Dua

2097 Words
#Gigih Mulai Lagi# Gigih begitu antusias. Chiko menatapnya bingung. Dulu dia tidak terlalu bersemangat seperti itu. Apalagi Gigih masih ada di kelas yang agak tinggi sekarang. Bukan berada di kelas pemula karena mama dan papa sudah memberikan pendidikan di rumah untuk Gigih. Chiko mengerjap ketika Gigih memeluknya erat. Gigih juga mengecup kedua pipinya. Chiko geli diperlakukan seperti ini, namun mama pernah bilang kalau Gigih hanya mengungkapkan rasa sayangnya pada Chiko. "Chiko pulang sekolah?" tanyanya. Chiko mengangguk cepat. "Gimana sekolahnya?" Chiko balas bertanya basa-basi. Gigih mengangguk semangat, lalu menarik lengan Chiko. Gigih selalu antusias ketika Chiko bertanya tentang hari-harinya. Chiko telanjur bertanya, jadi dia tidak tahu kalau pada akhirnya Gigih terlalu antusias begini. Gigih sedang menatapnya dengan wajah paling semangat. "Gih teman banyak." Chiko mengangguk. "Gih suka teman." Chiko mengangguk lagi. "Tapi Gih suka Chiko. Teman suka. Tapi Chiko sayang." Chiko mengerti apa maksud Gigih meski tata bahasanya membingungkan. Hanya Chiko di rumah ini yang mengerti maksud Gigih. Terkadang mama dan papa bingung dengan apa yang Gigih ucapkan, namun Chiko bisa mengerti tanpa dijelaskan lagi. "Nanti Mas juga sayang sama mereka kalau udah biasa. Sekarang Mas temenan sama mereka, ya! Baik-baik, jangan nakal!" Chiko berpesan. Gigih mengangguk semangat, lalu mulai menempeli Chiko sekali lagi. Chiko beranjak ke kamarnya untuk ganti baju. Seperti biasa, Gigih mengekori. Terkadang anak itu membantu Chiko membuka kancing bajunya. Ketika Chiko berkata, "Aku bisa buka sendiri, Mas!" namun Gigih menolak. Gigih memaksa untuk membukakan kancing baju Chiko. Ketika Chiko lapor pada mama, mama mengatakan biar saja. Gigih juga harus belajar membuka kancing baju. Chiko meradang. Setahunya tunagrahita ringan itu hanya mengalami masalah dalam mental, pemikiran, dan juga bahasanya saja. Bukan dengan kelakukan seperti ini. Gigih tidak mengalami cacat fisik yang mengharuskannya latihan begitu. Apa, ya namanya? Ah, tunadaksa! Buktinya Gigih bisa makan sendiri. Bisa membersihkan kamar juga. Melipat selimut mereka sesekali. Bahkan ketika ngompol, Gigih juga bisa menjemur kasur ringan mereka ke luar. Meminta bantuan Chiko untuk mengangkat kasur itu. "Mas, aku banyak PR sekarang." Chiko mengeluh. Gigih menatap wajah Chiko. Setiap kali Chiko mengatakan PR, Gigih selalu memasang ekspresi serupa. Gigih tidak suka dengan PR. Gigih benci ketika Chiko punya PR. Karena itu artinya Chiko akan mengabaikannya seharian. "Gih benci Chiko PR!" teriaknya marah. "Chiko harus ngerjain itu, Mas." Chiko mencoba memberi pengertian. Gigih menggeleng kencang, tidak terima. "Gih benci PR!" "Aku harus ngerjain PR, Mas. Kalau aku nggak ngerjain, aku bisa dihukum." "Hukum?" "Iya. Disuruh berdiri panas-panas, lalu pingsan." "Chiko? Sakit?" tanya Gigih polos. Chiko mengangguk. "Makanya, kalau Mas nggak mau Chiko sakit, Mas nggak boleh ganggu Chiko. Chiko mau ngerjain PR." Gigih mengerjap sekali lagi. "Gih nggak suka Chiko sakit. Gih benci Chiko PR! Gih sayang Chiko!" Chiko mengusap wajahnya kasar. Sekarang ini Gigih sedang mengganggu seperti biasa. Chiko sudah terbiasa dengan teriakan Gigih yang protes seperti itu, namun dia tidak bisa melakukan apa pun. Chiko mengambil bukunya, duduk di depan meja belajarnya, lalu mulai mengerjakan PR. Gigih merengut dan duduk di belakang Chiko. Dia diam di sana, menatap Chiko dengan wajah tak rela. "Chiko?" panggilnya pelan. Chiko tidak berniat menoleh dan sibuk mengerjakan tugas. "Hm?" "PR banyak?" "Iya." "Lama?" "Iya, Mas." "Gih PR Chiko benci!" Gigih melompat tak terima. Matanya mengedip marah. Bibirnya mengerucut tak terima. Dalam beberapa detik, Gigih melompat ke punggung Chiko. Chiko hampir terjungkal, namun dia masih bisa bertahan. Hanya saja tugasnya bermasalah. Coretan panjang menghiasi buku tugasnya. Chiko melongo. "Mas!" bentaknya marah. Gigih masih menempelinya. Tubuh Gigih lebih besar daripada Chiko, jadi Chiko harus menahan sabar dengan itu. Chiko harus memaklumi tingkah aneh Gigih sejak dulu. Sudah biasa katanya. Namun meski begitu, nyatanya Chiko tidak bisa santai. Gigih menyebalkan! Gigih memuakkan! "Chiko..." Gigih ketakutan karena bentakannya. "Jangan ganggu aku!" Chiko mencoba tidak terlalu marah sekarang ini. Dia sedang butuh konsentrasi khusus untuk mengerjakan PR-nya. Gigih menggeleng kencang. "Gih nggak ganggu!" katanya pelan. Chiko mencoba menatap bukunya lagi. Ada PR matematika yang sangat biadab sekarang ini. Chiko harus mengerjakan satu bab dan sebagian besar berisi soal uraian. Tidak ada soal pilihan ganda sama sekali. Hal paling memuakkan adalah ketika Chiko harus menulis diketahui, ditanya, dan jawab di sana. Gigih membisu. Chiko sedang tidak ingin diganggu. "Chiko..." Akhirnya kata itu muncul juga dari bibir Gigih. Gigih tidak tahan lagi untuk terus diam. Gigih ingin mengajak Chiko bicara dan mengobrol seperti biasa. "Hm?" Chiko sedang sibuk menghitung. "Chiko, main, yuk!" ajaknya. Chiko melengos tak peduli. Matanya masih mengawasi soal-soal menyebalkan itu. Gigih pengganggu sekarang ini. "Aku lagi nggak ada waktu buat main." Chiko bersuara. Gigih menatap wajah Chiko sekali lagi. Tatapannya memohon sekali lagi. Chiko tidak ingin menanggapi dengan terlalu serius. Gigih masih kekanakan. Kondisinya memang seperti itu. "Chiko, main, yuk!" Chiko sibuk. Dia sibuk menghitung angka-angka di buku tugasnya. Gigih menggerutu. Dia bisa menangis kalau diabaikan. Sekarang ini Chiko harus punya trik agar Gigih mau pergi dari kamar dan membiarkannya sendiri. "Mas, Mas..." Chiko berbalik dan tersenyum ke arah Gigih. "Chiko main?" Chiko menggeleng. "Mas, Mama bikin puding, lho!" Gigih menggeleng. "Gih mau Chiko. Puding nggak!" "Pudingnya enak, lho, Mas!" Gigih masih menggeleng keras kepala. Chiko tidak kehabisan akal. Kalau dengan iming-iming puding Gigih tidak menurut, maka jalan satu-satunya adalah dengan cara yang lebih sederhana. "Mas bobok aja dulu, ya! Besok sekolah." "Malam bukan, Chiko!" Gigih berteriak tak terima. Kakinya menghentak kesal. Chiko sudah kehabisan akal. Masih ada cara lain agar Gigih sibuk dan tidak mengganggunya. Chiko mencoba mencari cara lagi. "Mas main aja di luar." Gigih menggeleng. "Chiko lagi ngerjain PR, Mas. Ntar gimana kalau guru marah?" "Chiko sakit?" tanya Gigih lagi. Chiko mengangguk cepat. "Iya, kalau guru marah, ntar Chiko dihukum dan bisa sakit nantinya. Mas mau lihat Chiko sakit?" Gigih menggeleng kencang. Wajah gantengnya terlihat sedih dan tak terima. Chiko kembali menaikkan sudut bibirnya. Ayolah, Mas! Chiko sedang ingin bermain dengan tugas ini. Tidak ada waktu bermain dulu. Chiko juga harus peduli dengan pendidikannya. Chiko sudah kelas lima sekarang, jadi tugas-tugasnya juga sangat banyak dan beragam. Sebentar lagi kelas enam, jadi guru pasti sibuk dengan persiapan ujian nasional saja. Mungkin ini cara guru balas dendam. Sedangkan Gigih? Gigih masih belajar angka dasar di kelasnya, masih belajar materi kelas dua SD. "Gih sayang Chiko!" Gigih mendekati Chiko lagi, lalu memeluknya erat. Chiko pasrah ketika Gigih melakukan itu. Dia tidak ingin melakukan banyak hal yang membuatnya galau setengah mati. Chiko sudah biasa diperlakukan seperti ini oleh Gigih. "Mas, aku mau ngerjain PR." "Gih peluk Chiko lama." "Kalau mau peluk-peluk lama, mendingan ntar aja. Aku ada tugas banyak, Mas." "Gih bantu Chiko." Mungkin Gigih tidak bisa dirayu dengan bahasa, jadi Chiko mencoba merayunya dengan perbuatan. Gigih harus diberi sesuatu yang lebih menarik. Chiko berdehem, lalu menepuk punggung Gigih. "Mas sayang Chiko?" Gigih mengangguk. Jemarinya masih tertaut di punggung Chiko. Chiko menepuk punggung Gigih lagi. "Di sekolah tadi diajari apa?" "Gambar, Chiko." "Mas suka gambar?" Gigih mengangguk. "Chiko kan belum tahu gambaran Mas. Boleh Chiko lihat?" tanya Chiko cepat. Gigih melepas pelukannya dan melompat dari sana. Dia mengambil kertas gambarnya dan menunjukkan sesuatu pada Chiko. Ada gambar papa, mama, Chiko, dan juga Gigih di sana. Gambaran aneh, mirip pohon yang berkepala dan berwajah. Namun hal yang paling mengusik Chiko adalah tulisan di bawah kertas itu. Gih sayang. Chiko merasa iba seketika. Gigih hanya disalahpahami. Gigih tidak bodoh. Dia hanya mengalami gangguan cara pikir saja. Gigih pintar, hanya saja perkembangan otaknya terlambat. "Gambar apa itu, Mas?" Chiko pura-pura ingin tahu, namun jemarinya sibuk mengerjakan tugas. Gigih menunduk, lalu mulai menjelaskan dengan panjang lebar. "Gih ada papa, mama, dan Chiko. Gih sayang. Gih nggak mau pergi. Gih sayang." "Oh..." Chiko menyahut datar. "Gih paling sayang Chiko. Chiko baik. Chiko suka main." Chiko ingin tergelak geli sekarang ini. Chiko ingin bicara banyak hal, namun lagi-lagi Gigih memberikan sesuatu padanya. Pensil warna. "Chiko gambar Gih! Gih gambar Chiko!" katanya riang. Chiko menggeleng. "Aku nggak bisa gambar, Mas." Gigih merengut tak terima. Matanya menatap wajah Chiko gemas, sementara bibirnya masih mengerucut imut begitu. Chiko tak peduli. Hari ini dia harus mengerjakan tugasnya hingga selesai. Kalau tidak selesai, guru bisa menghukumnya besok. "Gih suka Chiko gambar!" "Kapan Chiko gambar?" tanya Chiko balik. "Gih lihat, Gih lihat!" Gigih bertepuk tangan. Chiko ada ide tiba-tiba. Dia mengeluarkan buku gambarnya, lalu menyobek bagian tengah buku gambar itu. Ketika dia mengulurkan lembaran itu pada Gigih, Gigih mengerjap. "Apa itu, Chiko?" tanyanya. "Mas gambar lagi, ya! Aku pengen lihat apa yang pernah Mas lihat di buku gambarku." Chiko menantang. Bukan menantang sungguhan, dia hanya ingin mencari cara mengalihkan perhatian Gigih saja. Untuk sementara Chiko bisa fokus dengan tugasnya. Hanya tinggal beberapa soal saja, kok! Setelah ini Chiko bisa tidur. Gigih mencoreti buku gambarnya dengan wajah senang dan bahagia. Chiko diam saja. Dia tidak ada waktu mendengarkan celoteh Gigih. Anak itu terus bergumam aneh. Entah itu hanya ucapan ataupun lagu Chiko tidak tahu. Yang Chiko tahu, Gigih sedang sibuk dengan kertas gambarnya. "Gih sayang Chiko," bisiknya pelan. Chiko mendengar kalimat itu. Gigih selalu mengatakan itu, bahkan ketika dia mengigau sekalipun. "Gih cinta Chiko," katanya lagi. Chiko tidak peduli dengan gumaman Gigih. Papa dan mama sudah biasa mengajari Gigih untuk bicara apa pun yang dia rasakan. Karena itulah Gigih selalu mengatakan apa pun. Gigih terlalu jujur, bahkan ketika Chiko harus mengajarinya berbohong. Gigih selalu mengatakan semuanya pada mama dan papa. Chiko ogah mengajak Gigih bekerja sama sejak hari itu. Dia tidak suka menyimpan rahasia pada Gigih. Gigih telah terlatih untuk tidak berbohong. "Chiko..." "Hm?" "Chiko suka apa?" Chiko melirik Gigih dan melihat anak itu sedang tengkurap di lantai kamar. Kepalanya mendongak ke arah Chiko dengan wajah bingung. Chiko tersenyum dan mencoba mengucapkan sesuatu. "Chiko suka ikan." Gigih menggaruk tengkuknya. "Chiko suka ikan," katanya cepat. Jemarinya langsung mencoret-coret buku gambarnya. Chiko diam saja. Dia masih sibuk dengan soal terakhir. Soal ini susah sekali. Chiko sampai harus memutar otak dan mengulang bab sebelumnya. Chiko suka matematika, hanya saja tugas kali ini benar-benar menyiksa. Gigih masih sibuk menggambar. Ketika Chiko menunduk, dia melihat Gigih menggambar ikan dengan susah payah. Hapus lagi, gambar lagi, sampai gambar itu tidak menyerupai bentuk ikan. "Mas gambar ikan?" Akhirnya Chiko tak tahan juga untuk bertanya. Gigih mengangguk cepat. Chiko tersenyum puas. Untuk sementara Gigih tidak akan mengganggunya. #Tragedi Gambar Ikan# Sudah sejam berlalu sejak Gigih menggambar ikan. Chiko sudah selesai dengan PR matematika dan sibuk mengerjakan tugas lain. Kali ini tugas bahasa Inggris. Chiko harus rajin membuka kamus untuk tahu artinya. "Chiko?" Gigih memanggil lagi. "Iya, Mas?" "Banyak PR?" Chiko mengangguk. Gigih merengut. Wajahnya terlihat kesal. Matanya berkaca-kaca. Dia sudah hampir menangis karena kesal. Gigih mencoba tidak marah dengan PR Chiko, namun sekarang ini Chiko terlihat sangat sibuk hingga menyita waktu mereka. "Gih benci PR Chiko!" Chiko mengangguk. "Chiko juga benci, Mas." "PR Chiko banyak." "Iya, PR Chiko banyak." "Gih benci PR Chiko!" Lagi-lagi Gigih menggerutu. Chiko tersenyum kecil. Gigih menatapnya dengan raut sedih. Kapan Chiko ada waktu? Gigih juga ingin bermain dengan Chiko. Ketika Gigih memanggil Chiko dengan cara, "Chiko... main, yuk!" maka dunia Chiko seolah hancur. Itu artinya Chiko harus bermain dengan Gigih sampai sepupunya itu mau melepaskannya. "Chiko?" "Iya, Mas?" "Ikan apa makan?" Chiko menjawab, "Ikan makan apa aja." "Ikan tidur di mana, Chiko?" "Ikan tidur di air, Mas." Gigih mengangguk semangat. Jarinya mengelus hasil gambarnya lagi. Gambar ikan aneh itu sangat memuaskan hati Gigih. Gigih berdiri, lalu mengulurkan gambar itu pada Chiko. "Chiko, Chiko! Bagus?" Chiko sok terkejut dan terkagum-kagum. Gigih sangat suka dan bahagia dengan pujian seperti itu. "Bagus banget, Mas!" "Chiko suka?" tanya Gigih cepat. Chiko mengangguk. Gigih makin bersemangat. Gigih berlari ke luar kamar setelah itu. Chiko menghela napas lega. Akhirnya Gigih pergi juga. Mungkin Gigih ingin menunjukkan gambar itu pada mamanya. Chiko sibuk dengan tugas bahasa Inggrisnya dan mengabaikan Gigih untuk sementara. Hanya saja... #Salah Chiko Apa?# Mama mengomel marah. Kamar Chiko penuh dengan air. Banjir. Chiko terpaksa mendengarkan omelan mamanya sekarang ini. Beberapa waktu lalu Gigih datang ke kamarnya, lengkap dengan segayung air. Hasil gambarnya tercelup sempurna di sana. Chiko melongo dan mengomeli Gigih.  Kamar mereka kebanjiran. "Kenapa ini basah semua, Chiko?" tanya mama galak. Nah, kan? Pasti Chiko juga yang bersalah pada akhirnya. Chiko mencoba menjelaskan, namun melihat Gigih gemetar ketakutan sembari menunduk membuat Chiko jatuh iba. "Mas Gigih bawa air ke kamar, Ma." Chiko menjelaskan. "Kenapa bisa bawa air ke kamar? Kamu bilang apa sama dia?" Mama peka. Mama tahu kalau Gigih terlalu polos atau... bodoh – itu anggapan Chiko terhadap Gigih, karena anggapan tunagrahitanya – membuat Chiko harus menanggung kesalahan Gigih sekarang. "Ikan tidur di air." Chiko mengaku. Namun itu bukan alasan Gigih membawa air ke kamar seharusnya. Hanya saja Chiko lupa kalau Gigih tidak seperti manusia pada normalnya. Chiko diomeli lagi. Lagi-lagi karena Gigih. "Harusnya kamu tahu kalau Gigih itu nggak bisa ngerti apa maksud kamu, Chiko!" Mama masih mengomel. Chiko menatap wajah Gigih. Gigih menangis, sesenggukan dengan tubuh gemetar. Seharusnya... seharusnya Chiko yang menangis sekarang. Itu bukan salahnya, meski Chiko sadar kalau dia salah bicara. Chiko bisa mencoba mengerti pola pikir Gigih, hanya saja Gigih sudah keterlaluan kali ini. Gigih merengut dengan air mata di pipi. "Mama marah jangan! Chiko baik. Ikan air." Gigih masih sesenggukan. Mama mengelus sayang kepala Gigih dan tersenyum. "Kali ini Chiko salah, Sayang. Seharusnya dia nggak boleh bilang gitu ke kamu." Chiko salah lagi. Salah lagi. Dulu Chiko masih sempat berteriak ketika disalahkan, namun sekarang tidak lagi. Chiko sudah muak begitu. Percuma juga, mama dan papa lebih sayang Gigih. "Chiko yang salah. Semua salah Chiko!" Chiko menyudahi perdebatan hari itu. Mama menatap Chiko, namun Chiko berdiri dan pergi. Gigih menjerit ketika itu. Menangis karena ditinggal pergi oleh Chiko. Namun Chiko tak peduli. TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD