1. Mantan Istri

1875 Words
Nama, tempat dan kejadian di cerita ini hanya fiksi belaka dan merupakan karangan penulis. *** ”Ah... akhirnya kudu kembali lagi kerja setelah libur panjang...” Seorang wanita berkerudung warna ungu muda serta tunik warna senada, tengah membereskan meja kerjanya yang menjadi berdebu setelah kurang lebih selama dua minggu dia tinggal untuk cuti panjang. Tapi dia tampak sangat gembira meski harus membereskan kekacauan di sekitarnya hari ini. Make up yang dia pakai jelas akan luntur sepagi ini, tapi tidak masalah. Lagi-lagi karena dia merasa sangat gembira hari ini. Tapi sayangnya celana putih yang dia pakai terkena debu dan kotor sekarang. ”Ck! Kotor deh... harusnya pakai warna item aja hari ini huhu...” Suasana ruang kantor tempatnya bekerja masih sepi karena wanita ini memang sengaja berangkat sangat pagi. Sebab lainnya karena ingin memberi kejutan pada rekan kerjannya. Kemudian juga wanita ini ingin menyembunyikan oleh-oleh yang dia bawa supaya tidak terlihat oleh banyak orang. Karena dia bekerja di sebuah tempat yang akan ramai setiap harinya, kecuali ketika libur tiba. Ruangan ini cukup besar dengan rak tinggi yang menempel tempok untuk menyimpan dokumen. Meja-meja yang memperlihatkan betapa sibuknya ruangan ini. Ada juga ruang tamu dan pantri kecil untuk kebutuhan snack karyawan. Tempat ini sendiri didominasi warna kuning dan hijau dari tanaman yang menyegarkan mata. ”Tihaniiiii!!!” Wanita ini terperanjat terkejut saat mendengar seseorang meneriakan namanya dari ambang pintu kaca yang terbuka. Dia adalah rekan kerjanya, sesama staf di ruangan ini bahkan jabatan pun sama. ”Astaghfirullah, Riri! Bikin kaget aja!” seru wanita yang baru saja dipanggil Tihani ini. Langsung saja seorang yang berteriak tadi berlari menuju tempat Tihani berada. Memeluk temannya yang akhirnya pulang setelah melakukan perjalanan Umroh selama 14 hari. ”Kangennnn... ” kata Riri yang begitu melepaskan pelukannya pada Tihani. ”Aku juga, Ri... kangen banget!” balas Tihani atau yang lebih akrab disapa Hani. Lalu mereka sama-sama terdiam dengan menatap wajah masing-masing, setelahnya mereka justru menangis karena Riri ikut bahagia akan Hani yang baru saja mengunjungi tempat paling diimpikan semua muslim di dunia. Walau ada juga sedikit rasa iri karena Hani masih semuda ini sudah bisa membayar biaya umroh bukan untuknya saja, tapi untuk kedua orang tuanya juga. ”Sehat-sehat kan semuanya? Nggak ada kendala apapun selama umroh?” tanya Riri setelah berhasil menguasai emosinya. ”Alhamdulillah sehat dan lacar semuanya, Ri. Terima kasih sudah mengkhawatirkanku,” jawab Hani. Mereka lalu lanjut berbincang, posisi Riri duduk kini di kursi yang ada di depan meja kerja Hani. Topik yang dibahas masih sama, soal Hani yang baru saja melakukan umroh dan Riri begitu ingin tahu semua ceritanya. Tapi sebelumnya Hani memberikan oleh-oleh untuk Riri lebih dulu, berupa sajadah dan kurma yang Hani beli dari kebun di Madinah langsung. Riri sangat senang dan mereka kemudian saling mendo’akan untuk yang terbaik kedepannya entah itu rezeki atau soal hal lainnya. Terutama Riri yang sudah ingin menikah, katanya dia sudah siap, bukan cuma karena rasa ingin saja. Sebab Hani akan memukul kepala Riri kalau menikah cuma karena sudah bosan kesepian. ”Banyak banget kerjaan yang aku tinggalin ya?” Hani menatap daftar pekerjaan di tangannya dengan lesu. Kini keduanya kembali fokus untuk mengurus pekerjaan, apalagi Hani yang tertinggal selama 14 hari harus mengejar info yang pasti banyak diperbaharui. Tapi Riri dengan baiknya telah mencatat semua hal untuk bisa Hani pelajari, Hani sampai kembali menangis dan memeluk rekan kerja yang sudah menjadi teman dekatnya itu. ”Pak Dekan lagi ada tugas ke Jakarta jadi kamu telpon aja buat tanya dua poin terakhir yang ada di catatan aku,” kata Riri, memberikan info lebih lanjut soal catatannya. Soal tempat kerja Hani, dia bekerja sebuah Universitas Islam Swasta yang ada di provinsi Jogja. Kampus yang telah berdiri cukup lama dan cukup terkenal juga sehingga meski kampusnya tidak terlalu besar dan swasta, mahasiswanya selalu penuh. Setiap ada pendaftaran, kampus ini sampai kewalahan dibuatnya karena harus menyeleksi sampai yang terbaik dari yang sudah baik kualitas mahasiswanya. Nama kampusnya adalah Universitas Islam Elfathan, biasanya lebih dikenal dengan nama UNIEL yang merupakan kependekan dari nama aslinya. Terletak tak jauh dari kampus saat Hani mengambil kuliah S1 dulu dan sekitar 20 menit jaraknya dari Malioboro. Salah satu titik paling terkenal di provinsi Jogja. Hani bekerja sebagai seorang staf prodi di Fakultas Dakwah yang memiliki 3 prodi. Yang pertama adalah prodi Komunikasi Penyiaran Islam, kedua dalah prodi Bimbingan Penyuluhan Islam dan yang terakhir adalah prodi Manajemen Dakwah. Masing-masing prodi punya satu staf, tapi ada total 10 staf yang bekerja di ruangan ini. Sedangkan Hani bekerja untuk prodi Komunikasi Penyiaran Islam. ”HANIIII!!” Terdengar lagi teriakan seorang yang masuk ke dalam kantor fakultas dakwah tempat Hani bekerja. Itu adalah Wafa, staf prodi Manajemen Dakwah yang paling slengean dari semua staf yang ada. Tapi kalau tidak ada dia, serasa ruangan ini akan sepi dan sangat berbeda auranya. ”HANI HANI HANI!” seru Wafa tanpa memedulikan dua rekan kerjanya sudah meringis dan menyuruhnya diam. ”Kangen banget aku sama kamu, Han... tapi aku iri sih karena kamu bisa cuti panjang. Kan aku jadi pengen...” keluhnya di depan Hani yang tidak tahu harus bagaimana. ”Makanya nabung jangan buat ngerokok terus, Waf!” bukan Hani yang menimpali keluh kesah Wafa, melainkan Riri. Riri adalah orang yang paling tidak ingin dekat-dekat dengan seorang yang suka merokok. Ini termasuk red-flag menurutnya, yang tidak akan pernah dia ubah ketika akan mencari suami. ”Ye, sewot aja kamu, Ri,” balas Wafa tidak peduli. Sama seperti Riri, Wafa juga menanyakan soal cerita umroh Hani sekeluarga. Sampai kemudian makin banyak staf yang masuk ke dalam ruangan ini karena hampir pukul 8 pagi. Satu persatu juga menyapa Hani, membuka topik obrolan yang sama seperti Riri dan Wafa. Pokoknya, semua itu tentang kemunculan Hani setelah melakukan ibadah umroh. Dosen yang baru saja datang pun sama, sampai Hani merasa lelah mengulang kalimat yang sama tapi dia senang karena perhatian dari rekan kerjanya. Dia juga telah membagikan oleh-oleh yang dia bawa untuk staf dan dosen juga OB yang bekerja untuk Fakultas Dakwah. Mereka tampak menyukainya dan itu turut membuat Hani merasa lega. Hadiah itu sama seperti yang diberikan pada Riri tadi, tapi semua sajadah itu ada nama dari orang-orang yang Hani beri. Salah satu oleh-oleh kekinian yang Hani temukan saat di Arab Saudi. ”Dosen baru masuk nggak sih hari ini?” tanya Ambar yang merupakan Staf administrasi umum di fakultas ini. ”Masuk kok, aku tadi papasan tapi langsung masuk ke gedung laborat,” jawab Wafa pada Ambar yang duduk di sebelahnya. Laborat yang dimaksud adalah ruang untuk mahasiswa belajar sesuai jurusan masing-masing, berada di gedung yang berbeda tapi masih bersebelahan dan tidak jauh jaraknya. ”Oalah. Oke lah, aku tanya nanti aja,” kata Ambar lalu dia keluar dari kantor dengan membawa kertas di tangannya. Tapi Hani yang mendengar percakapan itu justru bingung. Dosen baru? Sejak kapan? Batinnya bertanya. Karena kalau ada staf atau dosen baru jelas Hani akan tahu. Pengurusan administrasinya bahkan bisa satu bulan lebih dan pasti namanya sudah akan ”bergaung” di ruangan ini, karena orang-orang punya rasa penasaran ”seperti apakah orang baru ini?”. Namun Hani justru tidak menemukan petunjuk apapun sekarang. ”Ri, ada dosen baru di fakultas kita?” tanya Hani pada Riri yang mejanya ada di sebelahnya kirinya. Riri menoleh dan menganggukkan kepalanya. Hani makin bingung, dia kira mungkin dosen baru yang dimaksud itu untuk fakultas lain yang berada satu gedung dengan fakultas Dakwah. ”Siapa? Kok aku nggak tahu?” tanya Hani lagi. ”Nanti juga kamu tahu. Kayaknya bentar lagi dia bakal selesai ngajar,” jawab Riri lalu tersenyum penuh kecurigaan menurut Hani. ”Ck! Gue doang nih yang belum kenal? Berasa jadi anak baru,” keluh Hani. ”Ya nanti kenalan aja sih, siapa tahu jodoh,” timpal Riri. Hani hanya memutar bola matanya karena kesal. Jodoh? Wah Hani sama sekali tidak memikirkan itu sejak lama. Akhirnya dia melupakan soal si dosen baru karena hendak membuat kopi untuk menghilangkan kantuk di pantri. Lalu beberapa saat kemudian, seseorang masuk ke dalam kantor fakultas dan segera menuju ke meja tempat Ambar bekerja. Namun karena orangnya tidak ada, akhirnya dia bertanya pada Wafa yang menyapanya tadi. ”Mbak Ambar nggak ada di tempat, Mas?” tanyanya pada Wafa. ”Oh, Mbak Ambar lagi pergi anter dokumen ke ruang Kaprodi. Bentar lagi juga balik,” jawab Wafa. Orang ini kemudian mengangguk dan memutuskan untuk duduk di kursi tunggu yang ada di kantor ini. Tapi ada satu hal yang langsung menarik perhatiannya setiap dia kemari sejak diterima bekerja di kampus ini. Di sebuah meja kerja ada papan nama yang di sana tertulis nama seseorang yang menjadi alasan kenapa dia berada di sini sekarang. ”Pak Fadli.” Orang ini menoleh pada seseorang yang dia cari tadi. ”Maaf mbak, aku terlambat kasih dokumennya,” ujar orang yang dipanggil Fadli ini. Ambar menggelengkan kepala. ”Rapopo. Yang penting hari ini udah masuk jadi besok bisa langsung dikasih ke kantor pusat,” tuturnya. Dua orang ini kemudian berbincang mengenai dokumen kepindahan untuk Fadli yang tadinya mengajar di kampus lain tapi masih milik yayasan yang sama. Keduanya tidak tahu kalau ada seseorang yang mungkin sudah lebih dari 1 menit memperhatikan dengan ketidak percayaan akan apa yang barusan dilihatnya. ”Han, kamu kenapa berdiri di situ?” tegur Riri pada Hani yang berdiri di tengah ruangan sembari memegang cangkir. Dan yang mendengar teguran Riri bukan saja Hani, melainkan semua orang yang ada di ruangan tersebut. Termasuk Fadli yang kini menatap penuh arti pada seseorang yang telah lama tidak dia temui. ”Lah akhirnya kalian ketemu juga.” Suara lain muncul yaitu dari Kepala Bagian Tata Usaha yang bernama Pramono yang baru saja datang karena ada rapat dengan rektor. ”Siang, Pak,” sapa Fadli pada Pramono. ”Siang juga, Pak,” balas Pramono. Lalu dia kini berdiri di antara Hani dan Fadli yang berhadapan tapi masih terpaut jarak 2 meter. ”Nah, saya kenalin aja ya biar kerja kita makin kompak. Pak Fadli ini dosen baru dan masuk waktu kamu lagi umroh, Hani. Dan Pak Fadli, ini Hani, staf admin yang bertanggung jawab di prodimu.” WHAT?! Hani amat terkejut mendengar penjelasan Pramono. Dan hampir saja dia mengeluarkan protes dari mulutnya. ”Silakan berkenalan,” ucap Pramono yang memberikan gestur supaya dua orang yang baru bertemu ini untuk bersalaman. Belum sempat Hani menolak untuk bersalaman dengan Fadli, dosen baru ini sudah lebih dulu mengulurkan tangan. Dan karena semua staf memperhatikan mereka, Hani tidak enak jika kemudian menolaknya. ”Fadli, senang betemu dengan anda,” ucap Fadli dengan senyum yang terlihat sampai membuat matanya menyipit. Senyum yang telah lama tidak dia lakukan. ”Saya Hani,” balas Hani singkat dengan senyuman dipaksa. Karena dia tidak tahu, apakah dia ”senang” bertemu dengan sosok dosen baru bernama Fadli ini. Yang sebetulnya tidak perlu dikenalkan seperti ini pun, dia telah tahu siapa namanya. Bahkan dia tahu nama orang tua, alamat rumahnya, kebiasaan, makanan kesukaanya sampai-sampai dia pun tahu kapan biasanya Fadli tidur. ”Ganteng ya Pak Fadli,” bisik Riri pada Hani yang telah kembali duduk di meja kerjanya. ”Hm. Mayan,” kata Hani tanpa minat. Namun Riri tampak masih ingin melanjutkan pembicaraannya. ”Kata mbak Ambar ternyata pak Fadli duda loh. Kupikir single karena keliatan muda banget!” Iya duda, karena aku lah mantan istrinya. Kata Hani, tapi di dalam hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD