kalimat singkat itu yang Wira keluarkan petama kali saat Aris datang menghampirinya dengan wajah ditekuk masam. Alih-alih menghujat, Wira tetap menampilkan wajah kalemnya yang tak merasa berdosa sama sekali. "Lo diskors?" tanya Aris kemudian saat sudah duduk di depan Wira yang menampilkan wajah datar tak terbaca. Dan pria yang ditanyai hanya membalas dengan mengangkat bahunya tak acuh. "Lo ngerasa aneh sama diri lo sendiri nggak sih, Wir?" Wira memusatkan penuh perhatiannya pada Aris yang Nampak serius sekali. "Lo emang ngelakuin itu, man. Gue lihat pake mata kepala gue sendiri kalau lo—" "Tapi nggak ada bukti yang bisa dikasih ke gue!" Wira sengaja memotong perkataan Aris sebelum pria itu berkata lebih jauh. "Dan gue tadi diem di ruangan ini, lagi ngecek project yang sama lo. Gimana ceritanya tiba-tiba gue dipanggil direktur dan gue dituduh yang enggak-enggak! Kalau gue salah, gue nggak takut minta maaf. Tapi gue emang nggak ngelakuin itu, Ris." Aris membasahi bibirnya yang kering. Kalau sudah membahas yang begini susah. Wira akan tetap kerasa kepala sebelum diberikan bukti yang konkrit. Ayolah, Wira adalah orang ter-rasional yang pernah Aris kenal. Jadi, tidak kaget sama sekali saat Wira terus saja tidak terima saat orang-orang mengatakan yang tidak-tidak di depan wajahnya sendiri. Mana tadi ada Sabrina yang diam saja seperti orang linglung, wajahnya pucat pasi seperti yang terakhir Wira lihat di rumah sakit. Entah sebenarnya kenapa perempuan itu. Lama terdiam, akhirnya Wira kembali menatap Aris yang juga diam saja. "Sabrina sakit apa? Wajahnya pucet banget tadi, kayak orang mau pingsan?" Dari keterdiaman yang Aris tunjukkan, Wira seolah bisa menebak apa yang terjadi. Dia memang orang yang hamper tidak pernah menonton sinetron. Tapi tiba-tiba, sesuatu terlintas kembali di benaknya. Dita takut kalau Sabrina pergi karena memang sedang sakit dan tidak ingin merepotkannya. Dulu, sepertinya Wira ingat pernah menemani Sabrina menonton film romance sekali dan ceritanya juga seperti itu. Jadi, tidak salah, kan, kalau Wira berpikir seperti itu? Dia hanya takut kalau semua itu terjadi, dia telat mengetahuinya. Dia tidak ingin kalau Sabrina sampai kenapa-napa. Padahal, tanpa ada Wira ataupun tidak, jika Sabirna memang ditakdirkan kenapa-napa, Sabrina akan tetap kenapa-napa. "Ris, gue tanya sama lo." Wira menggunakan nada agak menuntut, tapi Aris sendiri tak merasa terintimidasi sama sekali. "Ya gue harus jawab gimana?" Aris malah balik bertanya, terlihat frustasi sendiri. "Dia tuh sakit gara-gara lo, Nyet!" Kening Wira langsung berkerut dalam, dia diam dan berpikir keras saat itu juga. Padahal, dia tidak pernah mengapa-ngapakan Sabrina, bagaimana perempuan itu bisa sakit karenanya? Wira tentu semakin tidak paham. "Lhah, emang gue ngapain dia sampai sakit? Gue--" Wira mengangkat wajahnya, menatap Aris yang juga tengah menatapnya dalam diam. Otaknya seketika memproses peristiwa di rumah sakit beberapa saat lalu. Bukankah dirinya melihat Aris bersama Sabrina pergi ke dokter kandungan? Kenapa dia yang disalahkan? Dirinya tidak mungkin melanggar batasannya sendiri, kan? "Ris, jawab jujur!" Wira menatap Aris tak main-main, "gue lihat lo sama Sabrina pergi ke dokter kandungan. Jangan bilang kalau--" Pria ini tak mampu melanjutkan perkataannya lagi saat Aris hanya diam dengan tatapan sulit di artikan. Dan entah bagaimana, Wira malah mengangkat tangannya dan menunjuk pintu dengan raut dingin. "Keluar dari ruangan saya!" Namun, Aris sedang tidak ingin beranjak. Dia terus saja duduk di depan Wira meski sadar kalau Wira terlihat bernapsu sekali ingin menghajarnya. "Terus ingat Wir, kalau nggak ada Sabrina, nggak akan ada Wira yang sekarang. Perempuan-perempuan itu yang dukung lo selama ini." Aris terdiam sejenak, seolah menguatkan dirinya sendiri akan kenyataan pahit. "Kalo lo mikirnya kayak gitu, itu pilihan lo. Gue pamit." Wira tetap diam, bahkan tak berniat menahan Aris meski pria itu beranjak menjauh pergi dan benar-benar hilang dari balik pintu kaca. Meski apapun yang Aris katakan barusan, Wira tetap merasa benar dengan tidak percaya begitu saja dengan mereka lagi. Jelas-jelas dia yang dikhianati di sini. Wira tidak perlu terus-terusan meratapi kepergian Sabrina lagi. Bukan dia yang tidak pantas, tapi memang Sabrina yang tidak layak untuknya. Ya, setidaknya itu yang dapat Wira simpulkan sendiri. Sabrina dan Aris, dua orang terdekatnya itu bermain api di belakangnya selama ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD