Chapter 14 - IMPIAN

1129 Words
"Don't waste your time with explanation, people only hear what they want to hear." Paulo Coelho (Jangan buang waktumu dengan penjelasan, orang hanya mendengar apa yang ingin mereka dengar.) ••••• Dengan tubuh yang pegal Darren melangkahkan kakinya memasuki rumah. Ini sudah lebih dari pukul delapan malam. Tadi banyak keluhan dari karyawan tentang sistem informasi di kantor yang mendadak lemot, jadi dia tidak bisa pulang sebelum menyelesaikan masalah itu. Diketuknya beberapa kali pintu rumah, namun sang penghuni tidak juga membukakan pintunya. Alhasil dia membuka pintu dengan kunci cadangan yang selalu dia bawa. Dia duduk di sova, merenggangkan otot-otot tubuhnya yang kaku. "Diana?" panggilnya. Namun tidak ada sahutan dari orang yang dipanggil. Tidak biasanya Diana tidak ada di rumah. Dia lantas berdiri menengok kamar dan kamar mandi, Diana tidak ada di dua tempat itu. Dihalaman belakang juga tidak ada tanda tanda keberadaannya. Dimana diana? - batin Darren Bugh.....bugh..... awas kamu ya, jangan pernah dateng ke sini lagi!!! Bugh....bugh.... Sebuah suara orang disertai pukulan mengagetkan Darren. Dia khawatir dengan keadaan Diana. Pikirannya nyalang, dia berharap itu bukanlah maling. Darren menaiki tangga kecil yang menghantarkannya ke balkon rumah. Rumah kecil ini memiliki lantai mezzanine. Rumah berlantai dua yang tidak bisa juga dikatakan rumah berlantai dua, karena lantai duanya tersembunyi. Tampilan luar rumah memang satu lantai, tapi ketika memasuki akan terlihat tangga untuk bisa sampai ke lantai dua. Sebuah rumah yang didesign oleh Darren dengan uniknya di atas lahan yang terbatas. "Malingnya di mana di?" tanya Darren panik. Diana yang mendengar itu hanya melongo, tidak paham yang dimaksudkan Darren. "Pasti malingnya udah kabur ya? Kamu pukul pake ini?" lanjut Darren sembari memegang sapu yang dipegang oleh Diana. "emang malingnya di mana?" "kok tanya aku, kamu kan ngusir malingnya." "Aku nggak ngusir maling," jawab Diana sambil menggaruk kepalanya. "Terus kamu teriak teriak ngusir siapa?" "Oh itu, Kecoa. Lihat, udah mati aku pukul pake sapu. Hebatkan aku," ujar Diana membanggakan diri. Dia menunjuk kecoa yang tergeletak di ujung balkon. "Kamu bikin orang khawatir aja, aku pikir maling." Ucap Darren frustasi, dia mengusap wajahnya dengan dengan kedua tangannya. Diana memang selalu berhasil membuatnya ketakutan. "Kamu aja yang berlebihan." "Turun! udara malam nggak bagus," ajak Darren dengan menarik tangan kiri Diana. "Ini." Darren memberikan bungkusan kepada Diana begitu mereka sampai di lantai bawah. "Apa?" "Kebiasaan, dibuka dulu baru tanya," cibir Darren. "Smartphone, buat aku?" "Kalau aku kasih itu barang ke kamu, itu artinya?" "Buat aku____ makasih Darren." Diana memeluk Darren saking bahagianya. Sudah beberapa bulan dia puasa sosial media. Akhirnya kini dia bisa update status lagi. "Digunakan untuk hal yang bermanfaat. Itu udah ada nomorku, kalau mau pergi-pergi kemanapun wajib izin dulu," putus Darren yang dijawab anggukan dari Diana. "Udah aku mau mandi," ujar Darren. *** Ilustrasi rumah Darren, tapi ada beberapa bagian yang sedikit berbeda. *** "Diana kamu pengen nggak lanjutin kuliah lagi?" tanya Darren. Selepas belanja kebutuhan rumah mereka melewati universitas padjajaran Bandung. Tiba-tiba Darren memikirkan pendidikan Diana. Seharusnya, kalau saja kejadian waktu itu tidak terjadi, Diana saat ini pasti sedang giat melanjutkan pendidikannya. "Biasa aja," jawab Diana ketus. "Dimana-mana orang itu pengen lanjutin kuliah di." "Itu kalau mereka bisa melanjutkan sesuai yang mereka inginkan." "Emangnya kamu enggak?" tanya Darren. Diana hanya mengedikkan bahunya. "Kamu dulu sempet ambil manajemen kan? Nggak mau lanjutin lagi? Aku bisa daftarin kamu kuliah lagi kalau kamu ingin. Ya anggep aja sebagai rasa bersalah aku karena aku kamu jadi putus sekolah." "Dulu aku ambil manajemen supaya papa dan mama bangga sama aku. Selama ini mereka selalu mendoktrin kakak ben dan kakak diandra untuk melanjutkan bisnisnya. Aku pikir kalau aku bisa melanjutkan sekolah bisnis dan berhasil jadi yang terbaik, mereka akan bangga dan bisa memberikan kasih sayangnya kepadaku." "Apa cita-cita kamu?" "Entahlah, sewaktu kecil aku suka melukis. Aku sering dapet piala waktu lomba. Tapi ternyata papa nggak suka aku melukis. Melukis itu pekerjaan yang tidak pasti. Tidak bisa menghasilkan uang banyak. Sejak saat itu aku nggak mau jadi pelukis lagi," ucap Diana sendu. "Sejak saat itu sampai sebelum aku diusir cita-citaku adalah mendapat kasih sayang mama papa." "Kita mampir toko buku aja, beli alat lukis yang banyak," putus Darren. "Buat apa? Aku aja udah lupa gimana tekniknya." "Aku suka menggambar tapi aku ambil jurusan IT ." Ucapan Darren membuat Diana mengalihkan fokusnya. Dia menunggu apa yang akan dikatakan Darren. "Aku mengambil IT karena prospek kerjanya bagus. Dijaman yang serba otomatis ini posisi IT cukup diperhitungkan. Tapi selama aku memerdalam IT aku tidak pernah meninggalkan kesukaanku." "Di waktu senggang aku belajar menggunakan berbagai aplikasi gambar. Aku juga coba aplikasi design rumah. Aku coba-coba upload berbagai gambar yang udah aku ubah jadi video ke youtube. Diantara banyak uploadan ku yang paling banyak viewers-nya adalah design rumah." "Suatu hari ada yang DM aku minta dibuatkan design rumah. Aku jadi termotivasi buat belajar lagi. Aku dateng ke seminar seminar design, aku beli buku buku design. Semuanya aku pelajari di luar bangku kuliah. Saat usiaku sekitar tujuh belasan tahun." "Lakukan apa yang kamu suka. Tidak ada kata terlambat untuk memulai sesuatu." "Tapi rasanya tangan aku kaku" tanya Diana. "Kita coba aja dulu." "Kalau perlu, aku sewa tutor lukis untuk nemenin kamu belajar," lanjut Darren. Darren membelokkan mobilnya pada sebuah toko yang menjual alat lukis cukup besar di Bandung. "Beli buku juga?" tanya Diana begitu melihat Darren membawa dua buku tebal. "Selain belajar praktiknya, kamu juga harus paham teorinya." "Tapi aku nggak suka baca," kata Diana. Dia merengut melihat Darren mengambil kelutusan membeli buku sedangkan dia tidak menyukai membaca. "Belajar tentang hal yang kita sukai itu tidak membosankan. Percayalah." *** Berbulan bulan menjalani kehidupan bersama membuat mereka semakin akrab. Bahkan tetangga kompleks Darren banyak yang mengenal Diana. Setiap ada acara, Darren dan Diana selalu mendapatkan undangan. Diana yang masih muda tidak membuatnya kesulitan membaur dengan ibu-ibu yang berusia lebih dari kepala empat. Hari minggu jalan kaki keliling kompleks merupakan agenda wajib pasangan yang menantikan kehadiran buah hati ini. Ini dimaksudkan agar persalinannya nanti lancar. Begitulah saran yang diberikan dokter ketika mereka cek kandungan. "Kalau lihat pasangan muda jalan gini jadi teringat jaman muda dulu ya bu," goda ibu Retno tetangga Kompleks Darren. "Olahraganya yang sering diana, biar nanti proses lahirannya lancar," kata mbak Sekar. Dia ibu yang kelihatan paling muda. Iyalah, anaknya yang paling besar saja masih kelas satu SD. Kompleks tempat Darren ini memang ramai pada minggu pagi. Mereka berbondong-bondong memenuhi taman. Ada yang berolahraga, ada yang nememin anaknya main, juga ada yang bergosip ria. Meskipun rumpik begitu, mereka semua aslinya baik-baik. "Ibu-ibu kami permisi dulu ya, mau melanjutkan jalan santainya," pamit Darren. Baru di tempat ini Diana merasakan bertetangga. Ternyata hidup bertetangga itu enak, ramai saling sapa, saling mendoakan. Harap maklum, selama ini hidupnya hanya berkuat di istana megah milik orangtuanya. ••••• Sorry Typo ? WARNING !!! Jangan lupa tekan ? True Love ©2020 laelanhyt All rights reserved
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD