Chapter 3 - Apa Kamu Masih Mengingatnya?

2159 Words
Dua hari kemudian, Dennis balik dari Korea Selatan. Penerbangannya sempat tertunda karena faktor cuaca buruk. Kepulangannya di rumah disambut dengan hangat oleh Tamara, yang tak jadi menjemputnya di bandara karena sedang tidak enak badan. “Hai sayang,” sapa Dennis. Dia meletakkan koper serta seluruh barang bawaannya ke atas lantai lalu memeluk tubuh istrinya dengan erat. Diciumnya pucuk kepala istrinya. “Bagaimana kabarmu?” tanyanya. Tamara merenggangkan pelukan suaminya. “Aku baik-baik saja,” jawabnya dengan senyum tipis. Dia mengalihkan pandangannya sejenak pada lima buah goodie bag yang diletakkan Dennis di dekat kopernya. “Barang bawaanmu banyak sekali?” tanyanya bingung. Dennis tersenyum, “Bukalah. Itu oleh-oleh untukmu dan orangtuamu.” Tamara menghabiskan waktunya sebentar untuk melihat-lihat isi goodie bag tersebut. Rupanya Dennis membawakannya banyak cenderamata. Mulai dari tas, jam tangan, pakaian, produk perawatan kulit hingga sebotol soju. Dia mencium pipi kanan Dennis, “Terima kasih, sayang.” Tamara menggandeng lengan kiri Dennis lalu mengajaknya menuju ruang makan. “Ayo, makan malamnya sudah siap,” imbuhnya. “Bagaimana reuni kampusmu?” “Maksudmu?” tanya Tamara balik. Matanya sedikit terbeliak lebar. Saat mendengar kata ‘reuni kampus’, seketika dia jadi teringat kembali akan malam terlarangnya bersama dengan Henry. “Reuni kampusmu,” ujar Dennis heran. “Kamu bilang kampusmu mengadakan reuni, bukan?” “Oh, itu …,” gumam Tamara kikuk. “Ya, biasalah. Tidak ada yang menarik.” Dalam hati dia terus berdoa agar Dennis tak bertanya apa-apa lagi soal reuni kampusnya, yang menurutnya adalah sebuah mala petaka. Sesampainya di ruang makan, Dennis lalu meminta Tamara untuk duduk di atas pangkuannya. Disisirnya rambut istrinya yang halus itu menggunakan kelima jari tangannya. Dipandangnya wajah cantik Tamara dengan sorotnya yang penuh cinta. “Aku rindu sekali padamu, sayang. Hatiku terasa sakit setiap kali melihat pasangan yang jalan sambil gandengan tangan di Busan. Kamu tahu kenapa?” tanyanya. “Kenapa?” tanya Tamara penasaran. “Karena aku jadi teringat padamu. Harusnya aku pergi ke Busan bersama denganmu, bukannya dengan kolega kerjaku.” Tamara tersenyum. “Kita bisa mampir ke sana kapan-kapan,” tuturnya. “Makanlah dulu. Nanti kamu sakit.” “Sebenarnya aku sudah makan di pesawat tadi. Pihak penerbangan memberikan makanan dan minuman gratis pada semua penumpang sebagai kompensasi karena penerbangan ditunda,” kata Dennis. “Tapi tak apa. Aku akan tetap memakan masakanmu.” Usai mencicipi masakan buatan istrinya, yang rasanya tidak kalah dengan buatan koki restoran bintang lima itu, Dennis lalu mengajak Tamara untuk mandi bersama. Dan Tamara sama sekali tak menolak ajakannya. Dia berdiri membelakangi Dennis di bawah kucuran air shower yang hangat. Dia membiarkan Dennis menyentuh perutnya yang rata serta memainkan satu gundukan ranumnya dari belakang. Tamara mengerang saat dia merasakan milik Dennis, yang lambat laun mulai menegang itu, bersentuhan dengan bokongnya yang sintal. Nafas Dennis terdengar memburu. Remasan tangannya di tubuh Tamara jadi tambah kasar nan liar. Tetapi saat Dennis mencium lehernya dan membelai daerah intimnya dengan jari-jari tangannya, tiba-tiba saja Tamara memintanya untuk berhenti. Lagi-lagi otaknya membawanya kembali pada bayang-bayang wajah Henry. Dibaliknya tubuh istrinya dengan pelan. Dennis mematikan keran shower dan lanjut bertanya dengan raut khawatir sekaligus kecewa, “Ada apa, sayang?” Padahal miliknya di bawah sana sudah terlanjur tegang dan ingin segera memasuki milik Tamara. Namun Tamara tak menjawab. Dia hanya terdiam sembari menatapi dadaa suaminya yang bidang itu. “Maafkan aku karena sudah meninggalkanmu kemarin,” lirih Dennis seraya menangkupkan wajah Tamara dengan satu tangannya. Pikirnya, dia pasti sudah membuat Tamara merasa kesepian selama ditinggal pergi bisnis trip ke Busan. “Tidak usah meminta maaf padaku, Dennis, kamu tidak berbuat salah,” sahut Tamara. ‘Malah aku yang harusnya minta maaf padamu,’ sambungnya dalam hati. “Apa kita perlu ke dokter?” Tamara menggeleng, “Aku cuma lagi kurang fit. Belakangan hari ini aku memang agak kesulitan tidur karena tidak ada kamu di sampingku.” Dia lalu melingkari kedua tangannya di leher Dennis. “Tapi ‘kan sekarang kamu sudah pulang. Jadi pasti tidurku akan nyenyak kembali seperti sedia kala,” timpalnya sambil merayu. Dennis terdiam sejenak untuk berpikir. “Bagaimana kalau besok kita makan malam bersama sepulang aku kerja?” ajaknya, guna menyenangkan hati istrinya. “Boleh,” jawab Tamara sembari mengangguk. “Kita ketemuan di kantor saja, ya?” “Oke, sayang.” **Keesokan harinya** Waktu menunjukkan pukul setengah lima sore saat Tamara tiba di gedung Voyage Industries. Dia jalan sendirian menyusuri lobby gedung pencakar langit itu. Suara high heels stiletto hitam yang dia kenakan menggema hingga ke seluruh penjuru lorong. Dia tampil sexy nan elegan dengan balutan dress satin tanpa lengan warna merah serta sebuah clutch warna emas. Rambutnya yang tebal itu dia kuncir kuda setengah. Tanpa harus menunjukkan identitasnya ke penjaga serta resepsionis pun, semua orang sudah tahu kalau dia adalah istri CEO perusahaan ternama tersebut. Tamara menekan tombol lift dengan perasaan berbunga-bunga. Dia sudah tak sabar ingin melihat bagaimana reaksi Dennis saat melihat kedatangannya yang lebih awal dari seharusnya itu. Namun perasaan bahagia itu langsung turun drastis begitu pintu lift terbuka. Tanpa sengaja Tamara bertemu dengan Henry, yang berpakaian setelan rapih ala korporat. Dia tidak sendirian, melainkan sedang besama dengan dua orang karyawan lain, satu laki-laki dan satu perempuan, yang Tamara tak tahu siapa namanya. Keduanya saling melempar tatapan sengit. Henry dan Tamara memang tak pernah akur. Persis seperti hewan predator dan hewan buruannya. Sejak pertama kali melihat Henry datang di sekolahnya sebagai murid pindahan dulu, Tamara memang sudah tidak menyukainya. Entah mengapa, tapi ada sesuatu dalam diri Henry yang membuat Tamara sebal. Apalagi dengan kelakuannya yang suka tebar pesona pada wanita. Henry memang tampan, Tamara harus mengakui itu. Tapi ketampanannya seakan-akan tidak ada harganya di mata Tamara. Hal yang sama pun dirasakan oleh Henry. Baginya, Tamara hanyalah ‘wanita tua’ pemarah yang suka padanya tapi terlalu gengsi untuk mengakuinya. Pun demikian, sejujurnya dia suka jadi teman rival Tamara. Dia suka saat dirinya berhasil membuat Tamara melakukan kecurangan hanya karena merasa tak mau tersaingi. Dia suka melihat bagaimana raut cemberutnya Tamara. Dia suka setiap kali Tamara menatapnya seolah-olah mau menelannya hidup-hidup. Terkadang Henry berpikir, apa jangan-jangan dirinya seorang masokis, yang mendapat kepuasan saat ‘disakiti’ oleh orang lain? Namun tak peduli apapun yang Tamara lakukan untuk menjatuhkan Henry, dia tetap selalu berada beberapa langkah lebih jauh di depannya. Dan puncak kedongkolan Tamara terjadi kala dia ditolak magang oleh lembaga hukum impiannya, dikarenakan lembaga hukum itu lebih memilih Henry, yang menurut mereka lebih berkompeten, untuk magang di sana. “Mau apa kamu di sini?!” cetus Tamara jengkel. Nada suaranya yang tinggi sampai-sampai membuat dua orang karyawan itu kaget sekaligus takut. Henry menyeringai. Semakin Tamara membentaknya, dia malah jadi merasa makin tertantang. “Nona Tamara, begitukah caramu menyapa orang lain? Sopan sekali,” ucapnya sarkas. Tamara mendengus kesal. Dia meraih tangan kiri Henry lalu mengajaknya bicara empat mata di tempat yang lebih sepi. “Aku menunggu penjelasanmu,” tuturnya sembari melipat kedua tangannya di depan dadaa. “Barusan aku bertemu dengan CEO dan HRD perusahaan ini buat tandatangan kontrak,” jawab Henry malas. Jantung Tamara rasanya seperti mau copot. “Kamu … bertemu dengan Dennis?” tanyanya tak percaya. “Kamu kenal dengan Dennis Hasani?” tanya Henry sambil menaikkan satu alisnya. “Dia suamiku, usianya cuma empat tahun lebih tua dariku,” jawab Tamara. Jantungnya berdegup semakin kencang. “Kami menikah kira-kira enam bulan setelah aku lulus kuliah. Kami dijodohkan, orangtua kami memang sudah lama berkawan baik dan kami juga merasa cocok satu sama lain,” jelasnya. “Ah, menarik sekali. Itu artinya pernikahan kalian masih seumur jagung, bukan?” tanya Henry seraya menerka-nerka. “Hmm … Tapi bagaimana bisa kamu menikahi laki-laki yang belum lama kamu kenal? Seberapa yakin kamu kalau dia memang laki-laki yang seratus persen pantas untukmu?” Memuncak sudah amarah Tamara. “Ck, sok tahu sekali kamu? Siapa bilang aku baru kenal dengan Dennis? Aku sudah mengenalnya sejak lama, dan dia itu laki-laki yang baik!” makinya. Henry tersenyum miring, “Yang namanya laki-laki kalau baru menikah juga pasti baik.” “Tahu dari mana? Memangnya kamu sudah pernah menikah?” debat Tamara tak mau kalah. “Aku memang belum pernah menikah, tapi aku laki-laki dan Dennis pun juga seorang laki-laki,” kata Henry. “Jadi, yeah, sedikit banyak aku tahu tentang bagaimana perangai aslinya laki-laki.” “Apa saja yang sudah kamu bicarakan pada Dennis?” tanya Tamara lagi. Dia sudah pasrah seandainya Henry menceritakan soal skandal ‘cinta satu malam’ itu pada Dennis. Kalau dipkir-pikir, toh itu semua memang salahnya. Harusnya dia tidak usah minum-minum sampai mabuk seperti itu. “Selayaknya karyawan yang baru selesai tandatangan kontrak, apa lagi?” jawab Henry. “Kami membicarakan soal gaji, kompensasi, tunjangan, tugas dan kewajibanku, jatah cuti. Masa begitu saja kamu tidak tahu, hm?” sambungnya dengan nada bicara dan tatapan merayu. “Jadi selama ini kamu sudah menjalani proses rekrutmen di Voyage Industries dan kamu tidak memberitahuku?” “Buat apa pula aku memberitahumu? Memangnya aku kekasihmu? Kita bahkan tak punya nomor ponsel satu sama lain,” ucap Henry heran. Dia tersenyum lebar setelahnya. “Oh, aku tahu. Bilang saja kalau kamu mau nomor ponselku, Tamara. Aku pasti akan memberikannya padamu kok,” godanya. “Tidak usah aneh-aneh!” tukas Tamara dengan pipi yang agak merona. Dia lanjut bertanya, “Apa jabatanmu di perusahaan ini?” “Aku menjabat sebagai HR legal baru, menggantikan HR legal lama yang sudah pensiun.” Tamara bungkam sejenak. Dipandangnya mata lawan bicaranya dengan sorot penuh keragu-raguan. “Apa kamu … memakai ‘pengaman’ saat kita berciinta malam itu?” tanyanya. “Aku tidak ingat.” “Aku bersungguh-sungguh, Henry …,” lirih Tamara. Maniknya mulai berkaca-kaca. Henry menggeleng dengan dahi mengernyit, “Sumpah, aku tidak membohongimu, Tamara. Aku sama sekali tidak mengingatnya.” Tamara menundukkan kepalanya dengan penuh kecemasan. “Aku takut hamil,” gumamnya. “Dan aku tidak sanggup membicarakan hal ini pada Dennis. Aku tak mau membuatnya terluka, meskipun pada hakikatnya aku juga sudah membuatnya kecewa.” ”Mustahil kamu bisa hamil. Kita baru melakukannya satu kali,” tampik Henry. Ditatapnya kembali wajah Henry dengan penuh murka. “Tidak perlu melakukannya berkali-kali, kehamilan bisa terjadi bahkan hanya dengan satu kali berciinta! Terutama saat wanita sedang mengalami masa subur!” omel Tamara. Dahi mulus Henry tambah mengerut, “Memangnya pada saat itu kamu sedang dalam masa subur?” Itulah masalahnya, pikir Tamara. Dia tak tahu apakah pada saat dirinya berciinta dengan Henry rahimnya sedang subur atau tidak. “Aku lupa mencatat kalender masa suburku,” jawabnya dengan nada bicara lebih pelan dibanding sebelumnya. “Aku akan tanggungjawab seandainya kamu mengandung anakku.” “Lalu? Bagaimana dengan suamiku dan keluargaku?” ujar Tamara sinis. “Ya bilang saja pada mereka kalau kamu tidak sengaja mengandung anak dari laki-laki teman ‘cinta satu malam’-mu. Apa susahnya?” komentar Henry dengan entengnya. Tangan kanan Tamara mengepal dengan erat. Daritadi dia menahan dirinya untuk tidak menampar pipi mulus Henry. “Berhentilah menganggap ini sebagai lelucon!” cacinya. “Aku tidak sedang menganggapnya sebagai lelucon,” kata Henry. Tatapannya dingin dan serius. “Aku bersungguh-sungguh. Aku akan tanggungjawab karena pada malam itu aku juga mau melakukannya denganmu,” tegasnya. Tamara tak mampu berucap lagi. Dia membuang muka dan beralih menatapi lantai gedung yang licin nan bersih. Bibirnya bergetar menahan tangis. Namun sekuat apapun dia menahan, air mata itu akhirnya tetap berjatuhan membasahi pipinya. Dia takut sekali. Dan Henry yang melihat Tamara menangis pun jadi merasa terenyuh hatinya. Dia paham betapa takutnya Tamara. Diambilnya selembar tissue yang dia simpan di saku setelannya dan diserahkannya pada Tamara, “Bersihkan air matamu. Aku tak suka melihatmu menangis.” Diterimanya tissue tersebut dan digunakannya untuk menyeka air matanya. “Terima kasih,” gumam Tamara. Sebuah senyum merekah di sudut bibir Henry, “Sebenarnya ada satu hal yang masih kuingat akan kejadian malam itu.” “Apa?” “Bagaimana desahanmu dan bagaimana indahnya bentuk tubuhmu,” jawab Henry dengan suara beratnya. Ada sedikit nafsuu yang terpercik dari sorot maniknya. “Lantas bagaimana denganmu, hm? Apa kamu sudah tidak ingat apa-apa tentang … tubuhku?” tanyanya. Bohong rasanya kalau Tamara bilang dia sama sekali tidak mengingat apapun akan malam menggairahkan itu. Dia masih ingat bagaimana rupa bentuk alat vital milik Henry yang gagah perkasa itu. Bagaimana peluh membanjiri tubuhnya yang berotot dan tak tertutup sehelai benang. Bagaimana nikmatnya remasan tangannya. Bagaimana caranya membawa Tamara terbang ke awang-awang. Henry tersenyum nakal. “Kalau cuma diam berarti jawabannya ‘iya’,” sambungnya. “Kamu boleh terus mengingatnya, asalkan jangan bilang pada siapapun soal apa yang kamu lihat dan rasakan malam itu, mengerti?” “Kamu sudah tidak waras,” ejek Tamara. Sekali lagi saja Henry menggodanya, dia bersumpah akan langsung membogem hidungnya yang mancung itu. Lelaki bertubuh tinggi itu lalu mengambil selembar sticky notes dan sebuah pena dari dalam kopornya. Dituliskannya nomor ponselnya di sticky notes tersebut dan diberikannya pada Tamara. “Ini nomor ponselku. Hubungi aku kalau ada ‘sesuatu’ yang terjadi, oke?” ucapnya. Diterimanya sticky notes tersebut. Tanpa berucap lagi Tamara langsung pergi meninggalkan Henry sendirian. ♥♥TO BE CONTINUED♥♥
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD