"If you reveal your secret to the wind, you should not to blame to the wind for revealing them to the trees." Kahlil Gibran
(Jika anda mengungkapkan rahasia kepada angin, maka anda seharusnya tidak menyalahkan angin karena telah mengungkapkannya kepada pohon.)
•••••
Diana Soerjodiningrat pov
Butuh waktu sekitar tiga jam untukku sampai di kota Bandung. Jalanan macet sekali, maklumlah ini weekend, waktunya orang orang libur. Biasanya warga jakarta akan menghabiskan weekend di Bandung atau puncak bogor.
Aku berjalan keluar dari area terminal. Bukan rahasia lagi bila harga taxi di dalam terminal akan lebih mahal, makanya aku harus berjalan agak menjauh dari terminal. Uang yang diberikan bibi tidak banyak, jadi aku harus berhemat.
"Aduh hujan," gerutuku. Hujan tiba tiba mengguyur kota, sedangkan aku tidak membawa payung. Aku mempercepat langkahku menuju halte untuk berteduh.
"Permisi pak, numpang tanya, bapak tau alamat ini?" tanyaku sopan pada bapak yang duduk di sebelahku. Aku memberikan kartu nama yang di dalamnya berisi alamat pada bapak itu.
"Tau neng, kalau dari sini agak lumayan, bisa setengah jam an naik taksi kalau nggak macet."
Aduh, padahal rencananya aku ingin jalan kaki saja. Tapi tidak mungkin kalau jaraknya jauh begitu.
"Apakah ada angkot untuk sampai ke sana pak?"
"Nggak ada neng, angkot cuma sampe dago aja, selebihnya nggak ada angkot."
"Kalau dari Dago sampai di alamat ini masih jauh pak?"
"Kalau naik motor sih lima menit sampe neng."
Syukurlah, tidak terlalu jauh. Aku bisa berhemat jika begini. Aku pun berpamitan pada bapak itu setelah melihat ada angkot lewat.
"Tujuan mana neng?" tanya tukang angkot.
"Ke alamat ini pak," kataku sambil memperlihatkan kartu nama pada tukang angkot.
"Wah, kita nggak lewat situ neng, kita cuma sampai Dago aja."
"Sampai Dago saja pak saya."
Jalan Bandung nampak padat merayap. Tapi untunglang si bapak tukang angkot ini gesit memilih jalan. Yang kutakutkan adalah kalau aku sampai di dago terlalu malam. Takut juga kalau malam malam jalan sendirian. Ini Bandung, bukan Jakarta, bagaimanapun aku asing di sini.
Berjalan malam ditengah rintik hujan ternyata cukup menguras tenaga. Setelah bertanya pada tiga orang akhirnya aku sampai di depan tulisan kompleks seperti yang tertulis di kartu nama. Langkah terakhir, tanya pada satpam kompleks dan aku akan sampai pada alamat ini. Yey, hatiku bersorak gembira.
"Permisi," ucapku. Bapak satpam yang asik menonton bola itu menoleh ke arahku.
"Selamat malam pak, saya ingin bertanya, blok B Nomor 13 itu di sebelah mana?" tanyaku. Mata satpam itu mengedar, meneliti penampilanku dari atas sampai bawah.
"Eneng mau cari siapa?" tanya pak satpam.
"Saya mau cari Darren."
"Eneng siapanya?"
"Saya____ saya istrinya," bohongku.
"Bohong, setau saya pak Darren belum nikah."
"Sumpah saya istrinya." Oh god, maafkan hambamu ini.
"Kalau istrinya, kenapa alamatnya tidak tau?" Pak satpam menatapku dengan penuh kecurigaan.
"Karena saya belum pernah datang ke sini. Saya mau kasih surprise buat suami saya."
"Kalau bapak tidak mengizinkan masuk, saya akan bilang ke Darren supaya dia lapor ke atasan bapak, biar bapak dipecat karena sudah kurang ajar sama penghuni kompleks." lanjutku mengeluarkan jurus intimidasi lawan.
Di kompleks ini memakai one gate system. Seluruh aktivitas melewati satu pintu dan bila ada orang asing wajib lapor. Bagus sih, biar tidak ada maling masuk maksudnya, tapi kan aku jadi ribet mau cari Darren.
"Iya iya neng, saya percaya. Neng lurus aja, nanti ada perempatan belok ke kanan, di situ blok B. Neng tinggal cari nomor rumahnya. Rumah pak Darren yang warnanya tosca, bangunan paling unik diantara yang lain," jelas pak satpam.
Begitu dong dari tadi. Hmm, aku berterimakasih padanya dan langsung berjalan menyusuri jalan yang tadi sudah dijelaskan.
Tok tok tok
Berkali kali aku mengetuk pintu namun tidak ada sahutan. Apakah dia tidak ada di rumah? Tapi mobilnya ada, terparkir rapi di depan rumah.
"Permisi," teriakku.
Tak lama pintu rumah pun terbuka. Menampilkan sosok lelaki dengan kaos oblong abu abu dan celana bahan hitam setinggi lutut. Di sini cahaya minim sekali, tapi aku bisa melihat kalau dia lelaki sama dengan yang di diskotik waktu itu.
"Cari siapa ya?" tanya Darren.
***
Darren Morrano Smith Pov
Aku baru saja tiba di rumah. Huh, pekerjaan hari ini cukup melelahkan. Ada beberapa jaringan yang eror di waktu mau pulang kantor. Alhasil, jadilah aku lembur untuk memperbaiki jaringan tersebut. Sampai di rumah aku langsung mandi air hangat. Bandung dingin gaes, ditambah hari ini hujan mengguyur, jadilah rasa dinginnya bertambah. Aku tinggal di Bandung sudah lima tahun lebih tapi belum juga bisa menyesuaikan saat cuaca sedang seperti ini. Selalu mandi air hangat menjadi pelarianku.
Saat sedang asik asiknya mandi, aku mendengar suara ketukan pintu. Siapa malam malam begini bertamu? Biarin ajalah, kalau penting pasti mau nunggu.
Ritual mandiku selesai. Ketukan yang tadi ku dengar saat mandi, kini kembali ku dengar. Ku sisir rambutku dan bergegas membukakan pintu rumah.
Dia ternyata seorang wanita. Penampilannya jauh dari kesan rapi. Baju kaos putih dengan jaket abu abu dan celana hitam panjang, bajunya basah. Dia juga membawa koper.
"Cari siapa ya," tanyaku padanya.
"Saya mencari Darren," katanya.
"Iya saya, ada apa ?"
"Saya mau masuk."
"Oh, iya silahkan masuk." Aku mempersilahkannya masuk. Dia menyeret kopernya masuk dan duduk di sofa ruang keluargaku.
"Anda siapa? dan ada perlu apa mencari saya?" tanyaku berusaha sopan kepada tamu.
"Saya mau anda tanggungjawab, saya hamil."
Deg
Apa maksudnya? Apakah dia sedang bergurau? Tiba-tiba datang ke rumah orang bilang hamil lagi. Saya bukan lelaki yang suka sembarangan buang benih ke wanita.
"Maksudnya bagaimana?"
"Anda tidak perlu menikahi saya. Saya hanya butuh anda mengakui anak yang saya kandung."
"Di mana kamar? Saya ingin istirahat," lanjutnya.
"Cukup sandiwaranya, kamu pulang. Ini bukan penampungan gembel," kataku membentaknya.
"Sebelum anak ini lahir, saya tidak akan meninggalkan rumah ini."
•••••
Sorry Typo ?
WARNING !!!
Jangan lupa tekan ?
True Love
©2020 laelanhyt
All rights reserved