4. Main Belakang?

2579 Words
Wira pernah mendengar seseorang mengatakan, jika mencintai, seharusnya tidak masalah untuk berkorban. Maksudnya, tidak akan merasa berat saat melakukan sesuatu untuk orang yang dicintainya. Kan, katanya cinta? Jadi, bukan masalah besar kalau berkorban. Masak bilangnya cinta tapi berkorban sedikit saja sudah mengeluh. Sebentar, itu cinta atau obsesi? Nah itu, harus diluruskan dulu. Wira tentu sama seperti pria-pria lainnya. Dia sudah matang, tabungannya juga lebih dari cukup untuk menghidupi anak orang beberapa tahun ke depan. Hanya saja, dia lebih suka menahan diri. Dia ingin menjaga, bukan merusak apalagi sampai menyakiti wanita yang dicintainya. Memang benar tidak ada istilah pacaran yang sehat. Semua pacaran itu toxic. Mau minta buktinya? Sederhana saja. Saat tidak diberi kabar, langsung over thinking. Mendahulukan membalas pesan pacar daripada mengerjakan tugas sekolah. Mendadak jadi sedikit kehilangan akal saat dimakan cemburu. Dalam kasus Wira dan Sabrina, mereka tidak pernah sampai yang jauh-jauh. Mentok-mentok pelukan. Cium bibir saja belum pernah. Makanya itu, terbukti jelas bagaimana Wira ingin menjaga Sabrina. Mungkin, karena itu juga Sabrina pernah terjatuh pada pria seperti Wira. Jangan lupakan kalau yang naksir Sabrina juga banyak. Ada yang lebih tampan dan lebih ganteng pula dari Wira. Tapi kenyataannya, Sabrina tidak mencari yang sempurna. Dia hanya mencari yang menurutnya bisa membuatnya nyaman. Dan itu semua ada pada diri Wira. Pria ini akhirnya menghela napas sekali lagi. Patah hati memang tidak pernah enak. Kalau enak, sudah pasti orang-orang antre untuk merasakan patah hati. Tidak akan ada istilah galau berkepanjangan. Tidak akan ada lagu dengan lirik-lirik mellow diciptakan. Baru saja ingin bangkit dari meja nomor 29, Wira kaget bukan main melihat Sabrina berjalan santai dengan wajah yang berseri, menuju lift untuk naik ke ruangannya. Sebagai orang dengan ingatan yang tajam, tentu Wira langsung berjalan cepat menghampiri Sabrina, menghadang langkah kaki perempuan itu agar tidak masuk ke dalam lift lebih jauh. "Sab, udah sembuh? Kok udah masuk kerja? Kamu semalem pucet banget lho, itu?” Wira menatap Sabrina khawatir iya, bingung juga iya. Dia tidak mengerti dengan yang tampak di depan matanya sekarang. Sabrina tidak usah ditanya. Dia tentu sama terkejutnya dengan Wira tapi dengan sebab yang berbeda. Untung tidak sampai jatuh karena kedatangan Wira yang terlalu tiba-tiba di depan wajahnya. “Hai, habis sarapan?” Sabrina malah balik bertanya, melirik ke arah meja yang ditempati Wira tadi, sambil  sedikit menepi dari depan lift saat ada orang lain yang hendak menggunakannya. Dan Wira pun melakukan hal yang sama. “Beneran udah sembuh?” Wira mencoba memastikan sekali lagi saat Sabrina terlihat sangat jelas menghindarinya. Daripada tidak tenang sendiri, lebih baik Wira dikenal sok ikut campur urusan orang lain. Sedangkan Sabrina yang ditanyai sendiri hanya tersenyum tipis, “cuma kecapaian aja kemarin, Mas." katanya lemah lembut seperti biasa. “Kecapaian gimana, sampai dikasih selang oksigen gitu?!” Sadar karena baru saja menggunakan nada tinggi, Wira berdeham. Jelas sekali kalau dia khawatir. Dan tanpa dikatakan pun, Sabrina tentu bisa melihatnya. "Sorry, I won’t offend you.” “It’s okay, Mas. Aku ke atas dulu, ya.” “Bareng?” tanya Wira ambigu, tak paham dengan omongannya sendiri. Sabrina langsung menggeleng tegas saat itu juga. Dan benar saja, Wira mundur teratur, membiarkan Sabrina naik lift seorang diri. Dan, sampai sekarang pun, Wira tidak paham dan semakin tidak paham dengan apa yang terjadi. Entah dia yang berbuat kesalahan tapi tidak sadar, atau Sabrina yang memang bersalah dan karena merasa bersalah, jadi menghindar dengan sendirinya. Dia pergi karena ingin menutupi kesalahannya pada Wira. Sungguh, ini masih pagi. Harusnya isi kepala Wira disibukkan dengan desain-desain terbaru rancangannya, bukan malah meratapi setiap harinya yang patah hati seperti ini. Ayolah, dia bukan anak muda lagi. Umurnya saja sudah kepala tiga. Mau ditaruh mana mukanya, umur segitu masih galau memikirkan perempuan yang memilih meninggalkannya? Memang benar, kalau menikah itu bukan sebatas cukup umur saja. Butuh kesiapan dan kedewasaan, apalagi sebagai pria, tentu Wira yang akan menjadi pemimpin dalam keluarganya. Kalau ditanya ingin menikah, tentu dia sangat ingin menikah, dengan Sabrina yang pastinya. Tapi masalahnya kan, hubungan mereka kandas di tengah jalan seperti ini. Terkadang, Wira bertanya-tanya, kalau dulu, sebelum kecelakaan dia sudah berani menemui orang tua Sabrina dan meminta perempuan itu untuk menjadi istrinya, apakah setelah pernikahan Sabrina akan minta berpisah juga dengan alasan yang tidak jelas sama sekali? Kan, masih pagi, pikiran Wira jadi melantur kemana-mana lagi. Pria itu pikir, hanya anak remaja aka abg abg labil yang biasanya galau akan cinta. Namun sekarang, mengaca dirinya sendiri, Wira malah prihatin. Kalau saja dia memiliki keberanian lebih besar, mungkin sudah halah Sabrina baginya. Dia bisa melakukan apapun pada perempuan itu, termasuk bersumpah untuk hidup semati bersamanya, hanya bersamanya. *** Sehubungan dengan status hidupnya yang sekarang--alias jomlo fisabilillah--Aris yang mengatakan--Wira tak mau ambil pusing. Semasa masih dengan Sabrina, Aris adalah makhluk yang anti dekat-dekat karena tentu saja tidak mau dijadikan obat nyamuk. Padahal, kalau Wira dan Sabrina duduk berdampingan, mereka hanya berbicara seperlunya saja, tidak bergombal-gombal layaknya orang baru mengenal cinta seperti anak alay. Lagi pula, kalau ditelusuri lebih lanjut, sebenarnya Aris juga sudah punya kekasih, tapi memang sengaja tidak mau memberi tahu karena baru saja menjalin hubungan. Takutnya sudah terlanjur bilang, tapi putus di tengah jalan, kan tidak enak. Ya memangnya apa harus teriak-teriak kalau jatuh cinta? Tidak, kan? Punya pacar juga tidak perlu diumbar-umbar. Untung kalau memang sudah jodoh, lah kalau jagain jodoh orang? Itu yang sekiranya Wira dan Sabrina pikirkan dulu. Makanya perjalanan kisah mereka mengalir begitu saja. Tanpa peduli omongan orang, toh mereka yang menjalani, mereka juga paham akan batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar. Kalau Wira tidak tahan, sudah pasti dia mengapa-ngapakan Sabrina. Karena itu, pacaran adalah modal utama menuju gerbang neraka. Meski diluar bilang pacaran sehat, pacaran untuk saling memberi support, mana tau pas hanya berdua, apalagi kalau orang ketiganya setan? Sudah pasti! Setan yang menang! Setan kan hobi menggoda dan manusia hobi digoda dan akhirnya terjerumus. Sama halnya saat ini. Saat Wira tengah fokus menatap project yang dia selesaikan semalam, dengan tidak tahu dirinya, Aris tiba-tiba datang sambil mengagetkan di jam-jam siang seperti ini. Kalau tidak sabar, mungkin mouse yang Wira genggam langsung ia lempar ke kening Aris saking kesalnya. Dikira tidak kaget, apa? “Besok gitu lagi gue guyur air lama-lama!” Aris malah cengengesan dipelototi Wira. Pria itu menarik kursi, kemudian duduk dan masih tidak tahu diri segala macam memutar arah hadap iMac milik Wira, ikut menilai apa yang sahabatnya ini kerjakan. "Bagus,” puji Aris, kemudian mengarahkan iMac itu ke tempat semula. “Kali ini terinspirasi dari mana lagi? Nggak mungkin karena terinspirasi dari patah hati terus rancangan lo lebih bagus dari biasanya, kan?” Aris tergelak dengan pertanyaannya sendiri. Asyik juga menistai Wira yang putus cinta. Nasib...nasib. “Ya digali!” balas Wira nyolot. Dia malah sibuk mengamati sketsanya, mengabaikan Aris yang tidak ada gunanya juga menghampirinya sekarang. Lebih baik tidak usah muncul di depan matanya sekalian. Hanya meruntuhkan suasana hati saja. “Udah jam makan siang, lunch, yuk. Gue traktir deh si Ocean. Lo mah kere banget sampai nggak kuat beli nasi kotak buat makan siang.” Wira tak perlu ditanya, dia tak minat sama sekali untuk menyauti perkataan Aris yang melebihi omong kosong. Sebenarnya Wira tahu kalau Aris berniat menghiburnya, tapi cara yang digunakan Aris adalah cara yang Wira benci. Karena jengah diabaikan, Aris jadi kesal sendiri juga. Padahal niatnya baik, mengajak makan siang, ingin mentraktir pula. "Gue tuh ke sini mau ngajakin lo makan siang, Bambang! Biar nggak kebanyakan ngelamun terus dirasukin hantu. Eh....malah gue didiemin. Lo kira patung?!” keluhnya. Wira mengembuskan napas pelan. Omong-omong, dia tidak akan mati kalau tidak makan seharian sekalipun. Memang dasarnya saja dia yang malas gerak. Macam mana kalau dia bertemu dengan Sabrina lagi nanti? Sudahlah, Wira tidak akan bisa berpikir jernih jika terus memikirkan Sabrina dalam melakukan pekerjaannya. Yang ada, menggambarkan pensil di sketsa, yang dia lukis malah wajah Sabrina bukan desain tata ruangan. Masih untung kalau yang lihat sahabat sendiri macam Aris. Bagaimana kalau karyawan lain? Mau ditaruh mana wajahnya yang kusut ini? Bisa-bisa, gelarnya ganti judul. A hot guy jadi sad boy. “Kan ngalamun lagi, sih?! Aris sampai tak habis pikir, aslinya tak nyaman juga saat Wira yang diajak berdua di ruangan tertutup seperti ini diam saja. Aris sampai kembali menggebrak meja saking kesalnya. “Lo yang lama-lama gue ru—Allahuakbar.” Detik berikutnya, Aris tidak bisa mengatakan apa-apa. Hanya saja, matanya terus terbuka menatap penampakan yang begitu mengerikan di depan sana. Dia tidak lagi melihat ruangan Wira yang bersih dan wangi. Dia justru seperti berada di tengah hutan belantara, sendirian, tanpa perlindungan. Beruntung, satu tepukan kasar di bahunya, berhasil menyadarkan Aris akan dunia nyata. “Ris, lo ngapain sih melotot gitu? Nggak usah sok kesurupan, muka lo udah nyeremin.” Pria yang ditegur ini masih tidak bisa berbicara apa-apa. Dia masih duduk manis dengan pikiran kosong. Itu tadi, yang baru dilihatnya, penampakan, kah? Untung saja dia tidak melihat wajahnya. Kalau iya, mungkin Aris sudah jatuh tak sadarkan diri. Alih-alih mengerti, Wira malah balik mencibir lagi. Dia berdekap d**a, menatap Aris remeh, “kenapa lo? Habis ngeliat setan?” tanyanya lagi. Aris tetap diam dengan pelipis yang dipenuhi keringat dingin. Wira yang merasa tebakannya benar tentu lebih tidak percaya lagi. “Ris? Aris?!” serunya setengah berteriak. Detik setelahnya, masih tanpa jawaban yang diinginkan Wira, Aris langsung pergi dengan langkah tertatih, seolah ada beban yang memberatkan langkah kakinya. Wira yang ditinggalkan hanya menatap kepergian Aris dengan kening berkerut dalam. Kemudian dia memijat pangkal hidungnya sendiri yang tiba-tiba berdenyut nyeri. Aneh, batinnya. *** Sore ini, Wira mengadakan janji temu dengan Dokter Jonson. Makanya sehabis pulang kantor jam lima tadi, dia langsung tancap gas ke rumah sakit untuk menemui psikiater nya sejak tiga tahun terakhir ini. Baru saja melewati poli kandungan, Wira terdiam di ujung lorong saat melihat Sabrina kembali di sana, ditemani Aris pula. Hal-hal negatif langsung memenuhi pikiran Wira. Dia bahkan mencoba mengikuti saat mereka berjalan beriringan dengan seorang dokter perempuan untuk masuk ke dalam ruangan tersebut. Alih-alih melarikan diri, Wira malah ganti haluan mengikuti mereka. Dia terdiam di depan ruangan itu dengan pikiran semakin berkecamuk? Dia tidak mungkin dikhianati, kan? Sabrina tidak mungkin main belakang selama menjalin hubungan dengannya, kan? Wira menggeleng hebat, dia tepis semua hal yang buruk itu. Dia percaya penuh kalau Sabrina tidak mungkin seperti itu. Mereka saling menyayangi. Hampir lima menit Wira terdiam bak patung pajangan, sampai akhirnya dia memberanikan diri untuk mengintip apa yang terjadi di dalam sana. Tangannya terkulai lemah ketika mendapati dokter perempuan tadi sedang melakukan USG pada Sabrina dan Aris dengan setia menunggui. Dan tunggu, Wira mendengar suara berdegup seperti detak jantung. Dan di sana, dia juga melihat perut Sabrina yang agak buncit. Astaga, apa lagi ini?  Sabrina tidak hamil, kan? Tapi kalau iya, anak siapa? Wira tidak pernah menyentuhnya, mencium bibirnya saja tidak pernah. For God's sake... Wira mundur, dia tak sanggup melihat lebih lama di saat telinganya mendengar bisikan kesakitan yang selalu menyelimuti tubuhnya selama ini. Dia mengkhianatimu, Mas. Dia bermain api di belakangmu selama ini. Wira menggeleng, dia menampar pipinya sendiri dan merakan sakit meski sesak di dadanya lebih mendominasi, menandakan bahwa kalau dia sedang tidak bermimpi saat ini. Yang baru saja disaksikan kali ini adalah kenyataan, bukan ilusi apalagi fatamorgana. Sabrina mungkin saja mengkhianatinya. Tapi... tapi apa motifnya melakukan semua itu? Demi Tuhan Wira bahkan tidak menemukan alasan sama sekali untuk menuduh Sabrina bermain belakang selama ini. Entah harus bersyukur atau bagaimana, Wira malah ditegur Dokter Jonson yang kebetulan berada di sekitar sana. Beliau sampai menghampiri Wira, menepuk pundak pria itu untuk menyadarkannya dari lamunan yang terasa begitu menyiksa. "Wir, kita janjian lhoh. Malah saya kamu selingkuhi ke sini.” Demi apa, Dokter Jonson tidak berniat apa-apa. Dia hanya bercanda. Mana tahu kalau perkataannya seolah menyedir sesuatu yang menyakitkan. Wira meringis tidak enak, "maaf, Dok. Tadi saya seperti melihat teman saya berada di sini.” “Saya hanya bercanda. Mari ke ruangan saya.” Dengan langkah terpaksa, Wira berjalan beringin dengan Dokter Jonson dan masuk ke dalam ruang kerja dokter paruh baya tersebut. Di dalam sana, mereka hanya duduk berhadapan. Di saat Dokter Jonson mengamatinya, Wira hanya bisa mendesah lelah. Bukan hal baru kalau dirinya mengeluh atau lebih tepatnya bercerita tentang lelahnya hari ini pada Dokter Jonson. Wira yang tidak tahu rasanya memiliki orang tua, jadi bisa merasakan hangatnya nasihat seorang ayah kepada anak laki-lakinya jika bersama Dokter Jonson. “Jadi, hari ini kamu melakukan apa saja?” tanya Dokter Jonson santai. Bukannya segera menjawab, Wira malah mengusap wajahnya gusar sambil mendesah frustasi. "Bisikan itu semakin mengganggu saya, Dok. Eksistensinya tidak pada malam hari saja, tapi sekarang sering muncul tiba-tiba. Siang, malam, kepala saya rasanya ingin pecah." Dokter Johnson tetap duduk manis, mendengarkan keluhan Wira dengan seksama. “Apa ada obat untuk menghentikan bisikan itu?” kata Wira kemudian. “Ada.” Jawab Dokter Jonson tenang. “Apa, Dok?” “Racun.” Mendengar jawaban mainstream dari Dokter Jonson, Wira menenggak salivanya kesusahan. Masak iya dia mau mati muda, di saat belum menikah juga. Menyedihkan sekali kalau sampai betulan terjadi. “Dok, tolong serius.” Kata Wira agak memelas. Dia terlihat menyedihkan sekali sekarang. “Saya ini bicara serius,” balas Dokter Jonson dengan tatapan tak main-main. “Karena suara itu tidak akan hilang selama kamu hidup. Kalau kamu ingin membuang jauh-jauh suara itu, salah satunya, ya dengan minum racun dan memastikan tidak pernah terbangun kembali.” Wira mencoba mencari kebohongan di mata Dokter Jonson, tapi dia tak mendapati apa-apa. Yang ada, dia malah menemukan keseriusan dari tatapan dan nada bicaranya. “Jadi saya harus mati beneran, Dok?” Dokter Jonson tertawa melihat wajah hopeless milik Wira. Baiklah, dia akan lebih serius untuk pembicaraan kali ini. “Sekarang saya tanya, apa yang kamu rasakan?” Mulanya, Wira seolah berpikir keras. Tapi ujung-ujungnya, dia mendesah lelah lagi. “Tidak berguna, Dok.” “Why?” Bukannya menjawab, Wira malah kembali bercerita. “Saya lupa bilang, hubungan saya dengan Sabrina berakhir, Dok. Dan itu semua gara-gara saya.” “Kenapa kamu bisa menyimpulkan hal seperti itu?” Wira tidak menjawab. “Wira dengar, menanggung kesalahan yang tidak kita perbuat itu akan menyakiti diri sendiri. Kamu tidak bersalah saja sudah sakit. Bagaimana kalau ditambah dengan perasaan bersalah? Sakitmu akan berlipat ganda.” “Tapi saya tidak berkepribadian ganda seperti yang orang-orang tuduhkan, Dok. Saya baik-baik saja. Saya sudah mencari tahu tentang kepribadian ganda, dan saya merasa saya tidak menderita penyakit itu. Saya normal. Kalaupun terkadang saya sering lupa dengan semua yang terjadi, mungkin ada yang salah dengan kepala saya. Dokter ingat saya pernah kecelakaan tiga tahun yang lalu, kan?” Sebagai Dokter yang baik dan pengertian, Dokter Johnson mengangguk mengiyakan. “Saya tidak ingat kapan tempatnya, Dok. Tapi yang saya tahu, semuanya mulai berubah saat saya membuka mata setelah koma. Sabrina yang biasanya ceria mendadak muram. Teman-teman yang biasanya ramah malah suka menunduh yang tidak-tidak. Saya sudah minta maaf untuk kesalahan yang saya sendiri tidak tahu kesalahan saya di mana.” Selama tiga tahun terakhir ini, baru sekarang Wira berbicara panjang lebar. Biasanya, Wira hanya cerita singkat. Tapi sekarang, saat Sabrina pergi dan melihat sesuatu yang ia ingkari, Wira sepertinya sudah sangat lelah. Karena itu dia menceritakan semua yang dia rasakan. Dasarnya, memang harus sedari dulu dia mengatakan semua keluh kesahnya. “Saya tidak akan memberimu obat apapun karena sakitmu tidak bisa disembuhkan dengan obat-obatan, Wira. Coba renungkan kejadian tiga tahun terakhir ini dengan semua perubahan itu. Saya minta renungkan, bukan untuk menyalahkan diri sendiri. Mungkin, ada yang kamu lewatkan.” Wira mengembuskan napas pelan, dia mengangguk lemah dan mengucapkan terima kasih kepada Dokter Jonson atas bantuannya selama ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD