Bab 9 - Dasar Pervert Man!

1117 Words
Siangnya, aku sama Pak Darren pergi dari rumah mama mertua ke apartemen suamiku. Mama mertua maksa kita buat tinggal lebih lama di rumah, tapi Pak Darren gak mau. Yaiyalah, kalau ada di rumah orang tuanya dia gak bebas ngehubungin atau pergi sama Pak Temmy. Aku juga capek pura-pura mesra terus, maunya tidur aja. Nanti apartemen itu yang bakal jadi tempat tinggal aku entah sampai kapan. Pak Darren punya apartemen yang deket dari perusahaan tempat aku sama dia kerja, jadi aku gak perlu repot-repot naik angkutan umum lagi buat ke sana. Jalan kaki juga nyampe. “Waw.” Mataku berbinar pas lihat dalem apartemen Pak Darren kaya gimana. Keren coy. Apalagi, cita-citaku emang pengen punya tempat tinggal yang pemandangannya bagus. Ini keren banget, bisa lihat hampir setengah kota dari atas sini. Pak Darren menaruh koper merah mudaku di dekat tempat tidur, lalu ngomong, “Kamu suka?” “Suka, Pak.” Aku natap dia, terus ngangguk. “Ini ada balkon juga ya?” Aku pecicilan, gak mau diem. Langsung buka pintu dan bener aja, ih sumpah aku kayanya akan betah tinggal di sini. Kalau sore bisa ngopi sambil duduk santai ditemani angin sepoi-sepoi. Aduh, nikmat. “Fungsi sofa itu bukan cuma buat duduk santai sambil ngopi, Na,” kata Pak Darren, natap aku serius. “Terus buat apa, Pak?” “Transfer benih ke dua atau seterusnya.” Shit! Bisa gak sih jangan bahas urusan nananina dulu? Aku tuh lagi bahagia ini gara-gara punya tempat favorit sekarang. Pak Darren emang moodbreaker banget, sumpah! Aku natap Pak Darren dengan sinis, “Bapak denger saya ngomong apa kan?” “Ya.” Pak Darren ngangguk. “Jelas sekali.” “Bagus. Ngilunya masih kerasa lho, Pak. Bapak enak tinggal tojos, lah saya yang ditojos sakit.” “Tapi kamu kemarin bilang enak. Sampe manggil-manggil saya terus, minta lebih cepat.” Pak Darren natap aku dengan tatapan polos. Bikin aku mau garuk mukanya. “Tau, ah.” Aku gak mau menanggapi Pak Darren lagi, laki-laki itu kalau dipancing bakalan keluar sisi pervert-nya. Mulut Pak Darren itu kotor, sama kaya pikirannya. Aku kembali masuk ke dalam kamar, terus ngelihat pemandangan dari kaca besar yang ada di depanku. “Pak, kalau kamar ini saya rapiin lagi tata letaknya Bapak gak keberatan, kan?” tanyaku ke arah laki-laki yang ngikutin langkahku ke mana-mana, udah kaya anak kucing. “Tentu aja enggak, ini milik kamu.” “Apanya?” “Apartemen ini. Saya beli buat kamu.” Aku ngangguk-ngangguk. “Makasih ya, Pak.” “Kalau kamu mau mendesah gak perlu ditahan atau malu-malu lagi kaya sebelumnya. Ruangan ini kedap suara.” Aku menghela napas dan memutar bola mata dengan malas. “Luna.” “Apa?” “Ayo buat kesepakatan.” Aku menoleh ke arah pria yang berdiri di sampingku. “Kesepakatan apalagi, Bapak? Kalau ini ngerugiin saya, saya gak mau.” Pak Darren yang awalnya natap aku, sekarang beralih natap ke arah luar. “Bantu saya untuk lebih mengenal kamu, saya gak mau salah sebut nama lagi saat kita berhubungan,” kata Pak Darren, nadanya serius. “Mm, saya minta maaf untuk yang kemarin. Apalagi itu yang pertama buat kamu, saya jadi seperti laki-laki brengshake ....” Emang bapak brengshake, bagus kalau ngaku. “Saya tarik ucapan saya,” kata Pak Darren pas dengar suara hati aku. “Ini salah kamu dari awal. Seandainya kamu gak memergoki saya, kita kan gak perlu menikah.” “Saya kan gak sengaja, Pak. Mana saya tahu bakal ada adegan film blue gratis pas masuk ke ruangan Bapak? Emang saya masuk ke ruangan Bapak mau liat adegan live? Enggak, Pak. Saya dapet perintah, saya kerja.” Tuhkan aku jadi ngegas, Pak Darren sih mancing-mancing emosi aku. Pak Darren gak menanggapi ocehanku karena ponselnya bunyi. Lelaki itu merogoh saku celana dan mengangkat telepon dari seseorang. Kayanya dari Temmy, deh. Soalnya kalau ada telpon dari Temmy, Pak Darren pasti ngejauh kaya orang mau kentut. “Luna, saya harus ke rumah Temmy sekarang. Mungkin menginap di sana juga,” kata Pak Darren pas dia balik dan menghampiriku yang duduk di pinggir ranjang sambil main ponsel. Aku naruh ponsel di atas nakas dan memilih mendongak, menatap manik mata Pak Darren. “Oh, ya udah.” Ada jeda dalam ucapanku. “Tapi tolong ya, Pak. Jangan keseringan main sama Pak Temmy, saya takut kena penyakit.” Pak Darren diem. “M-maaf, bukan maksud saya nyinggung atau gimana, cuma ....” “Iya. Saya paham.” “Saya juga gak mau liat Bapak sama Pak Temmy mesra-mesraan atau ngelakuin adegan yang gak sepantasnya saya lihat kalau saya ada di hadapan kalian. Bapak gak boleh ajak Pak Temmy ke sini, apalagi sampai pakai ranjang ini buat tempat main kalian.” “Ada lagi?” “Saya rasa buat sekarang cukup.” Dia menggeser layar kunci ponsel, menatap benda pipih panjang itu sekilas dan kembali melihat ke arahku. “Saya pergi, kamu hati-hati di rumah.” Aku ngangguk, mengubah posisi jadi berdiri dan mengantar dia sampai depan pintu. Pak Darren ngambil jaket yang dia taruh di meja, lalu dipakai. Gila, aku berasa ngerelain suamiku sendiri pergi ke tempat istri yang lain. Ya ampun, madu tiga ceritanya. Bedanya, sainganku bukan perempuan tapi laki-laki. Pak Darren menatapku, kemudian langsung menyambar bibirku sambil melingkarkan kedua tangan di pinggang. Setelah beberapa detik kita saling bertukar air liur, Pak Darren melepas kontak lebih dulu tapi belum menjauhkan wajah dariku. Saat aku buka mata, manik mata kita deket banget. Jujur grogi. Btw, kalau nempel bahaya, serem pasti. Bisa berubah genre ini cerita jadi horor. “Luna,” panggil Pak Darren dengan suara beratnya. “Apa?” “Boleh saya pencet-pencet squishy kamu sebentar? Please.” Astaga. Aku mau marah, tapi nih orang lucu minta aku tampol. Tau ah. Dan begonya, aku ngangguk. Aku mengeluarkan suara menggelaykan itu lagi pas Pak Darren meremas-remas kedua squishy-ku dengan lembut, tanpa sadar dia udah mepetin aku ke tembok dan nyerang bibirku lagi. Bilangnya cuma dipencet, lah ini kancing baju aku dilepasin juga. Kacau. Ini jadi pergi atau gak, sih? Giliran aku nyeletuk dalam hati, Pak Darren yang mau buka kancing baju terakhirku mendadak menghentikan aktivitasnya. Dia membuka mata dan menjauhkan diri dariku. “Maaf,” katanya. “Ya.” Aku ngangguk-ngangguk, abis itu langsung buka pintu tanpa disuruh. “Ayo, Pak, keluar. Nanti takut telat ketemu sama madunya. Saya gak mau punya urusan apa-apa sama dia karena Bapak. Apalagi sampai dituduh perusak hubungan orang, duh ... gak level saya, Pak.” Aku nyindir sambil senyum. Bikin Pak Darren natap aku tanpa ekspresi dan mau gak mau melangkah keluar dari sini. Pas Pak Darren udah pergi, aku nutup pintu dan kembali ngancingin baju aku kaya awal lagi. Dasar pervert man! ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD