Pak Darren noleh pas aku ngubah posisi jadi duduk dan natap ke arah dia. Aku liat, dia duduk di kursi yang waktu itu dibelinya buat aku—kursi yang sama kaya punya Pak Darren di kantor karena aku ngidam pengen juga—setelahnya dia kembali natap ke arah luar dan bilang ke Temmy lewat telpon. “Nanti kita sambung lagi, aku mau siap-siap ke kantor.” Aku mengalihkan pandang pas Pak Darren naruh ponselnya di meja dan berdiri, dia jalan menghampiri aku yang masih megangin selimut pake tangan kanan biar gak merosot. “Udah bangun?” tanyanya yang aku tau cuma sebuah basa-basi. Aku ngangguk sambil ngambil daster batikku yang ada di atas ranjang. Kupakai langsung di hadapan Pak Darren tanpa malu setelah kubiarkan selimutnya merosot ke bawah. Dia hampir setiap hari liat tubuhku, kok. Pak Darren dudu

