2. Dewa

1243 Words
Kau yang diam, sapa aku dengan acuhmu. Kau yang beku, sapa aku dengan tatapmu. Aku tahu, dibalik sikapmu itu, ada ruang hangat yang akan selalu kau persiapkan. Tapi aku tidak tahu untuk siapa. Mungkinkah untukku? *** "Anjirr! Kebagian permen kaki lagi, lo licik banget sih!" "Yee, sekali-kali gue yang licik. Kemaren lo terus yang ngambil coklat!" "Lah, ini taro ya? Asik, rasa keju!" "Ini para cewek enggak ada yang niat ngasih mie goreng rasa rendang apa? Kan lumayan, gue bisa ikut masak di dapurnya Bi Indah!" Seperti biasa, kedua laki-laki itu akan berebut makanan kecil di lokernya milik Dewa, sahabat tampan yang selalu menjadi buah bibir dan bulan-bulanan para gadis Mutiara. "Bi Indah enggak mau lah! Kalau lo cuma numpang masak mie! Lo pikir, gas itu murah? Beli coy! " protes Seto, atau yang bernama lengkap Seto Adrian. Dan Bi Indah adalah tukang warung yang ada di kantin, dia pedagang paling ramah dan murah, jika dibandingkan dengan pedagang lain. Selain itu, di warung Bi Indah, bisa utang dulu, alias makan duluan dan bayarnya belakangan. Itu tentu saja poin plus yang disukai para murid Mutiara. Terutama murid yang jajan mengandalkan pemberian seperti Seto dan Bima. Keberuntungan mereka adalah menjadi sahabatnya Dewa, modal tampang yang memang mendukung membuat para gadis menaruh hati padanya. Mereka yang sedang mengejar cintanya Dewa, tentu saja banyak memberikan makanan secara cuma-cuma. Contohnya, seperti saat tadi pagi. Para gadis itu berbondong-bondong ke lokernya milik Dewa. Ada yang memberikan coklat, permen, atau makanan ringan seperti kripik kentang, kripik singkong, atau sukro dan yang lainnya. Sehingga loker itu penuh seperti tempat jualan. Hal itu, tentu saja sangat menguntungkan untuk kedua remaja seperti Bima dan Seto. "Bi Indah itu baik, enggak kaya lo!" Sahut Bima tak terima. "Baik sih baik, tapi kalau baiknya sama orang kaya lo! Bisa bangkrut dia!" Balas Bima sinis. Kedua remaja itu terus saja berisik, ketika terdengar suara seorang perempuan yang sepertinya tengah berjalan mengikuti langkah seseorang. "Gue tahu, lo pasti sengaja kan? Ngasih sapu tangan ke gue!" "Ah, lo suka kan sama gue?" "Eh, lo nyadar enggak sih?" Karena kesal diabaikan oleh sitampan itu, Dyra menarik tangannya. Hingga berhasil membuat Dewa menatap padanya, tentu saja dengan tatapan tajam dan kesal seperti biasanya. Sempat takut dengan tatapan itu, Dyra terkekeh hingga rasa takutnya sedikit menghilang, "...nyadar enggak? Kalau lo itu ganteng banget, sama kaya gue yang cantik banget. Berarti kita jodoh kan?" Dyra tahu laki-laki di depannya itu sudah emosi tingkat tinggi. Terlihat dari kedua matanya yang menyorot tajam, dan rahangnya yang mengeras. Tapi dasar gadis itu, dia malah dengan lancangnya meraih tangan itu dan menggenggamnya erat. Dyra bukannya tidak takut pada laki-laki yang terkenal dingin dan ketus seantereo Mutiara itu. Hanya saja, Dyra penasaran. Seperti apa wajah Dewa kalau sedang marah. Apakah laki-laki itu akan berani membentak atau memukulnya? "Lihat! Tangan kita aja pas banget, masa lo enggak sadar kalau kita jodoh?" Dyra menatap gemas pada tangan mereka yang bertaut. Lalu menatap Dewa yang masih saja terdiam, dengan tatapannya yang semakin menajam. Ah, Dyra suka sekali tatapan itu. "Lo ngajak main tatap-tatapan ya? Sama gue?" Dyra perlahan mendekatkan wajahnya pada laki-laki tampan itu, "...gue berani ko." Dyra terus mendekatkan wajahnya, ketika sebuah telunjuk menahan keningnya. "Stres!" Dewa menggeleng jengah, lantas melepaskan tangannya dari genggaman Dyra. Lalu pergi dengan langkah lebarnya. "Dewa!" Kesal Dyra, tapi sitampan itu malah pergi tanpa mau lagi menoleh padanya. Namun ketika Thanaya Alysa atau yang sering dipanggil Naya sigadis kelas X itu memanggilnya, Dewa mengampiri, bahkan tersenyum dan berbicara dengannya. Dyra jadi termangu, entah kenapa dadanya terasa sesak. Padahal, Dewa itu bukan siapa-siapanya. Padahal, Dewa itu memang tidak mempunyai hubungan apa pun dengannya. Harusnya Dyra sadar diri bukan? Seno dan Bima yang melihat itu merasa kasihan. Perlahan keduanya mendekat. "Neng Dyra mau permen gak?" Seno disebelah kirinya, menyodorkan permen kaki. Lalu sebelah kanannya Bima menyodorkan kue yang dibungkusannya ada nama 'Taro'. Dyra melirik ke arah keduanya. Awalnya ia kesal, lama-lama ia tersenyum, pikirnya kue taro yang diberikan Bima lumayan besar juga. Dari pada ngejar Dewa yang bisa membuat tenaganya habis. Lebih baik, Dyra mengambil kue taro itu. "Makasih," Dyra meraih kue taro ditangannya Bima. Lantas pergi dengan riang. Membuat Seto merenggut kesal. Karena Dyra mengabaikan permen kaki pemberiannya. Bima yang melihat itu tergelak, ia menoyor kepalanya Seto, "Lo sih, kalau mau ngasih, ya coklat. Ngapain permen kaki. Mana mau dia!" Seto menggaruk kepalanya yang tidak gatal, "Coklat itu buat gebetan gue!" "Alaaa ... itu juga bukan lo yang beli." "Lah, itu taro juga bukan lo yang beli!" "t*i!" Kedua remaja itu kembali ke loker, untuk melihat apalagi yang ada di dalam sana yang bisa mengganjal perutnya. *** "Beliin gue parfum di toko yang ada disebelah jembatan!" Seorang gadis berusia 20 tahun, meletakan uang seratus ribuan. Di atas meja yang dipakai Dewa untuk belajar. Dewa yang selalu menjadi korban menyebalkan tingkah kakaknya itu hanya bisa mendengus, "Beli sendiri aja! Gue lagi belajar!" Kesalnya. "Elaaah, cepetan tolongin. Lo kan bisa lari ke sana! Gue udah pake kebaya! Gimana mau lari!" Kesal Ratu, dia Kakaknya angkatnya Dewa. Nama lengkapnya Ratu Anjani. Saat ini perempuan itu mau pergi ke menghadiri undangan pernikahan. Tapi katanya parfum yang suka ia pakai sudah habis. Makanya Ratu menyuruh laki-laki itu untuk membelinya. Dewa memang tidak bisa menolak perintah Kakaknya itu. Dengan malas ia berdiri dan keluar untuk membeli parfum yang dibutuhkan perempuan berusia 20 tahun tersebut. Kelakuan nakal Dyra, kalau ia hendak pergi dengan teman-temannya. Ia akan masuk ke sebuah toko parfum. Berjalan ke tempat tester yang tersedia, lalu mencoba parfum itu dengan ia cium-cium perlahan. Lantas ia seprotkan kebajunya jika dirasa ia menyukainya. Anjir wangi banget ini parfum! Dengan penuh nafsu ia terus menyemprotkan parfum tersebut, ke baju yang dikenakannya, kapan lagi ia bisa mendapatkan parfum gratis. Dyra tidak mungkin bisa membeli parfum ini. Uang jajan yang diberikan Mamahnya tidak mungkin cukup untuk membelinya. Setelah dirasa cukup, ia pun harus pergi. Dan mulai berpikir bagaimana caranya bisa masuk ke toko itu lagi, tanpa ketahuan. Karena para pelayan toko itu akan mengenalinya sebagai pengunjung yang cuma memakai tester tanpa mau membeli. Dyra memutar dirinya dengan percaya diri. Ketika seorang laki-laki jangkung berjarak sepuluh meter darinya tengah berdiri dan menatap padanya. Dyra mematung, kenapa laki-laki tampan yang sedang ia incar itu berada di sana? Oh, sejak kapan laki-laki itu menatapnya? Apakah ia juga melihat tingkah gilanya yang memakai parfum tester itu? Sitampan berjalan ke arahnya, semakin membuat Dyra menegang. Tatapan mereka tidak putus, dan Dyra yakin. Kalau laki-laki itu akan melaporkannya. Jarak semakin dekat, membuat Dyra menelan salivanya susah payah. "Eh, hay calon pacar?" Sapanya tersenyum begitu ramah, dan tentunya ada rasa malu luar biasa yang terselip di dalamnya. Dewa tidak menjawab, seperti biasa laki-laki itu mengabaikan dirinya. "Lo pasti mau beliin parfum buat gue, iyakan?" "Mimpi!" Suara Dewa terdengar pelan. Namun hal itu membuat Dyra bahagia. Karena suara Dewa ini amat spesial menurutnya. "Terus, lo mau ngapain? Ngikutin gue?" Dyra mengikuti langkah Dewa yang sedang memilih parfum. "Bukan!" Dewa menjawab, dengan meraih parfum yang bermerek dunhil blue. Itu adalah merek parfum kesukaan Ratu, Kakaknya. "Dewa, parfum kesukaan gue bukan merek itu!" Rengek Dyra tidak tahu malu, membuat Dewa mendengus dengan memutar kedua bola matanya jengah. Dia berjalan ke arah kasir, lantas membayarnya. Dyra kesal, ia terus mengikuti Dewa sampai ke parkiran. Ke tempat motor laki-laki itu berada. "Dewa, kok lo enggak beliin gue parfum sih?" Masih saja, dengan gaya manjanya, Dyra terus mengikuti laki-laki itu. Hingga sebuah motor yang entah datang dari mana hendak menabrak gadis itu, membuat kedua matanya membelalak. Ia hampir saja menjerit karena takutnya. Ketika sebuah lengan kokoh menarik dirinya dan membuat tubuh mungil itu berada di dekapan hangat. Kedua mata yang selalu menatapnya tajam itu, kini terlihat cemas. "Bisa enggak, jalannya lebih hati-hati!?" 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD