Pas aku bangun, aku melihat ruangan serba putih dan bau obat menyengat di indra penciumanku. Aku mengubah posisi menjadi duduk dan celingukan nyari Pak Darren sama Pak Temmy. Tahunya mereka lagi ngobrol sama bapak-bapak berjas putih yang ada di balik tirai setengah tertutup ini.
Aku turun dari ranjang, terus pakai flatshoes dengan tangan menyibakkan tirai. Membuat ketiga laki-laki itu sama-sama menolehkan pandangannya ke arahku.
“Ah, sudah siuman?” tanya Pak Darren. “Sini, duduk di bangku Kakak.”
What? Kakak dia bilang?
Aku yang emang gak tahu apa-apa dan masih linglung, nurut aja. Jalan ke arah Pak Darren dan menaruh b****g di tempat duduk bekas dia, sebelahan sama Pak Temmy.
“Saudara Luna tidak kenapa-napa sebenarnya, cuma mungkin faktor kecapekan makanya sampai pingsan,” jelas Pak Dokter. “Tadi kedua kakak kamu ini panik sekali dan takut kamu kenapa-napa.”
Aku menoleh ke arah Pak Temmy, terus mendongak ke atas dan menatap manik mata Pak Darren.
“Iya, Pak. Dia adik perempuan satu-satunya jadi kita sangat khawatir dia kenapa-napa,” kata Pak Temmy sembari terkekeh. Sementara, kurasakan Pak Darren mengelus-elus rambutku dan ikut tertawa kecil bersama Pak Temmy.
Oh, jadi ini akting, ya? Dia jadi kedua kakakku dan aku jadi adik mereka? Sialan.
“Kalau begitu kami pamit pergi, terima kasih, Pak.” Darren menyuruh aku berdiri lewat isyarat mata. Pak Temmy udah bangkit duluan dan sekarang lagi merapikan jasnya.
“Kepalamu masih pusing?” tanya Pak Darren ketika kami udah keluar ruangan.
“Nggak, Pak.” Aku geleng. Noleh pas Pak Darren ngerangkul dan meremas bahuku pelan.
“Saya harus antar Temmy pulang, nanti baru kita ke rumah orang tua kamu,” bisik dia. Aku ngangguk-ngangguk aja.
Pantesan Pak Darren ngerangkul bahuku, ini tempat umum. Kalau dia gandengan atau peluk-pelukan sama Pak Temmy, identitas mereka yang sebenarnya bakalan ketahuan.
Pak Temmy sendiri jalan di depan kami, Pak Darren yang nyuruh biar dia gak cemburu. Sejak ketemu aku mukanya udah berubah gitu, kaya orang gak suka. Aku sadar sih, gimana rasanya kalau liat orang yang kita sayangi harus mesra-mesraan sama orang lain. Seketika aku ngerasa kaya jadi pelakor di hubungan Pak Darren dan Pak Temmy.
“Temmy adalah pria baik, jadi jangan berpikir yang tidak-tidak tentang dia,” kata Pak Darren, ternyata dia diam dari tadi karena dengerin suara hati aku?
Aku natap Pak Darren yang masih ada di sebelahku, tanpa ekspresi. “Maaf, Pak.”
Sebel, kenapa sih dia cuma bisa denger suara hati aku? Ngerepotin!
“Bisa berhenti menggerutu dalam hati? Berisik.”
“Lagian bapak kenapa ngedengerin? Pura-pura gak denger aja,” aku kesal.
“Suaramu terdengar jelas, gimana saya bisa mengabaikannya?”
“Tau ah.”
Bodo amat dibilang gak sopan sama bos. Di luar kantor, Pak Darren bukan bosku.
“Tetap saja, kamu adalah bawahan saya. Jangan macam-macam,” sahut Pak Darren.
“Pak.” Aku menghentikan langkah, terus ngejauhin tangan Pak Darren dari bahu. “Saya harus ngejauh berapa kilometer dari Bapak supaya Bapak gak denger suara hati saya?”
“Tidak tahu.” Pak Darren mengedikkan bahu.
“Cara biar bapak gak denger saya ngomongin bapak dalam hati tuh gimana, sih? Stress saya Pak kalau begini caranya.”
“Memangnya saya juga mau begini?”
Pak Temmy yang jarak jalannya udah agak jauh dari kita, menoleh ke belakang. Liat aku sama Pak Darren berhenti dan lagi debat.
“Darren,” panggil Pak Temmy sambil cemberut, dia gak suka Pak Darren terlalu banyak interaksi sama aku selama masih ada dia. “Masih lama debatnya?”
Pak Darren natap aku sekilas, sebelum akhirnya ninggalin aku sendirian dan berjalan cepat ke arah Pak Temmy. Membujuk cowok itu biar gak ngambek karena dia cemburu Pak Darren deket sama aku.
Aku jalan di belakang, jaga jarak sama Pak Darren dan Pak Temmy yang ada di depan sana. Semoga aja kejadian kaya di lift tadi gak keulang dua kali.
“Aku gak mau di belakang,” kata Pak Temmy dan langsung masuk pas pintu depan dibuka sama Pak Darren.
Ya bodo amat, siapa juga yang mau di depan?
Aku mendumel dan buka pintu tengah tanpa nungguin Pak Darren lebih dulu. Dasar Pak Temmy cowok manja!
Bisa kulihat Pak Darren natap aku dengan tajam, kayanya dia denger aku ngatain pacarnya dalam hati.
Bodo amat, gak peduli aku. Mau Pak Darren tahu hatiku busuk juga sekiranya itu lebih baik. Siapa tahu dia gak jadi nikah sama aku dan cari cewek yang lain.
Di dalam mobil, Pak Darren lebih banyak mengobrol sama Pak Temmy. Aku dianggurin udah kaya kambing congek. Jadi ... sekarang aku lebih memilih sibuk sama ponsel dan ngabarin ke mama kalau aku sama Pak Darren lagi jalan ke sana.
Pas mobil berhenti, aku mendongak. Pegel juga ih dari tadi nunduk mainan game. Aku nepuk-nepuk pundak pakai tangan, refleks nunduk lagi pas liat Pak Temmy nyium bibir Pak Darren sekilas.
“Bye, Sayang. Nanti jangan lupa, ya?”
“Iya, hati-hati,” ucap Pak Darren dan melambaikan tangan ke arah pria yang keluar dari mobilnya dan tersenyum sekilas ke arah Pak Darren.
Pak Temmy udah gak keliatan lagi batang idungnya, dan Pak Darren nyuruh aku buat pindah ke depan. Awalnya aku gak mau, bilang lebih nyaman di sini. Tapi pas nada suara Pak Darren meninggi, aku gak bisa ngelawan.
Suasana hening pas aku sama Pak Darren cuma berdua di mobil. Aku gak tahu mau ngobrol apa. Lagian Pak Darren juga udah tahu alamat rumahku.
Sesampainya di depan rumah, Pak Darren menghentikan mobilnya. Aku buka sabuk pengaman dan pintu mobil. Keluar lebih dulu dan nunggu Pak Darren di depan.
Aku buka kunci pintu pagar rumah, abis itu ngajak Pak Darren masuk ke dalam rumah. Kuketuk pintu sambil manggil mama berulang kali, Pak Darren merangkul pinggangku dan tersenyum manis.
Ah, aku tahu. Sekarang waktunya sandiwara, kan?
“Anak pintar,” puji Pak Darren, setengah berbisik di dekat telinga. Dia denger suara hati aku lagi.
Malam ini, giliran aku yang ajak Pak Darren ke rumah buat dikenalin sama orang tuaku. Mama yang emang tau aku gak punya pacar, sempat kaget dan ngira aku hamil duluan karena tiba-tiba bilang mau bawa calon menantu ke rumah. Tapi udah kujelaskan hal yang sesuai dengan kesepakatanku dan Pak Darren kemarin. Pura-pura bohong dengan ngomong kalau kita udah pacaran sejak lama tapi gak bilang.
“Ayo masuk, calon mantu Mama masa disuruh berdiri aja di luar,” ajak mama yang langsung memanggilnya begitu. Pak Darren yang mendengar, tersenyum lebar penuh kebohongan. “Na, bawa masuk dia,” lanjut mama yang berjalan ke dalam lebih dulu.
Aku nyuruh Pak Darren duduk di sofa ruang tamu, dan pria itu narik aku sampai terduduk di sebelah dia.
“Papa kamu mana?” kata Pak Darren, menatap sekeliling rumah.
“Mobilnya belum ada di halaman, berarti belum pulang kerja.” Yah, Papa memang suka jadi orang sibuk. Dari muda workaholic banget. Jarang ngabisin waktu bareng keluarga di rumah. Jadi aku lebih sering pergi ke mana-mana sama mama dan deket ke mama. Soalnya pas aku bangun tidur papa udah kerja, pas aku udah tidur papa baru pulang kerja. Jadi jarang ketemu walau satu rumah.
“Kamu anak satu-satunya?”
“Punya kakak laki-laki, tapi kakak saya anti sosial. Jarang mau keluar kamar kecuali kalau terdesak.” Aku mengedikkan bahu.
“Kok bisa?”
“Dulu sering jadi korban bully di sekolah, jadi yah ... trauma.”
“Ah, begitu.” Pak Darren ngangguk-ngangguk. “Memang pem-bully-an itu dampaknya parah. Saya sendiri pernah mengalami itu.”
“Bapak pernah di-bully?” Aku terkejut. “Masa sih? Saya gak percaya bapak pernah jadi korban bully. Wong situ kerjaannya tukang ngancem dan menekan orang lain buat menuruti mau Bapak.”
Obrolan kami terpaksa berhenti saat Mama kembali datang dengan membawa minuman dan camilan. Udahannya Pak Darren lebih memilih membahas pembicaraan baru bersama mama dibanding membahas persoalan kita soal bullying tadi.
Haduh, aku penasaran banget, nih.
Inti dari pembahasan Pak Darren dengan mama adalah dia meminta ijin mama—dan juga papa—untuk mengambil anak perempuannya alias aku untuk dijadikan pasangan hidup. Kalau kalian denger langsung kata-kata apa aja yang Pak Darren ucapin, dijamin akan nangis bombay dan baper. Sayangnya, aku tahu dia gak benar-benar tulus ngomong begitu dari hati.
Dia sempat berkenalan sekaligus pamit sama papaku yang baru pulang kerja. Ternyata papa kenal dengan Pak Darren karena mereka pernah bertemu sebelumnya saat sama-sama mengurusi masalah pekerjaan. Papa gak nyangka kalau orang ini akan menjadi mantunya.
Darren gak bisa berlama-lama di sini, dia harus bertemu sama Pak Temmy makanya aku berusaha membuat obrolan mereka berhenti.
Mama menyuruhku untuk mengantar Pak Darren sampai depan pagar. Dia gak bisa ikut mengantar karena mau nemenin papa makan malam.
“Bapak, mau ke apartemen Pak Temmy?” tanyaku pas udah nutup pintu pagar dari luar.
“Iya, menginap di sana.”
Aku gak tahu harus berekspresi kaya apa, jadi aku cuma mengangguk dan ngucapin hati-hati ke Pak Darren.
“Lusa siap-siap untuk pergi ke butik keluarga. Mama sudah menyiapkan beberapa model gaun untukmu untuk pernikahan kita. Nanti saya jemput kamu ke sini.”
“Kira-kira jam berapa, Pak?”
“Satu siang.”
“Oke.”
“Kalau begitu saya pergi, Luna,” pamit Pak Darren. Tadinya lelaki itu mau pergi gitu aja, tapi gak tahu tiba-tiba dia balik lagi dan ngeraih pinggang aku. Satu tangan yang lain dia gunakan untuk memegang dagu hingga membuatku mendongak dan menatapnya.
Jarakku dengan Pak Darren terlalu dekat sampai aku menahan napas. Aku kira dia mau nyium aku, tapi ternyata bibirnya gak sampai ke bibirku. Masih ada jarak antara kita.
“Mamamu mengintip dari balik jendela jadi kita harus bersikap seolah kita ciuman,” bisik Pak Darren. Menahan posisinya terus seperti itu untuk beberapa detik.
Saat aku memutar bola mata ke arah jendela kamar mama, kulihat secuil bayangan mama. Jika dilihat dari atas, tentu saja terlihat seperti kami benar-benar berciuman.
Aku gak bisa napas, perutku sakit, hidungku juga gatal.
“Suruh siapa menahan napas?” bisik Pak Darren, perlahan menjauhkan diri dariku. “Jangan mati dulu, susah mencari tempat menanam benih saya nantinya. Waktu sudah sangat sempit untuk mencari pengganti.”
Sial, dasar pria menyebalkan!
***